"Jadi, kau akan menawarkan open donation?"
  "Ya, idemu sangat cemerlang. Tapi untuk sementara anak kucing ini tinggal denganmu, ya?" Pinta Ranko dengan pandangan memelas.
 "Aku tak pandai merawat anak kucing," elakku. Sebenarnya, aku malas merawat anak kucing. Tapi, aku tak berterus terang pada Ranko yang antusias.
    Ranko meraih kedua tanganku. "Ray, ini sudah takdir. Kau memiliki Tama, si hantu kucing. Apa salahnya kau juga merawat ketiga anak kucing yang imut ini. Tama pasti menyukai mereka."
 Â
   "Ranko, aku tak yakin Tama setuju. Tama itu hantu kucing, bukan makhluk hidup."
   Ranko mendesah. "Sementara saja hingga aku menemukan babu baru untuk mereka."
     "Babu?"
  "Itu istilah untuk pemilik kucing yang sangat mencintai kucing. Sekarang kau jadi babu sementara," seru Ranko dengan riang. Ia kembali membelai ketiga anak kucing itu. "Ray, warna mata mereka cantik sekali. Aku akan memberi nama mereka. Diana, anak kucing yang berbulu putih, kuning, dan hitam, warna matanya biru langit. Mischa, anak kucing belang putih dan kuning, bermata biru gelap. Sedangkan, Lady yang bulunya seputih susu, bermata biru kehijauan. Aku belum pernah melihat kucing Indonesia matanya biru seperti mereka."
   Aku menatap ketiga pasang mata indah tersebut dengan cermat. "Mungkin kucing campuran Angora atau Siam?"
    "Tapi, badannya kecil sekali. Biasanya, kucing Angora atau Siam badannya bongsor."