"Ray, aku sudah menunggumu dari sejam yang lalu. Kau sendiri yang berjanji untuk datang tepat waktu. Tapi, untuk kesekian kalinya kau terlambat. Mengapa kau tak membaca pesan WhatsApp-ku?" keluh Ranko yang berdiri di depan gang. Ia tampak begitu imut dengan kaus rajutan merah muda dan celana panjang putih. Tangannya berkacak pinggang. Di punggungnya yang mungil tersampir ransel merah muda ala Barbie. Bibirnya yang dipulas lip gloss nude mengerucut. Tama, si kucing hantu, berada di atas ranselnya.
  Dengan ekspresi bersalah, aku berusaha membela diri. "Maafkan aku, Ranko. Aku tak mendengar nada getar notifikasi pesan WhatsApp."
  "Kau juga tak menjawab teleponku. Aku berkali-kali meneleponmu," omel Ranko. "Ada 10 kali aku miss call. Kau juga mensenyapkan notifikasi telepon? Untuk apa ada handphone, jika tak digunakan?"
   Aku mengangguk pasrah. "Setelah melihat GPS, aku naik angkutan umum dan tak mengecek handphone lagi."
   Sebagai gadis keturunan Jepang, Ranko sangat tidak menyukai sifatku yang pelupa, sering terlambat, dan ceroboh. Ia tak mempersalahkan gender. Tapi, ia tak bisa mengerti mengapa aku yang penampilannya serampangan dan tak berdandan cantik seperti dirinya, tetap datang terlambat. Ini masalahnya ialah etos. Ranko bertekad untuk mengubah aku menjadi lebih disiplin. Tapi, hal tersebut sulit jika aku tak mau berubah.
   "Ray memang sering terlambat. Ia Mr Ngaret. Jika tidak ada aku, ia pasti kelabakan," kata Tama sembari menguap lebar. Ia meniup cakarnya yang imut dengan gaya angkuh. "Aku tadi bertaruh 3 ikan salmon dengan Ranko bahwa kau pasti datang terlambat. Ranko bersikeras kau telah berangkat. Tapi, tetap saja kau datang terlambat." Tama menyeringai dan mengeong senang. "Tapi berkat keterlambatanmu, aku menang. Makanya, Ranko uring-uringan."
"Ranko, aku benar-benar minta maaf. Tadi aku sempat tersesat," sahutku sembari mengatur nafas. "Ini akibat GPS. Entah mengapa GPS itu mengarahkanku mengambil tikungan yang berbeda hingga aku tersesat ke lembah."
 "Ya, sudah. Mari kita bergegas sebelum langit menjadi benar-benar gelap. Kita semua sangat lelah," ujar Ranko. Ia membungkuk dan mengencangkan tali sepatu sneakernya.
Aku merapatkan jaket denimku akibat udara sore yang cukup dingin. Tersaruk-saruk mengikuti Ranko di jalan setapak yang sempit tersebut. Di kedua sisi jalan, hamparan sawah dengan bulir padi yang mulai menguning, membentang luas.
Sinar matahari mulai meredup. Dalam sekejap suasana berubah gelap sehingga Ranko menyalakan senter yang sudah ia persiapkan sebelumnya. Angin sepoi yang bertiup, membelai halus pipi Ranko bagaikan jemari-jemari yang tak kasat mata.