Ibu, engkau mengajariku rasa, tak sekadar bahasa perkakas maksud. Engkau miliki segala perasa: hati, bahkan lidah yang kaupergunakannya mencecap masakan.
Kadang, kata-kataku adalah gugusan tak bermakna. Sebab cinta, tak meski tanggung jawab atas kata, bebas huruf dan kalimat. Ia terbebas dari bahasa dan bicara. Cinta terampung dalam tindakmu, Ibu. Barangkali engkau adalah jelmaan cinta. Atauhkah, engkau adalah cinta?
Ibu, kuingat benar hari itu. Di sembir pantai yang dicumbu gelombang, engkau datang tergopoh-gopoh, airmatamu jatuh luruh satu demi satu, tangismu keras bertambah deras, buyar airmatamu. Bahkan, hempasan ombak, angin yang menggila tak kuasa membujuk tangismu.
“Hidup adalah getir menyayat, perihal meninggal dan ditinggalkan”, pikirku. Wajahmu begitu lusuh, tatapmu nanar pada perahu reyot yang hendak membawaku pergi bersama angin, mengejar harap di rantau orang.
Sedari tadi, kau makin karib dengan tangis. Dengan lembut kudekap, engkaupun mendekap lebih dekat, lebih mesra. Kini, peci Ayah, kupakai menampung tangismu dan tangisku. Entah berapa banyak, aku tak kuasa menghitungnya?
Setelah kita saling membasahi pungung, tangismu reda. Lamat-lamat, kau menjatuhkan doa menyerupai samudra, hingga aku berenang di dalamnya. “Tuhan Yang Mahapelindung, dia satu-satunya kepunyaanku!” pintamu.
Aku terlelap dalam pelukanmu, tatkala di atas layar perahu reyot, awan berarak tebal, ia bertenaga menghimpun gelap. Gelombang tak tanggung-tanggung menghempas semakin keras, bahkan karang kecil tercerabut. Sekoyong-konyong nahkoda, perahu reyot itu, jelas mempertegas arah pelayaran yang jauh. “Barangkali di langit hendak dituju?” pikirku.
Engkau masih berdiri meratapi perahu reyot yang hendak membawaku pergi. Seketika sauh ditarik, baru kusadari, perpisahan adalah luka. Diriku semkin tak berdaya, apalagi dirimu, Ibu? Laksana belati mengiris jantung, denyut mempertegas muasal.
Kumiliki gagasan, “kepergian selalu meninggal derita,” nyatanya, diriku pergi merengkuh masa depan, lalu derita yang kutinggalkan untukmu.
Ibu, kau tahu! Semakin jauh perahu reyot itu membawaku pergi, semakin besar harap untuk kembali, tumbuh dalam hangat pelukanmu, basah dalam doa, ataupun aroma masakan yang menggoda.
Dan, terakhir di atas perahu reyot itu, kulukis sesuatu pada awan yang bergelantung di ujung layar perahu, ”Ibu kau adalah totalitas defenisi tentang cinta”.