Mohon tunggu...
Hasna A Fadhilah
Hasna A Fadhilah Mohon Tunggu... Administrasi - Tim rebahan

Saya (moody) writer. Disini untuk menuangkan unek-unek biar otak tidak lagi sumpek.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Emak-emak dan Politik

21 Oktober 2017   20:50 Diperbarui: 21 Oktober 2017   21:18 1501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dari tahun lalu, saya sudah mempertimbangkan untuk menghapus akun FB saya. Alasannya? Beragam! Saya mungkin bisa buat daftarnya dari A sampai Z. Tapi yang paling utama adalah maraknya hoax atau berita palsu. Kalau baca artikel ginian bikin kaya sih, saya mau-mau aja. Sayangnya, semakin rame postingan yang catut kanan catut kiri macam ini, makin tinggi pula tekanan darah. Jadi, daripada bikin senewen, saya sempat memutuskan rehat sejenak dari ranah dunia maya.

Eh, nggak lama saya memutuskan berhenti dari nulis di wall FB, tiba-tiba saya dapat pesan menyentil yang kurang lebih begini: "kalau yang waras nggak nulis, sosial media akan diisi oleh orang-orang gila!" Beuhh... karena saya nggak merasa waras, dan nggak merasa gila, jadi pun saya diam aja, hehe.. saya mulai balik lagi nulis justru ketika seorang ibu dengan polosnya nanya, "mbak, ada nggak sih hubungan emak-emak dengan politik? Emang politik penting yah buat kami-kami ini?"

Glekk! Kalau situasinya di kelas dan lagi proses belajar mengajar dengan mahasiswa sih saya sudah siapkan banyak amunisi untuk menjawab pertanyaan kayak gini. Lah ini yang bertanya ibu-ibu, di forum kajian muslimah lagi! Ditambah yang jawab masih bau kencur, tamat kuliah juga baru kemarin. Saya ditanya gitu langsung mengangguk-anggukkan kepala dan mencoba menegaskan nada suara. Padahal dalam hati ngarep banget kalau durasi acaranya tinggal satu menit lagi :D

"Justru ibu-ibu lah yang menjadi salah satu kunci arah politik negeri. Contoh kecilnya nih Bu, ketika ada pemilu dan misalnya ada bejibun kandidat yang mau jadi wakil rakyat. Terus Ibu lihat artis idola Ibu yang pemain sinetron ganteng itu ada di surat suara. Kira-kira Ibu nyoblos dia nggak? Apalagi di TV dia nggak pernah jadi orang jahat. Keluarnya belakangan mulu, jadi semacam pahlawan kayak Superman."

"Sebenarnya nggak papa kok Bu milih mereka. Dengan syarat yang ganteng rupawan ini berkualitas, paham politik dan mau belajar mengenai sistem pemerintahan. Sayangnya makhluk kayak gini langka Bu di Indonesia. Jangankan yang background-nya artis, yang latar belakang politik pemerintahan pun belum tentu punya kualitas tinggi juga."

Ibu yang bertanya senyam-senyum pertanda setuju. "Kasus yang kayak gitu sering banget Bu di Indonesia," saya melanjutkan, "Bahkan kalau di tingkat desa, politik uang dalam pemilihan Kepala Desa itu udah lumrah banget. Kalau bisa sih saing-saingan mana yang paling banyak ngasih beras sama duit. Sasaran empuknya? Tentu para emak, sang pengelola rumah tangga. Bahkan berapa kali saya jadi saksi mata ibu-ibu yang pamit duluan ketika lagi ada acara arisan atau pengajian dengan alasan 'jaga rumah' menjelang pilkades."

Mendengar jawaban saya, para ibu jadi makin miris. Dari sini, saya ngeluarin jurus pamungkas, "lah kita harus gimana dong? Apa harus nyerah gitu aja? Enggak dong, Bu. Tetep terima duitnya, tapi jangan pilih orangnya, hehe..." (prinsip mamak-mamak banget!)

"Masalahnya semua ngasih ya Bu? Nominalnya sama lagi macam udah di-mufakatin?" giliran saya yang balik nanya, dan beliau-beliau mengiyakan, "kalau di tingkat desa kemungkinan lebih mudah kali ya. Hubungan antar tetangga masih bagus. Nah kalau gitu dilihat aja dari pribadi keseharian orangnya Bu. Apakah beneran baik atau cuma dermawan pas mau pilihan aja. Emang sih, apa yang kita lakukan ini kelihatan sepele. Tapi dengan diterapkannya demokrasi di Indonesia, suara kita juga berpengaruh. Kalau semua emak boikot pemilu, kebayang dong yang kepilih siapa. Tentu orang yang nggak akan pikir panjang sembako mahal. Nah, kalau dapur udah susah ngepul, baru deh ibu-ibu ngomel."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun