Siapa yang tidak kenal bapak Tjiptadinata Effendi dan ibu Roselina Effendi di Kompasiana? Saya rasa mayoritas kompasianer pasti mengenalnya. Saya mulai membaca Kompasiana dan akhirnya bergabung di Kompasiana justru karena membaca tulisan pak Tjip, panggilanku untuk bapak Tjiptadinata Effendi.
Pertama kali membaca tulisan pak Tjip, sekitar bulan September 2014, saya langsung tertarik. Sejak itu setiap pagi saya memulai aktivitas saya dengan membaca tulisan pak Tjip. Kebetulan saat itu saya sangat senggang di kantor, saking tidak begitu banyak kerjaan yang bisa dikerjakan karena memang perusahaannya baru didirikan.
Akhirnya bulan Desember 2014 saya memberanikan diri untuk mendaftar di Kompasiana. Tujuannya hanya agar bisa memberikan vote dan komentar setelah membaca artikel pak Tjip dan kompasianer lainnya yang ternyata sangat menarik, menginspirasi dan bermanfaat.
Apa sih pelajaran yang saya petik dari tulisan pak Tjip dan ibu Lina?
Ada 3 poin penting dari tulisan pak Tjip yang sangat membekas bagi saya dan yang berusaha saya terapkan dalam sisa hidup saya, yaitu:
- Menyiapkan diri untuk menghadapi masa pensiun
Sebelumnya saya tidak pernah memikirkan untuk menyiapkan diri menghadapi masa pensiun saya nanti. Saya berangapan biarlah hidup dijalani seperti air mengalir saja. Saya tidak menyadari untuk dapat menikmati masa pensiun dengan baik dan damai, perlu persiapan yang matang.
Tetapi berkat tulisan pak Tjip, saya jadi diingatkan bahwa saya perlu mempersiapkan diri dengan baik untuk menghadapi masa pensiun saya nanti.
Berkat tulisan pak Tjip, saya sudah mulai merancang dan mempersiapkan diri untuk menghadapi masa tua saya nanti. Sudah ada gambaran dimana dan apa yang akan saya kerjakan untuk mengisi masa tua saya nantinya. Tentunya jika diijinkan oleh Tuhan.
Jangan sampai saat ke rumah saudara nantinya, anaknya teriak dari dalam “Mama, auntie datang, tidak tahu mau pinjam atau minta duit” 😊
Bahkan saya sudah menginfokan ke keluarga, seandainya saya meninggal nanti, saya minta dikremasi saja dan abunya di buang ke laut semua.
Tidak perlu ada abu yang disisakan dan ditaruh di rumah abu. Saya tidak mau merepotkan keluarga untuk sekedar pergi berdoa ke tempat abu saya ditaruh. Yang penting masa hidup saya, setelah meninggal kita kan tidak tahu apa yang terjadi. Jadi tidak perlu merepotkan keluarga lagi.
- Menyiapkan diri untuk mencegah lahirnya “Generasi Sandwich”
Dulu adalah hal yang lumrah bila anak harus menjaga orang tua, selain anak & istri tentunya. Berkat tulisan pak Tjip, saya jadi diingatkan untuk tidak membebani keluarga saya nantinya. Tentunya untuk memutusnya saya harus mempersiapkan diri, yaitu dengan menjaga kesehatan saya, sehingga pada saat tua nanti saya tidak membebani mereka.