Jalan Braga-Bandung, pasti banyak yang kenal. Sekarang kita mengenalnya sebagai jalan yang ruwet, baik macetnya maupun kwalitas jalannya. Untuk membuat jalan dengan kwalitas seperti itu, entah berapa kali lebih mahal daripada memperbaiki jalan hotmix dengan kwalitas nomor satu. Coba bayangkan: Lapisan atas jalan hotmix yang sudah bagus dibongkar total sekitar 15 cm. Berapa biayanya? Berapa lama waktunya? Berapa banyak yang sakit karena debunya? Berapa banyak orang yang rugi karenanya? Lalu dasar jalan itu, yang masih berupa aspal lama jaman Belanda, ditutup dengan batu andesit seperti memasang paving blok. Batu andesit 20 x 40 x 8 cm itu jelas tidak murah, karena yang tebalnya 2 cm saja harganya sudah di atas Rp 100 ribu/m2. Masih mending kalau di bawah jalan itu berfungsi sebagai resapan air seperti tujuan orang pasang paving blok, sehingga lumayanlah kita menambah daerah resapan, tetapi itupun tidak. Setelah dibangun dengan biaya luar biasa besar dan waktu yang lama seperti itu, beberapa minggu kemudian kita sudah melihat plang perbaikan jalan dipasang lagi di tengah jalan! Ini terjadi karena ternyata susunan batu andesit itu goyang semua ketika dilalui mobil dan menimbulkan bunyi yang sangat tidak enak. Terpaksalah dibongkar ulang dan dipasang kembali. Kali ini, supaya tidak malu, dipasang pakai adukan semen dan pasir seperti orang memasang lantai ubin! Waduh…, betapa konyolnya! Lewat setahun kemudian (sekarang ini), jalan yang tidak umum dan sangat tidak enak itu sudah rusak parah lagi. Hoalah..! Apa yang ingin dicapai? Mengembalikan “image” Braga seperti tempo dulu? Sebagai wilayah yang nikmat untuk jalan kaki? Lalu bagaimana fungsi utamanya sebagai jalan penghubung wilayah Utara-Selatan yang belum ada gantinya? Mengapa harus memaksakan sesuatu yang belum ada alternatifnya dengan kerugian dan kekonyolan sebesar itu? Kita semua butuh jawaban untuk perbaikan di masa mendatang. Tidak untuk berdebat siapa yang benar atau salah, tetapi untuk mencari kebenaran itu sendiri yang amat kita butuhkan. Yang pertama harus diingat adalah, bahwa jalur-jalur jalan raya kita sudah tidak mencukupi lagi untuk menampung jumlah mobil dan motor yang lewat setiap harinya (dan juga bertambah terus tanpa kontrol). Menutup jalan Braga, yang tidak hanya berfungsi sebagai jalan raya biasa tapi amat vital sebagai penghubung wilayah Utara-Selatan, adalah tindakan yang sungguh konyol. Kalau mau menata keseluruhan kota, konsepnya harus matang dulu. Tidak perlu takut biaya mahal dan banyak kendala. Selama konsep kita manusiawi dan tepat guna, maka jalan keluar akan selalu ada. Untuk kawasan Braga, yang pertama-tama harus ditata adalah wilayah pendukung di sekitarnya. Kalau di sekitar wilayah itu tidak ditata tuntas dan kita terjebak hanya memikirkan jalan Braganya saja, maka seluruh upaya kita akan gagal total dan selalu terkesan tambal sulam. Pemerintah harus berani menetapkan lingkungan kanan kiri di sepanjang dan belakang jalan Braga itu sebagai wilayah apa dulu yang tepat untuk jangka panjang, baru kemudian memetakan suatu kerja menyeluruh untuk mewujudkannya. Braga mestinya adalah wilayah bisnis kelas satu. Wilayah bisnis haruslah tetap diupayakan sebagai wilayah bisnis. Masalah ia bisa memberi kesan santai dan amat nikmat ditelusuri adalah masalah “penataan dan disain”. Ketika kita membalik konsep utama ini dan hanya berusaha menjadikan Braga sebagai wilayah rekreatif, maka perjalanan ke depannya bisa dipastikan akan kocar-kacir. Sebuah wilayah perlu kesesuaian dengan fungsi utamanya, sebab dari sanalah ia akan menemukan jati dirinya dan memberi nilai tambah suatu kota untuk banyak hal dalam jangka panjang, termasuk keuntungan fulus untuk peningkatan pendapatan masyarakat Jawa Barat dan pendanaan untuk pemeliharaannya. Pemilihan fungsi yang tidak tepat akan mendatangkan berbagai persoalan yang kebanyakan akan menjadi beban pemerintah daerah di kemudian hari. Menurut pengamatan penulis, wilayah Braga dan sekitarnya sangat cocok dikembangkan sebagai “Sentra Etalase Produk Jabar” berorientasi lokal dan ekspor untuk memudahkan pengusaha dalam dan luar negeri melihat keseluruhan potensi produk Jabar.Untuk itu, seluruh wilayah kanan-kiri di belakang jalan Braga (termasuk sekitar kali Cikapundung tembus ke jalan Naripan dan jalan Kejaksaan sampai tembus Lembong) harus ditata tuntas dengan konsep yang mengarah ke sana. Wilayah baru ini nantinya harus bisa disatukan dengan semua fasilitas yang sudah ada saat ini, seperti Pasar Cikapundung sampai kawasan Bancey dan Alun-Alun. Semua areal bisnis kelas satu ini mestinya harus bisa diakses dengan cepat menggunakan transportasi keliling kawasan semacam kereta monorail atau sekedar kereta sederhana yang didisain baik dan diberikan jalur anti macet. Dengan penyatuan seperti ini, maka para pengunjung bisa memanfaatkan area parkir dimanapun yang sudah banyak tersedia di wilayah gabungan tersebut untuk kemudian keliling lokasi menggunakan kereta dan turun di tempat yang dikehendaki. Jalan Braganya sendiri harus diselamatkan dan hanya sebagai wilayah luberan dari kegiatan yang ada di belakang jalan Braga. Bahkan nantinya di jalan Braga tidak boleh ada yang parkir di tepi jalan, karena semua tempat parkir disediakan leluasa di belakang jalan Braga dan sekitarnya. Luberan pengunjung ke jalan Braga hanya akan terjadi di trotoar jalan Braga yang saat ini lebarnya sudah cukup (2,5 m). Kalau perlu dibuat terowongan bawah tanah yang menghubungkan jalan Braga sebelah kanan dan kiri dan bisa dicapai melalui dua buah ruang publik yang buka 24 jam. Kita bisa meniru terowongan bawah tanah yang menghubungkan kedua sisi jalan “Orchad” di Singapore yang aksesnya melalui “Lucky Plaza” tembus ke “Takhasimaya”, sehingga jalan “Orchad” sendiri sama sekali tak terganggu lalu lintas mobilnya. Bisa juga nantinya trotoar jalan Braga diberi pagar pendek setinggi pinggang orang dewasa yang tembus pandang sehingga tidak ada yang menyeberang sembarangan dan menjamin lalu lintas mobil dan motor lancar. Lebih jauh lagi, penulis juga mengamati, bahwa kontur tanah yang cukup curam antara jalan Braga dengan lokasi sekitar sungai Cikapundung justru memberi nilai lebih yang amat besar gunanya. Kawasan tersebut justru bisa dirancang dengan gaya “split level terbuka” yang sangat eksotis, manusiawi dan sangat indah. Perpaduan antara kawasan santai, alamiah dan bisnis moderen. Kita justru banyak mendapatkan tambahan ruangan tingkat yang tidak terasa bertingkat karena hubungan yang bersifat langsung dan terbuka dengan ruangan bawahnya: bawah bisa melihat atas dan sebaliknya. Sungguh sayang kalau potensi yang sebesar dan seeksotis ini selama puluhan tahun malahan jadi beban pemerintah kota Bandung. Penataan wilayah dalam skala besar inilah yang akan menyelamatkan semuanya. Jangan takut kendala dan biaya. Pada prinsipnya tidak ada orang yang tidak mau berubah menjadi lebih baik selama manusiawi dan tepat guna. Kegiatan ini juga pasti mengundang banyak investor yang siap mengucurkan dana. Dan masyarakat di sekitar Braga pasti mendukung selama diberi pengertian dan ditunjukkan rencana secara menyeluruhnya serta diberi kesempatan yang memadai untuk ikut serta di dalamnya. Jadi, takut apa?
****************
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H