Mohon tunggu...
Siswanto Danu Mulyono
Siswanto Danu Mulyono Mohon Tunggu... profesional -

Usia sudah setengah abad. Semua orang akan mati, tapi tulisannya tidak. Saya Arsitek "freelance" lulusan Unpar-Bandung. Sambil bekerja saya meluangkan waktu untuk menulis karena dorongan dari dalam diri sendiri dan semoga berguna untuk siapapun yang membacanya. Sedang menulis buku serial fiksi "Planet Smarta" untuk menampung idealisme, kekaguman saya terhadap banyak hal dalam hidup ini, bayangan-bayangan ilmu pengetahuan yang luar biasa di depan sana yang menarik kuat-kuat pikiran saya untuk mereka-rekanya sampai jauh dan menuangkan semuanya dengan daya khayal saya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sang Presiden

23 September 2012   16:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:51 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1348415027914953971

Kalau kita berwatak tuan, apalagi “Yang Dipertoean Agoeng”, maka jadi presiden itu nyaman: serba berkuasa, penuh sanjungan, kesempatan meraih kekayaan dan fasilitas yang serba VVIP. Maka tidak heran banyak yang berebutan. Tapi kalau kita berwatak seorang abdi atau hamba, jadi presiden itu sungguh berat, memikirkan bagaimana harus memajukan bangsa yang masih serba ketinggalan ini. Maka saya heran: kok mau ya? Luar biasa orang itu!

Jadi presiden jelas susah, baik untuk bisa menuju kesana maupun setelah duduk di sana. Minimal anda harus dikenal luas dan bisa menarik simpati rakyat sehingga dilirik. Maka, kalau sudah punya modal seperti itu, jaga diri dan reputasi, jangan membuat ulah neko-neko yang tiba-tiba bisa membuat karier politik anda terjun bebas dan tamat.

Setelah punya modal “reputasi baik dan populer”, kesulitan calon presiden (Indonesia) yang pertama adalah “harus punya partai”. Tentunya partai yang bisa ikut pemilu. Membuat partai itu tentu tidak gampang, banyak persayaratan dan modalnya. Kalau kita dijagokan oleh beberapa partai jadi calon presiden, itupun pasti tidak gratis. Inilah kesulitan besar yang sangat menentukan masa depan sang presiden. Boleh juga dikatakan sebagai salah satu tekanan dari dalam negeri disamping tekanan-tekanan lainnya yang berasal dari bangsa sendiri.

Seperti kita ketahui bersama (meskipun buktinya tidak gamblang karena banyak disembunyikan), untuk bisa didukung beberapa partai ya akhirnya harus “bayar”(balas jasa atau balas budi, baik dengan materi/proyek atau komitmen politik). Kata “bayar” ini bila berupa materi, bisa berarti bayar sendiri atau dibayari rekanan. kalau anda “kaya raya” (entah kaya beneran atau pintar menyulap), mungkin hal tersebut tak jadi persoalan dan faktor “kemungkinan dikendalikan oleh yang bayari” bisa banyak dihilangkan. Tetapi pembayaran yang berupa “komitmen politik” tentunya tetap membatasi langkah seorang presiden untuk menentukan kebijakan-kebijakan penting dalam pemerintahannya.

Kalau anda kurang modal dan nekad mau “bayar sendiri” dengan cara “menyulap”, berarti anda sudah punya teman “kongkalikong” yang harus anda jaga terus, karena kalau anda sakiti mereka, bahaya, bisa terbongkar semua aib anda. Dan biasanya kalau sudah sampai titik seperti itu, anda bisa tega membunuh teman sendiri demi menyelamatkan diri dan reputasi. Cara melenyapkan ya macam-macamlah: suruh di”dor” langsung, diracun arsenik, dirusak reputasinya sambil dijebak, dll-dll (anda kan jauh lebih jago dari saya).

Kalau anda kurang modal dan membuka diri untuk “dibayari” rekanan, ya otomatis hutang budi dan biasanya rekanan minta kompensasi. Kalau anda dasarnya baik, maka cara balas budi tersebut bisa diatur dengan bijak tanpa melanggar hukum dan menyakiti rakyat. Tapi kalau anda dasarnya serakah, maka anda malah memanfaatkan rekanan anda untuk membantu mengumpulkan harta pribadi sepuluh turunan. Ini celaka, celaka buat rakyat dan mungkin kelak (kalau ketahuan) celaka buat diri sendiri dan keluarga sampai sepuluh turunan juga.

Jadi, belum apa-apa presiden itu sudah banyak menyimpan kesulitan karena urusan dengan partai dan urusan hutang budi. Jadi, wajar saja akhir-akhir ini rakyat yang mulai terbuka wawasannya mulai bergerak mengkritisi ulah partai-partai politik di Indonesia khususnya. Partai itu gunanya untuk kepentingan rakyat atau sarang pengkhianat rakyat? Perlawanan kepada ulah partai-partai itu terlihat jelas semasa pilkada DKI Jakarta 2012. Boleh dibilang pilkada itu unjuk kekuatan partai melawan kekuatan rakyat independen (merdeka). Kalau anda aktifis partai, anda harus mempertanyakan sendiri komitmen partai anda untuk bangsa ini. Sudah tidak jamannya lagi partai dipakai sebagai kendaraan wisata, rakyat akan menimpuki kalian.

Kesulitan besar berikutnya calon presiden adalah tekanan dari luar negeri. Indonesia ini Negara pensuplai bahan baku mentah (dan jadi) serta pasar berbagai produk impor yang sangat besar dan empuk. Semua Negara di dunia berikut konsorsium nyata maupun bayangan punya kepentingan besar dengan Indonesia. Jadi kalau dibilang “tidak ada campur tangan asing” kepada pemilu di Indonesia, itu gombal namanya. Bisakah calon-calon presiden itu melakukan lobby-lobby politik dengan cerdik? Atau, mereka menyerah jadi boneka hanya asal bisa berkuasa? Saya yakin sekali, tekanan ini demikian besarnya dan punya kekuatan besar untuk mendikte di kemudian hari. Kalau anda calon presiden yang sayang rakyat, sebaiknya anda siapkan strategi cerdas untuk menyikapinya jauh-jauh hari sebelum hal itu terjadi. Kasihanilah rakyat yang sudah demikian lama mendambakan presiden yang mandiri dan benar-benar berpihak kepada bangsanya sendiri.

Untuk calon presiden mandiri ini, bisa saya beri gambaran sbb:

Anda pernah mencoba berpikir, mengapa Negara China dengan cepat bisa maju sepesat itu dan Negara kita tidak? Kalau dikaji lebih dalam, maka faktor utamanya adalah harga diri, tahu diri, dan komitmen untuk maju bersama.

 

Para pemimpin China itu punya harga diri sangat tinggi sehingga hampir tidak bisa disuap atau diatur-atur seenaknya oleh Negara besar lain manapun. Orang Amerikapun ‘Bo Hoat’ (tak berdaya) kalau sudah berhadapan dengan para pemimpin China. Segala macam barang, merek dagang, hak cipta, dll-dll mereka bajak seenaknya dan tak ada satupun yang bisa menuntut Pemerintah China. Kalau persoalan hukum internasional diancamkan ke mereka, dengan entengnya akan mereka jawab: “Silakan, itu persoalan anda, bukan persoalan saya!” Lho??, maunya bagaimana? Dengan lancarnya akan mereka jawab: “Mengapa anda menuntut saya harus peduli kepada anda? Apa anda peduli kepada kami, bangsa yang penduduknya lebih dari semilyar?” Lawannya akan protes: “Lha, saya mau bayar anda juga, kita bisa dagang dengan cara yang fair.” Lalu akan dijawab: “Jangan bayar saya atau aparat saya, bayarlah kepada rakyat saya!” Lawannya akan mikir tujuh keliling atau lebih. Pertama, mikir apa maksud kalimat itu? Kedua, bagaimana caranya membayar semilyar lebih rakyat China? Ketiga dan seterusnya, ujungnya mereka mikir bagaimana agar tetap bisa masuk pasar besar di China, memanfaatkan tenaga buruh dan material yang murah disana, dan terakhir mereka mikir: “Lebih baik menuruti maunya Pemerintah China daripada nekad membawa mereka ke pengadilan internasional dan tak dapat apa-apa dari mereka bahkan mengeluarkan biaya banyak untuk itu serta di “black-list”. Maka jadilah keajaiban itu, bangsa lain “bo hoat” lawan Pemerintah China. Mereka tak bisa mengatur-ngatur China, harus nurut, titik.

 

Tetapi nekadnya Pemerintah China itu bukan sembarang nekad dalam arti yang konyol. Pemerintah China tahu diri, termasuk tahu kelemahan dan kekuatan bangsa sendiri. Mereka butuh kerja sama, tapi tak sudi dijajah dan disetir. Mereka tahu, bangsa lain tergiur tenaga murah, barang murah dan pasar besar di China. Sebaliknya, mereka juga butuh investor luar negeri untuk memacu pertumbuhan ekonomi di negaranya. Maka, setelah jurus “harus nurut” mereka terapkan, mereka mengimbangi dengan pelayanan yang sangat baik kepada para investor. Prasarana jalan mereka perbaiki; bandara dan pelabuhan diperbanyak dengan kwalitas yang pantas; fasilitas-fasilitas yang diperlukan segera mereka sediakan, semuanya memakai tenaga dan produk lokal. Dari sisi administrasi, mereka mempermudah banyak perijinan dan memangkas semua prosedur yang bertele-tele.

 

Faktor “berbakti” kepada Negara (dan orang tua) yang kuat dari rakyat China membuat jarang ada perselisihan dengan kaum buruh, sehingga jarang terdengar ada demo buruh, apalagi sampai bikin jalan tol macet karena diblokir dan menimbulkan kerugian masyarakat banyak yang tak terkirakan.

 

Dan sebuah komitmen yang tegas untuk para pengkhianat dicanangkan oleh Perdana Menterinya: “Sediakan seratus peti mati di kantor saya, 99 untuk para koruptor dan pejabat bejat lainnya yang menyusahkan rakyat banyak; satu untuk saya kalau saya juga berbuat seperti itu!” Pelaksanaan komitmen itu juga amat tegas. Anda mungkin masih ingat, bahwa menteri kesehatan China dihukum mati karena kasus produk susu China yang mengandung serbuk melamin dan membuat sakit banyak bayi di seluruh dunia. Terlebih setelah ditelusuri, ternyata sang menteri menerima suap dari berbagai perusahaan farmasi sehingga meloloskan banyak produk makanan dan obat-obatan dari China yang membahayakan kesehatan. Hal itu tentu sangat memukul reputasi obat-obatan China yang terkenal sangat mujarab dan membuat anjlok kepercayaan masyarakat dunia kepada industri farmasi dari China. Maka, tak ada ampun, satu peti mati untuk sang menteri.

 

Itulah harga diri yang dipadukan dengan tahu diri dan komitmen tegas untuk membela rakyat sendiri. Sepintas kelihatan sangat ironis, bahwa Negara Komunis yang katanya tidak kenal Tuhan itu ternyata sangat komit dengan nilai-nilai kenegarawanan dalam bertindak. Sebaliknya, Negara kita yang terkenal sangat berTuhan dan rajin beribadat ternyata banyak menyimpan watak bejat. Coba lihat kebanyakan pemimpin Indonesia, begitu dengar kata: “Saya mau bayar”, langsung hatinya lumer dan mulai menghitung berapa yang masuk kantong sendiri dan kantong aparat. Alhasil, bangsa tergadaikan, semuanya saja, mulai dari harga dirinya, pasarnya, hukumnya, sistemnya dan apa saja.

Belum cukup brengseknya, duit negarapun digarong ramai-ramai. Pantaslah bangsa ini terus jadi Negara jajahan secara politik dan ekonomi. Apapun diimpor, termasuk beras. Bahan mentah apapun diekspor, termasuk hutan yang sudah kian gundul dibabat para pengusaha serakah dan kroni-kroninya. Hukum diatur-atur seenaknya dengan yang mau bayar atau yang sedang berkuasa, keadilan cuma retorika penghiburan yang makin hari makin memuakkan. Eksploitasi kekayaan alam di suatu wilayah sering dengan cara mengabaikan kepentingan penduduk asli sehingga menimbulkan perpecahan, dll-dll. Tak ada sistem yang menunjukkan bahwa Negara ini diatur dengan benar. Maka, sudah pasti tetap jadi Negara amburadul dalam banyak hal.

Itulah gambaran tingkat “kemandirian” sang presiden dan seluruh staffnya.

Kesulitan berikutnya dari presiden adalah tidak punya konsep yang jelas dan nyata bagaimana mau membawa maju bangsa ini. Negara ini sepertinya asal jalan dengan sistem koordinasi yang sangat lemah. Tidak terlihat adanya jaringan koordinasi antar lembaga, entah antar lembaga pemerintah maupun kerjasama dengan swasta yang bisa mendobrak kebuntuan kebodohan dan kemiskinan selama ini.

Saya beri satu gambaran tentang sistem jaringan kerjasama antar lembaga pemerintahan dan swasta ini, misalnya seperti ini:

Presiden sebagai kepala Negara dibantu oleh para menterinya di tingkat pusat. Sedangkan daerah dipimpin oleh kepala daerah (walikota, bupati atau gubernur). Di tingkat desa dipimpin oleh kepala desa berikut RW dan RTnya. Nah, jaringan pemerintahan ini jangan sampai tidak terkontrol sama sekali bahkan tidak diurus sama sekali dan dibiarkan jalan sendiri-sendiri. Saya sama sekali tidak yakin kalau presiden tahu permasalahan sebenarnya di banyak desa di seluruh Nusantara. Padahal, sebenarnya sangat mudah. Tinggal seluruhnya dirangkum dalam sebuah jaringan internet, maka kontrol bisa lebih cepat dan langsung. Tidak begitu saja percaya laporan ABS dari anak buah, tapi bisa dengar langsung keluhan kepala desa berikut RW atau RTnya sekalian. Ini suara murni langsung dari rakyat, harganya mahal dan segi obyektifitasnya lebih bisa dipertanggung-jawabkan daripada laporan yang sudah direkayasa.

Presiden tidak perlu takut harus menangani sendiri semuanya sampai mabok. Pemerintah misalnya, bisa menjalin kerja sama dengan seluruh perguruan tinggi negeri maupun swasta untuk menangani kepentingan seluruh desa sampai yang terpencil sekalipun. Pemerintah bisa menempatkan beberapa sarjana di setiap desa untuk melakukan berbagai penelitian yang berhubungan dengan “masalah dan potensi” di desa tersebut dan menyimpulkan sebuah “solusi” yang mesti dilakukan agar desa tersebut bisa maju dan aktif ikut bekerja dalam koridor bela negara. Para sarjana ini dibantu langsung dan sepenuhnya oleh para ahli dari almamaternya atau universitas lainnya melalui komunikasi langsung via internet. Pendanaannya harus diusahakan oleh negara. Kalau Negara tak sanggup bayar, bukan alasan untuk tidak berbuat, karena banyak pihak swasta yang mau bekerjasama atau bahkan membantu gratis asal benar tujuannya dan tidak saling menggombali.

Saya percaya, hal semacam ini bukannya sulit dilakukan, tapi tak pernah dipikirkan dengan serius karena sibuk urusan lainnya yang kemungkinan besar jauh dari kepentingan rakyat. Negara punya kekuatan besar untuk memajukan rakyatnya asal pemimpinnya punya konsep dan dedikasi seorang hamba rakyat. Kalau kita bicara dengan seorang tuan, ya maaf, percuma, mereka kan dewa dan kita manusia, pasti lebih bodoh!

Dipersingkat sampai sekian, semoga ada gunanya.

 

***********************

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun