Menyinggung persoalan sampah adalah masalah klasik yang tidak habis-habisnya diperbincangkan, baik sifatnya global, nasional, dan domestik. Tepat sekali kita bicarakan di sini, selain 21 Februari ditetapkan sebagai Hari Sampah Sedunia, adalah semakin meningkatnya penyuplai volume sampah belakangan ini.
Pada tanggal 1o Juli 2015, penyajian informasi yang mengagetkan kita semua, yakni meningkatnya volume sampah sangat pesat. Sebagaimana yang dilansir oleh Geotimes, "Sampah yang dihasilkan oleh Indonesia secara keseluruhan mencapai 175.000 ton per hari atau 0,7 kilogram per orang," dan dari data statistik, pada tahun 2014, Indonesia tercatat sebagai negara penghasil sampah kedua terbesar di dunia setelah Cina. Dan dapat diprediksi, pada 2019, produksi sampah Indonesia akan menyentuh 67,1 juta ton sampah per tahun. Sungguh jumlah yang sangat fantastis, jumlah ini sebagai akumulasi penyumbang sampah dari kota-kota yang ada di Indonesia. Sebut saja, kota Makassar. Sebagaimana yang dilansir, Tribun Timur, 28 Februari 2014. " Volume sampah kota Makassar bertambah 200 ton, dari 600 ton per hari menjadi 800 ton per hari." Dari sumber yang lain, dapat diperkirakan, pada tahun 2020 kota Makassarr akan dikepung sampah.
Contoh kecil, dari penyumbang volume sampah adalah perubahan gaya hidup segelintir masyarakat. Tanpa kita sadari bahwa perubahan pola hidup dari sapu tangan menjadi tisu, kita telah turut andil dalam menyokong meningkatnya volume sampah. Di kota-kota besar, termasuk kota Makassar. Pola hidup sebahagian perempuan, rumah makan, restoran, dan hotel, telah menanggalkan sapu tangan dan menggantikan menjadi tisu (bahan sekali pakai). Selain maraknya penggunaan tisu, belakangan pusat-pusat perbelanjaan, minimarket, mall, dan pasar-pasar tradisional, tidak lagi kita menjumpai keranjang belanja bagi para konsumen, tapi telah berganti menjadi kantong plastik mengantongi setiap belanjaan. Perubahan gaya hidup dari sapu tangan menjadi tisu dan keranjang belanja menjadi kantong plastik, tanpa kita sadari, dengan menghasilkan 40 lembar tisu dan kantong plastik, kita telah menebang satu pohon. Satu pohon, bisa menyuplai oksigen dan menghidupkan tiga orang manusia.
Lantas, bagaimana kita menyikapi persoalan ini? Secara pribadi, saya sangat mendukung program, "diet Kantong Plastik" yang tengah gencar-gecarkan oleh komunitas peduli lingkungan. Atau, dapatkah saya menambahkan di sini, "diet tisu." Sebagaimana sikap propaganda ramah lingkungan demi menekan volume sampah. Alangkah baiknya, pemerintah kota Makassar, bercermin dari kebijakan pemerintah DKI. Jakarta, yang menyetujui harga kantong plastik di pusat perbelanjaan dinaikkan menjadi Rp 5.000, jika masyarakat keberatan, maka dianjurkan para masyarakat membawa keranjang belanja dari rumah masing-masing. Sama hal, dengan penggunaan tisu, masyarakat hendaknya dianjurkan kembali menggunakan sapu tangan, sehingga volume sampah akibat suplai tisu dapat diminimalkan.
Selepas dari perubahan gaya hidup. Di sini saya sedikit menyinggung kondisi dunia jalan raya, di mana kondisi yang sama, para pengguna jalan raya turut andil dalam menyuplai volume sampah. Mungkin dalam potret yang sama dengan saudara, kemarin, saya menyempatkan diri duduk di pojok belakang pete-pete 02 ( jalur Veteran Selatan- UNHAS), volume tumpangan, dipadati perempuan, dari tampilan mereka saya bisa menebak, ibu-ibu dan mahasiswa. Menurut saya, semacam pemandangan yang tidak lazim dilakoni adalah helaian tisu yang dilekatkan ke wajah dibiarkan terbang tanpa pamrih pada badan jalan, dan juga puntung rokok sang sopir, dibiarkan juga melompat jendela pete-pete. Bisa dibayangkan jalan raya telah berkamuflase menjadi tempat pembuangan umum.
Selain dari kebiasaan membuang sampah pada jalan raya, saya mengamati sisi lain dari jalan raya adalah sebagai arena perebutan ruang dan diskriminasi. Warkop Flyover, di sana saya menulis tulisan ini. Warkop dengan posisi strategis meneropong jalan raya, dengan muda kita dapat mengamati track record para pengguna jalanan. Kompetisi ruang begitu meramaikan jalanan yang bising, motor dan mobil, tidak sedikit pun memperlakukan para pejalan kaki dengan baik. Trotoar menjadi hunian si pedagang kaki lima dan penambal ban. "City of evil" kira-kira begitu, saya menggambarkan kota yang anti para pejalan kaki. Semua orang brutal dan rantasa, jalan raya tak lebih dari penyetoran hidup untuk sebuah kematian. Begitulah saya mengamati dari si pengebut pada jalan raya.
Fenomena di jalan raya kita hari ini, berbeda dengan ungkapan Ronald Primer, seorang penulis Amerika dalam bukunya, "Romance the Road: The Literature of American Highway, pada 1990. Primer, mengatakan kehidupan sebuah bangsa dapat diukur dari kesempatan seorang untuk melarikan diri dari rutinitas keseharian yang menjenuhkan, sederhananya, di jalan raya kita menjumpai kehidupan sosial suatu bangsa. Primer mengamati kehidupan sosial masyarakat Amerika di jalan. Namun, bagi saya dan kita semua, ungkapan primer ini, berbanding terbalik dengan realitas jalan raya kita, perampokan, begal, membuang sampah pada badan jalan raya, ngebut kendaraan, tawuran, pemblokiran jalan para demonstran, pengantar jenazah yang brutal, dll. Ini, menandakan bahwa, jalan raya adalah medan perebutan ruang, brutal, rantasa, dan imoral sebuah bangsa.
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI