Dengan perasaan amat bahagia, kubagikan lezat jantungku, di malam ini. Separuh untuk Ayah di kampung, yang tak sempat bersua di hari bahagia ini dan separuhnya untukmu, Ibu.Â
Masih lekat dalam ingatan. Kuingat benar empat tahun silam, di sembir pantai yang dicumbuhi gelombang. Kau Ibu, langkah kakimu tergopah-gopah, air matamu jatuh satu demi satu dari kelopak matamu sebagai isyarat kesedihan. Sebab anakmu pergi dan kau tinggal bersama nyanyian elegi yang megotak-kotak harapan di gubuk kita yang reyot. Antara bahagia dan derita, kau melepaskan aku pergi bersama angin mengejar harap di negeri orang.
Ya! Kalian begitu tahu! Sahabat. Tinggalkan kampung dan sanak saudara, susahnya bukan main. Lapar dan dahaga tak kuasa kutopang di negeri orang. Namun begitulah aku, buah dari cinta kalian. Masih tetap berdiri melempar senyum ke ujung tanjung dan gunung. Berharap kalian di sana. Walaupun aku tahu, lapar dan dahaga kalian yang mahadahsyat. Lantaran harap kalian yang bergelantung pada bilik sekolah dan tinta pena.
Ayah dan Ibu...
Kita telah sampai di penghujung harap, Â kebahagian baru saja kita petik bersama, bersenyawa pada toga yang kupakai tadi, pun masih basah oleh geremis cinta.Â
Semoga dengan secuil keberhasilan tadi, sedekil melunasi harapan kita semua.
Ayah dan Ibu...
Sungguh, kali ini kupastikan kita dalam pelukan gelombang kebahagiaan, yang tak berujung dan tak berpangkal. Sebisa mungkin aku bersyair pada malam-malam cahaya yang di datangi para malaikat. Seperti malam ini.
Ayah dan Ibu, tak ada lagi kata terucap, selain:
Kalianlah totalitas dari seluruh defenis tentang cinta
Kalianlah totalitas dari seluruh definisi tentang keikhlasan