Mohon tunggu...
sisca wiryawan
sisca wiryawan Mohon Tunggu... Freelancer - A freelancer

just ordinary person

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kuliah itu Kebutuhan Tersier?

6 Juni 2024   05:08 Diperbarui: 6 Juni 2024   05:33 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: pixabay.com.

"Untuk apa lanjut S3? Tak berguna," ujar salah satu dosen yang mengujiku saat tes masuk. 

Aku ingin tertawa saat mendengar pertanyaan tersebut karena hal tersebut diucapkan oleh seseorang yang memiliki ijazah S3.  Sementara saat itu, aku mengejar LoA S3 karena syarat menjadi peneliti atau pun dosen harus memiliki ijazah S3. Tapi sekarang susah menjadi dosen karena latar pendidikanku tak linear. Saat itu sedang semangat mengejar beasiswa S3. Sayangnya, gagal masuk tes S3. Ya sudah, bukan nasibku. Lagipula aku memang tak ikut tes masuk S3 Universitas lain karena budgetku terbatas.  Masih ada banyak jalan menuju Roma.

"Bapak tidak akan menghalangi niatmu. Kau ini seharusnya jangan meneruskan studi S3 di kampus ini. Tak ada lagi yang bisa kami ajarkan. Sebaiknya, lanjut studi di kampus lain," saran dosen penguji lainnya sembari tertawa.

Kalau ditanya kecewa tidak saat itu? Ya, sangat lelah dengan segala persiapannya. Bayangkan saja. Saat itu baru lulus S2, langsung kebut buat proposal disertasi 25 halaman. Ikut tes potensi akademik dan TOEFL. Lalu, mengurus segala syarat dokumen yang banyak sekali. Jika tak salah, ada 10 syarat dokumen.

Dosen pembimbingku saat S2 terkejut saat aku ditolak karena ia yang menulis surat rekomendasi untukku. Tak heran sih biasanya yang S3 itu harus sukses dalam karir (biasanya direktur, manajer, dll). Sementara pengalaman kerjaku di UKM dipandang kurang memadai (padahal yang memiliki UKM tempatku kerja itu guru besar di Universitas tersebut, tapi dosen penguji tak mengetahuinya). Selain itu, sepertinya topik proposal disertasi yang kuajukan kurang luas cakupannya. Pokoknya, dosen pembimbingku jauh lebih kecewa dibandingkan aku. Dosenku itu memang baik sekali. 

Yang unik. Setelah itu, 2 tahun kemudian malah ada email penawaran S3 dari Universitas tersebut. Tepat saat keluargaku mengalami masalah besar. Mana mungkin fokus kuliah. Lagipula tanpa beasiswa, aku tak sanggup kuliah S3. Sepertinya, pihak Universitas baru menyadari jurnalku saat S2 itu Q1 (berkat dosen pembimbing, keluarga, pakar, dan teman). Membuat jurnal Q1 itu seperti lari maraton. Dosen pembimbingku sampai berkata, "Kunci penelitian yang baik ialah kesabaran." Kebetulan aku orangnya tak sabaran.

Sedih, ya? Ukuran kesuksesan seseorang itu dari pencapaian karir. Apakah bekerja di industri besar? Apakah bekerja di kantor ber-AC? 

"HAHAHA. Mau ambil S3? Untuk apa? S2 saja tak kerja kantoran?" Ujar teman ibuku sembari mencibir. 

Sebenarnya, salah besar jika menganggap bekal pendidikan Universitas itu hanya untuk kerja. Ijazah Universitas memang menjadi persyaratan kerja. Tapi, mindset (cara berpikir) harus diubah. Pendidikan di Universìtas itu untuk menambah wawasan dan mengembangkan cara berpikir. 

Terus terang, berkat penelitian tesis, aku bisa memahami cara berpikir mafia sehingga setidaknya  aku masih bisa menghirup oksigen hingga detik ini. Memang ajaib dan tak logis. Tapi itulah yang terjadi.  Ilmu rantai nilai membuat kita memahami proses. Sementara ilmu keberlanjutan membuat kita memandang satu obyek dari berbagai sudut pandang. Dan juga berkat banyak membaca buku karya Agatha Christie dan Sir Arthur Conan Doyle. Jadi, tak ada ilmu yang sia-sia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun