Mohon tunggu...
sisca wiryawan
sisca wiryawan Mohon Tunggu... Freelancer - A freelancer

just ordinary person

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Jurnal Hantu, Bab 21 - Kutukan Anak Kucing Bagian 2

20 September 2024   11:40 Diperbarui: 20 September 2024   12:04 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku tak tahu ini hari keberapa aku sakit typhus. Sudah banyak antibiotik yang kuminum, tapi kesehatanku tak kunjung membaik. Lidahku berbercak putih tanda panas dalam. Ususku yang bolong membuatku harus rebahan sepanjang hari dan hanya menyantap makanan halus seperti bubur buatan Teh Ira dan biskuit yang dicelupkan ke dalam susu. Teh Ira, asisten rumah tangga yang bertugas di rumahku sejak pagi hingga sore, selalu menatapku dengan sedih jika aku hanya makan beberapa suap hidangan yang dibuatnya.

Tama terus menemaniku. Tapi, ia tak bisa berbuat apa-apa ketika aku memuntahkan obat yang baru saja kuminum.

“Ray, sebaiknya kau dirawat di rumah sakit saja. Wajahmu pucat sekali dan demammu tinggi. Aku akan mengantarmu,” ujar Ranko dengan nada cemas.

Dengan bibir gemetar aku berkata, “Aku tak suka bau rumah sakit.”

“Bagaimana jika aku menelepon ibu atau kakekmu yang berada di Singapura?”

“Tak perlu. Jangan kau ganggu mereka! Ibu sangat repot merawat Kakek yang sakit jantung. Nanti pikiran Ibu tak menentu.”

Ranko merengut, “Kau sudah sekarat seperti ini, masih saja menawar. Sekarang kau pilih, rumah sakit atau kutelepon keluargamu?”

Aku memejamkan mata. Rasanya lelah sekali berdebat dengan Ranko. Aku hanya ingin tidur dengan tenang. Tapi, aku hanya bisa menikmati keheningan yang mahal harganya itu beberapa saat saja.

“RAY!”

“Jangan teriak di depan telinga orang sakit! Suaramu yang melengking membuat kepalaku tambah pening,” gerutuku.

“Mobil yang kuorder sudah tiba. Aku juga sudah menyiapkan ransel berisi pakaian dan perlengkapan untukmu selama beberapa hari.”

Aku berkata agak gusar, “Aku tidak ingin dirawat di rumah sakit.”

Sembari mengangkat hidung dengan angkuh, Ranko berkata dengan tegas, “Aku tak mau sahabatku mati konyol. Jika aku membiarkanmu mati begitu saja di sini karena kekeraskepalaanmu, berarti aku berdosa. Aku sudah berunding dengan Tama bahwa sebaiknya kau dirawat sore ini juga. Aku akan mengantar dan mengurus administrasi rumah sakit. Titik.”

Tama menganggukkan kepala. “Ini jalan yang terbaik, Ray. Aku akan menemanimu di rumah sakit.”

Aku pasrah. Ranko dan Tama yang bersatu, tak mudah dihadapi. Bahkan, ia sudah menyiapkan berkas asuransi kesehatan dan kartu keluarga untuk persyaratan administratif rumah sakit.

***

Aku pun terbaring lesu di ruang rawat Cempaka. Pak Rangga, asisten ayahnya Ranko, datang untuk menemaniku sejak malam ini hingga aku dinyatakan dokter boleh meninggalkan rumah sakit. Tama rebahan dengan santai di sampingku sembari menonton film dokumenter beruang yang menangkap dan makan ikan salmon di sungai.

Ranko mendokumentasikan diriku yang diinfus untuk kenang-kenangan. Aku tak berhasil mencegah keusilannya untuk mengupload fotoku tersebut di instagramku dengan caption ‘aku perlu bear hugs dan banyak cinta.’ Menurut Ranko, postingan tersebut akan membuat teman-temanku untuk datang membezuk dan menghiburku. Tanpa mempedulikan protes Ranko, aku langsung merampas handphone-ku dari tangan Ranko dan menghapus postingan tersebut. Aku lebih suka keheningan saat sakit.

“Kau tak pulang?” Tanyaku pada Ranko yang duduk santai di sampingku. Ia tampak cantik dan sesegar bunga matahari, tak sepertiku yang selayu daun kering.

“Kau mengusirku?” Tanya Ranko dengan mimik lucu. Bibirnya mengerucut.

“Sudah malam. Nanti ayahmu marah kau tak segera pulang,” sahutku dengan suara parau.

“Sejak kapan ayah marah jika hal itu berurusan dengan kau? Apa kau terganggu denganku karena modus ingin menggoda perawat yang cantik?” sahut Ranko sembari meleletkan lidah.

“Diajak bicara serius malah bercanda.”

“Kau tak cocok serius. Aku kangen Ray yang dulu.”

Aku menyeringai, “Kau kangen Ray yang tampan dan sehat?”

Candaanku langsung mendapat balasan cubitan keras di lengan kananku yang tak dipasang infus.

“Ayahku pergi ke Makassar besok pagi. Ia dinas selama sebulan. Jadi, besok sepulang sekolah aku akan membawa ketiga anak kucing tersebut ke rumahku supaya lebih efisien dan tak merepotkan Teh Ira. Ayah juga setuju aku merawat sementara ketiga anak kucing tersebut.”

Tama mendelik mendengar kalimat yang baru saja diucapkan Ranko. “Anak kucing itu berbahaya. Jangan kau bawa mereka ke rumahmu! Sebaiknya mereka segera disingkirkan.”

Ranko tertawa renyah. “Berbahaya bagaimana? Aku kan indigo. Aku tak melihat ada yang janggal dari ketiga anak kucing tersebut, selain mereka lemah dan sakit-sakitan.”

“Aku kan sudah menceritakan kejadian-kejadian aneh yang berkaitan dengan anak-anak kucing tersebut. Mereka kerasukan roh jahat. Tapi, kalian berdua tak mempercayai perkataanku,” tegas Tama.

“Jangan terlalu paranoid! Kau tidak jealous kan? Tentu saja Tama-ku yang manis tak bisa dibandingkan dengan ketiga anak kucing tersebut,” ujar Ranko sembari membelai kepala Tama.

Tama mendengus kesal. “Kau harus berhati-hati dengan anak-anak kucing itu.”

***

Ranko memandikan ketiga anak kucing dan menjemur mereka di bawah sinar matahari di halaman belakang rumahnya. Saat itu lewat tengah hari. Kebetulan awan tebal menutupi mentari sehingga suasana di teras belakang agak temaram. Ranko kembali merinding ketika melihat ketiga anak kucing tersebut. Mereka menatapnya dengan sorot mata aneh.

Diana bermata lembut, tapi ia berjalan berjingkat. Mischa yang tatapan matanya mengerikan. Lady merangkak dengan dada melengkung. Mata Lady basah, seperti menangis. Sekejap Ranko melihat Lady bukan anak kucing, tapi nenek yang sedang mengesot. Tapi Ranko berusaha menenangkan diri bahwa itu hanya bayangannya belaka. Mana mungkin anak kucing imut ini dirasuki roh jahat. Tama hanya mengada-ada. Buktinya, tak ada satu pun makhluk mistis dalam diri ketiga anak kucing yang mengajaknya berkomunikasi. Padahal ia kan indigo.

Ranko pun membawa ketiga anak kucing kesayangannya ke kamar tidurnya di lantai dua. Bulu mereka telah bersih dan harum. Ia tersenyum lembut menatap ketiga anak kucing yang bermain di karpet kamarnya. Sehabis memberi makan mereka, ia pun mandi.

Ranko sedang membilas rambutnya yang penuh busa shampo, ketika ia mendengar suara. “MIAAAAUW!”

Mischa merangkak di bawah celah pintu kamar mandi dengan kepala tengadah melihat tepat ke mata Ranko. Kedua kaki depannya menggapai-gapai. Mischa bersikeras untuk masuk ke dalam kamar mandi. Sungguh mengerikan! Mata Mischa tajam bersorot aneh.

Tiba-tiba lampu kamar mandi berkedip-kedip. Bayangan Mischa yang merupakan anak kucing berubah menjadi bayangan anak laki-laki setinggi dirinya. Ia terpana ketika bayangan itu merangkak di sepanjang dinding. Kemudian, lampu kamar mandi mati. Hitam semua.

Paru-paru Ranko serasa tercekik. Saat ia panik, tiba-tiba lampu menyala. Tapi pada saat yang sama, anak laki-laki itu tepat berada di hadapannya. Wajahnya eksotis dan manis dengan kulit sawo matang. Ia menyeringai memamerkan gigi taringnya yang seputih susu. Di lehernya terdapat untaian manik-manik batu. Telinganya memakai anting manik-manik batu yang panjang menjuntai. Kemudian, ia lenyap.

Ranko menoleh dan merasa ngeri karena Mischa masih memandangnya dengan intens. Ia segera menyelesaikan mandinya diiringi tatapan intens Mischa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun