Mohon tunggu...
sisca wiryawan
sisca wiryawan Mohon Tunggu... Freelancer - A freelancer

just ordinary person

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Maritime Safety and the Rule of Law at the Sea

1 Oktober 2024   08:46 Diperbarui: 9 Oktober 2024   20:31 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: Zoom by JICE.
Sumber gambar: Zoom by JICE.


JICE (Kementerian Luar Negeri Jepang) mengadakan online Japan-Visit Advanced Program untuk alumni JENESYS mengenai Maritime Safety and Rule of Law. Aku tergabung dalam Grup A, yaitu Maritime Safety and Rule of Law. Sementara Grup B ialah Energy and Climate Change.

Obyek utama program ini ialah pemahaman berkelanjutan, seperti perkembangan energi dan konservasi lingkungan di antara generasi muda di Jepang dan ASEAN.

Tujuan program ini berkontribusi terhadap perdamaian, stabilitas, dan perkembangan negara Asia dengan memfasilitasi pembelajaran bersama dan bertukar opini mengenai initiatif dan pertimbangan Jepang berkaitan dengan Maritime Safety and Rule of Law.

Perkembangan kekuatan militer China di Laut Selatan mengkhawatirkan negara sekitarnya, termasuk Jepang yang ingin memahami perspektif berbagai negara ASEAN.

Tampak China mengadopsi strategi Alfred Thayer Mahan yang berusaha memperoleh kemakmuran dari kekuatan maritim. Dengan klaim 9 dash line, China ingin menguasai jalur dan akses perdagangan global.

Menurut Mahan, kekuatan maritim dan komando atas laut merupakan kepemilikan kekuatan yang sangat besar di laut sehingga mengusir bendera musuh. Tapi, Mahan tidak melihat komando sebagai sesuatu yang total dan absolut. Komando bukanlah kendali atas laut, melainkan tentang dominasi relatif. Oleh karena itu, tidak benar juga menguasai rute perdagangan global sepenuhnya, seperti ambisi China dalam Laut China Selatan. Dalam bisnis, kompetisi diperlukan untuk mencapai efisiensi. 

Prinsip bisnis yang berkeadilan ialah tidak melakukan monopoli, termasuk menguasai sepenuhnya rute perdagangan global. Laut Cina Selatan merupakan salah satu jalur pelayaran yang penting karena lebih dari 60 persen perdagangan maritim global, lebih dari 22 persen total perdagangan global, dan sepertiga pelayaran global melalui rute tersebut.

Sumber gambar: JICE.
Sumber gambar: JICE.


Hari pertama diisi dengan materi dari Profesor Kentaro Nishimoto dari Universitas Tohoku mengenai Maritime Security and the Rule of Law at Sea. Berikut ialah materi presentasi Beliau.

Maritime Security terdiri atas penyelundupan narkoba, migrasi di laut, proteksi sumber daya alam, IUU Fishing, proteksi lingkungan laut, proteksi infrastruktur maritim, bajak laut dan perampokan, keamanan kapal di laut, dan hak patroli (safeguarding) dalam konteks antar negara (inter-state).

Rule of Law at Sea
Rule of Law artinya tidak ada yang berada di atas hukum.
Superioritas hukum berada di atas semua kekuatan.

Sumber gambar: MOFA.
Sumber gambar: MOFA.

Keynote Address oleh Perdana Menteri Jepang, Abe di Shangri-La Dialogue (2014).

The rule of law sangat penting dalam kawasan Asia-Pasifik.
Advokasi 3 prinsip "rule of law" di laut:
1) Membuat dan klarifikasi klaim berdasarkan hukum internasional.
2) Tidak menggunakan kekuatan atau pemaksaan (coercion) dalam mengarahkan klaim mereka.
3) Mencari solusi pertikaian dengan jalan damai.

EU Maritime Security Strategy.
Obyek utama:
Melindungi kepentingan Uni Eropa pada ekonomi, infrastruktur, perbatasan, dan sea-citizens.
Melindungi sumber daya alam dan lingkungan laut.
Menegakkan hukum internasional, khususnya United Nations Convention pada the Law of the Sea.
Merespon ancaman (cyber and hybrid threats) dengan efektif.
Memastikan pelatihan dan pendidikan yang relevan untuk menghadapi ancaman (miaalnya, keahlian cyber).

Sumber gambar: Uni Eropa.
Sumber gambar: Uni Eropa.

European Commission, Factsheet: EU Maritime Security Strategy

Sumber gambar: ASEAN.
Sumber gambar: ASEAN.


ASEAN Maritime Outlook 2023
"Evolving Areas of Maritime Cooperation and Emerging Maritime Issues"
* The ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (AOIP)
* Memperkuat ASEAN Centrality, keterbukaan, transparansi, inclusivity, kerangka berdasarkan aturan, tata kelola, berkaitan dengan kemakmuran, non-intervensi, ...  berkaitan dengan hukum internasional seperti UN Charter, the 1982 UN Convention on the Law of the Sea, dan konvensi serta kesepakatan UN lainnya, the ASEAN Charter dan berbagai kesepakatan ASEAN.
* Marine Debris and Pollution
* Environmental Impacts of Maritime Transport
* Piracy and Armed Robbery against Ships
* Cyberattacks against Ships and Port Facilities
* Irregular Movement of Persons
* Illegal, Unregulated and Unreported (IUU) Fishing
* Blue Economy
* Offshore Mining
* Offshore Renewable Energy

Sumber gambar: UNCLOS.
Sumber gambar: UNCLOS.


Kerangka Hukum Internasional yang Sah untuk Samudera ialah United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) yang disepakati oleh 170 negara, termasuk seluruh negara ASEAN, kecuali Kamboja.
United Nations General Assembly Resolution A/RES/78/69, Oceans and the Law of the Sea.

Sumber gambar: US Indo-Pacific Command.
Sumber gambar: US Indo-Pacific Command.

Sumber gambar: Phillipine News Agency.
Sumber gambar: Phillipine News Agency.

Studi Kasus 1: Perkembangan Terbaru di Laut China Selatan:
-Konfrontasi antara China dan Filipina mrngenai resupply BRP Sierra Madre di Second Thomas Shoal
-Bentrokan antara China Coast Guard vessel dan Philippine Coast Guard vessel dekat Sabina Shoal.

Klaim Garis 9 Garis Putus-Putus (China's Nine-Dash Line) di Laut China Selatan merupakan garis imajiner yang digunakan oleh China untuk mengklaim perairan di Laut Cina Selatan.

China merilis note verbale (komunikasi diplomatik berdasarkan sudut pandang orang ketiga) terhadap joint submission antara Malaysia dan Viet Nam pada Commission on the Limits of the Continental Shelf (2009).
Negara-negara lain pun memprotes klaim China.
Klaim China tersebut bertentangan dengan UNCLOS 1982.

South China Sea Arbitral Award:
Pada tahun 2013, Filipina menuntut China menggunakan prosedur perbantahan UNCLOS. Filipina meminta Tribunal untuk
* Menemukan bahwa klaim maritim China di Laut China Selatan, seperti di area Filipina, tidak bisa diperpanjang karena tidak sesuai dengan ketetapan UNCLOS.
* Menemukan bahwa klaim China pada yuridiksi hak kemakmuran (sovereign rights jurisdiction), dan hak-hak bersejarah (historic rights) berkaitan dengan area maritim pada Laut China Selatan yang dikenal dengan "nine-dash line" bertentangan dengan Konvensi dan tanpa dasar hukum.
* Menentukan status hukum fitur maritim di Laut China Selatan.
* Menemuksn bahwa berbagai aktivitas yang dilakukan China di Laut China Selatan bertentangan dengan UNCLOS.

Penemuan utama Tribunal (Award of 2016):
* Klaim China akan nine-dash lines bertentangan dengan UNCLOS.
* Tidak ada pulau yang ditunjuk dapam zona 200 mil di Spratly Islands.
* Mischief Reef dan Second Thomas Shoal merupakan low-tide elevations sehingga merupakan Zona Ekonomi Ekslusif dan continental shelf Filipina.
* China melanggar UNCLOS mengenai berbagai aktivitas di Laut China Selatan.

Berdasarkan hal tersebut, China menolak arbitral award.

Pertempuran Catatan Diplomatik (Notes) di CLCS:
Ketika China memprotes submission Malaysia pada CLCS tahun 2019, berbagai negara memberikan notes pada CLCS, yaitu Vietnam, Amerika Serikat, Indonesia, Australia, Inggris, Prancis, Jerman, Jepang, dan Selandia Baru.

Secara konsisten Filipina menggunakan court proceedings untuk menyelesaikan pertikaian akan the rule of law at sea.
* membuat dan mengklarifikasi klaim berdasarkan hukum internasional.
* tidak menggunakan kekuatan atau pemaksaan dalam upaya klaim mereka.
* mencari solusi damai.

* Saat China menolak, maka award tak berarti?
The award mentransformasi pertikaian mengenai klaim China di Laut China Selatan menjadi sebuah isu mengenai persetujusn award (dan keinginan untuk mengikuti aturan hukum).
Posisi negara-negara di notes verbales dan kerjasama beberapa negara dengan Filipina akhir-akhir ini, bukan merupakan keberpihakan, tapi upaya menegakkan hukum.

Studi Kasus 2: ITLOS Advisory Opinion pada Perubahan Iklim.

Apa kewajiban spesifik negara-negara anggota terhadap the United Nations Convention on the Law of the Sea ('UNCLOS'), termasuk Bagian XII:
(a) untuk mencegah, mengurangi, dan mengontrol polusi lingkungan laut dalam kaitan perubahan iklim, termasuk pemanasan samudera dan kenaikan permukaan laut, dan asidifikasi samudera (ocean acidification), yang disebabkan oleh anthropogenic greenhouse gas emissions ke atmosfer?
(b) untuk melindungi dan menjaga lingkungan laut dalam kaitan dampak perubahan iklim, ternasuk pemanasan samudera dan kenaikan permukaan laut, dan asidikasi samudera?

The International Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS) memberikan opininya pada bulan Mei 2024.

Apakah UNCLOS meregulasi GHG Emissions?
* Negara-negara tidak percaya perubahan iklim merupakan masalah ketika UNCLOS menegosiasikannya pada tahun 1970-80an.
* Emission of greenhouse gas (GHGs) berdampak serius pada lingkungan laut.
* ITLOS menyadari emisi GHGs merupakan polusi lingkungan laut sehingga merupakan subyek di bawah UNCLOS.
* ITLOS mengklarifikasi kewajiban-kewajiban negara yang tergabung dalam UNCLOS, termasuk kewajiban "all measures . . . necessary to prevent, reduce and control pollution."

Dampak Advisory Opinion:
* Advisory opinions bukan merupaksn ikatan hukum, tapi pernyataan wewenang dari hukum (authoritative statement of the law).
* The ITLOS climate change advisory opinion tidak menciptakan kewajiban-kewajiban baru, tapi mengklarifikasi kewajiban-kewajiban yang telah dimiliki oleh negara-negara yang tergabung dalam UNCLOS.
* Negara-negara perlu menyadari kewajiban-kewajiban mereka pada UNCLOS dan tidak hanya kesepakatan mengenai perubahan iklim (seperti the UNFCCC dan the Paris
Agreement) dalam meregulasi emisi GHG.
* The opinion menekankan aturan pengadilan internasional (international courts) dan tribunals dapat membentuk tingkah laki negara-negara mengenai isu khusus.
* The Advisary Opinion merupakan pengingat kembali pentingnya UNCLOS merupakan kerangka hukum untuk samudera.

Kesimpulan:
* Keamanan maritim melibatkan berbagai tantangan spektrum luas yang negara-negara perlu hadapi secara individu dan melalui kerjasama internasional.
* Menegakkan the rule of law at sea merupakan landasan untuk mencapai keamanan maritim yang stabil dan berkelanjutan.
* Sebagai pijakan kerangka hukum untuk samudera, UNCLOS tidak hanya menyediakan mekanisme untuk menyelesaikan pertikaian maritim tradisional, tapi juga menjaga kerjasama internasional dalam menghadapi ancaman keamanan yang muncul.

Discussion room. Sumber gambar: JICE.
Discussion room. Sumber gambar: JICE.

Workshop. Sumber gambar: JICE.
Workshop. Sumber gambar: JICE.

#jenesys_asean

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun