Sebagai seorang perempuan yang lahir dari keluarga Jawa dan tumbuh besar di lingkungan tropis, memiliki kulit putih bersinar seperti iklan-iklan di TV ternyata tidaklah mudah bagi saya. Dari SMP, saya sudah berulang kali berganti hand body lotion, dari yang murah sampai mahal, eh nyatanya tetap saja kulit ini coklat-klat-klat! Selain memang saya bukan tipikal orang yang tulen merawat diri, pemakaian lotion ini tidak berbanding lurus dengan perawatan kulit lainnya.Â
Di saat yang sama, saya masih getol ikut silat, main basket bahkan kemana-mana genjot sepeda tanpa menggunakan sun cream, hehe.. Usaha membuat kinclong kulit pun semakin jauh dari harapan ketika saya diterima di salah satu sekolah kedinasan dengan porsi kegiatan outdoor yang cukup banyak. Walaupun begitu, saya masih saja getol melumurkan lotion, meski hasilnya begitu-begitu saja.
Keinginan saya untuk punya kulit seperti para aktris atau pemain sinetron akhirnya sirna juga ketika saya menginjakkan kaki di negeri Ratu Elizabeth untuk menempuh pendidikan magister. Pada awalnya, saya sering terbengong-bengong melihat banyaknya cewek cantik dengan wajah bersih tanpa noda di kampus saya. Namun suatu ketika kekaguman saya diusik oleh kawan lokal saya yang memamerkan kulitnya yang agak berubah warna. "look, I just went to the tanning salon. Is it wonderful?"
"ha?" jawab saya agak terperangah
"I look more beautiful right?" dia menanggapi lagi dengan wajah lebih sumringah.
"But you are already beautiful, darling," jawab saya yang masih terheran-heran.
Sembari mengoleskan body scrub, dia kembali bercerita bahwa dia lebih menyukai kulit kecoklatan seperti saya daripada warna asli kulitnya. Dia bilang, semakin coklat, itu tandanya semakin eksotis dan semakin menarik dilihat. Menghembuskan napas panjang, saya kemudian hanya mengangguk, tanda setuju.
Usai pulang dari rumah kawan saya tadi, mampirlah saya ke Tesco, sejenis supermarket besar di dekat tempat tinggal saya. Selain untuk berbelanja, saya juga menyempatkan diri untuk menengok jenis-jenis kosmetik yang dijual pada gerai toko tersebut. Berbeda dengan kebanyakan kosmetik dan krim yang dijual di Indonesia, saya tidak menjumpai krim pemutih di rak-rak yang ada. Justru saya malah menjumpai krim yang berfungsi untuk mempertahankan warna coklat setelah melakukan tanning.Â
Saya kemudian menyadari bahwa standar cantik disini agak berbeda dengan negara-negara Asia pada umumnya. Wanita-wanita barat justru lebih bangga ketika kulit mereka 'gosong' terpapar sinar matahari, ini tentu saja bertolak belakang dengan para wanita di Asia yang cenderung memilih 'bersembunyi' dari sengatan sang surya.Â
Standar cantik yang berbeda ini kemudian dimanfaatkan oleh para pegelut industri kecantikan untuk berlomba-lomba menampilkan stigma cantik yang dapat mengangkat profit mereka. Bila di Indonesia, banyak sekali iklan krim pemutih bersliweran, di Korea Selatan, bukan hanya produk ini saja yang diunggulkan, layanan operasi plastik pun sudah menjadi hal yang jamak. Bahkan beberapa artikel (baca: tulisan Patricia Marx, blog Alicia chon) menyatakan keprihatinan mereka bahwa sindrom cantik ala bintang-bintang K-Pop ini sudah mencapai tingkat yang ekstrim.Â
Para anak muda di Korea Selatan kini cenderung memiliki tingkat kepercayaan diri yang rendah terhadap penampilan luaran asli mereka. Self-confidence mereka baru akan meningkat bila sudah melakukan operasi plastik. Padahal, prosedur kecantikan ini tidak seluruhnya berhasil dengan sukses. Data dari Korean JoongAng Daily menyebutkan bahwa jumlah insiden terkait kegagalan operasi plastik terus meningkat dari tahun ke tahun, di tahun 2012 saja sudah mencapai 130 kasus komplain (termasuk juga kasus kematian beberapa orang mahasiswa), tidak dipungkiri angkanya jauh lebih tinggi untuk saat ini. Bahkan BBC melaporkan bahwa 30-an persen pengguna jasa operasi plastik menyatakan tidak puas akan hasil akhir yang mereka peroleh.Â