Mohon tunggu...
Siswanto Danu Mulyono
Siswanto Danu Mulyono Mohon Tunggu... profesional -

Usia sudah setengah abad. Semua orang akan mati, tapi tulisannya tidak. Saya Arsitek "freelance" lulusan Unpar-Bandung. Sambil bekerja saya meluangkan waktu untuk menulis karena dorongan dari dalam diri sendiri dan semoga berguna untuk siapapun yang membacanya. Sedang menulis buku serial fiksi "Planet Smarta" untuk menampung idealisme, kekaguman saya terhadap banyak hal dalam hidup ini, bayangan-bayangan ilmu pengetahuan yang luar biasa di depan sana yang menarik kuat-kuat pikiran saya untuk mereka-rekanya sampai jauh dan menuangkan semuanya dengan daya khayal saya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Berbincang-bincang dengan Nyoman Nuarta

8 Maret 2010   13:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:33 2147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Udara Bandung Utara yang sejuk adalah rejeki berlimpah, teristimewa buat seorang Nyoman Nuarta. Lelaki kelahiran Tabanan-Bali 58 tahun yang lalu itu mengaku lebih suka tinggal di Bandung. Di Bali terlalu panas. Dalam bekerja, dia merasa lebih produktif di suhu udara antara 17 – 27 C. Bila sudah di atas 30 C, ia merasa kurang nyaman dan terganggu konsentrasinya.

Ditemani secangkir teh hangat dan pisang goreng, kami ngobrol sangat akrab selama 2 jam lebih. Obrolannya mengalir bebas sebebas-bebasnya, menyangkut banyak hal, sehingga penulis bisa melihat jelas sisi manusiawi seorang Nyoman Nuarta dan bukan hanya formalitas seorang Nyoman Nuarta.

Di bawah ini penulis ringkaskan untuk anda isi bincang-bincang kami, semoga membawa banyak manfaat untuk kita semua.

Tentang profesinya

Mengangkat dunia seni patung itu sangat berat. Berbeda dengan sebuah lukisan yang bisa digantung di dinding setiap rumah, sebuah patung butuh “space” (ruang) untuk menempatkannya. Perbedaannya seperti elemen 2 dimensi dan 3 dimensi. Maka tidak heran bahwa menekuni profesi sebagai pematung itu juga sulit sekali. Oleh sebab itulah sampai hari ini jarang muncul para pematung yang professional, sukses dan cukup punya nama.

Kultur keagamaan di Indonesia juga kurang memberi apresiasi positif terhadap patung. Dalam Agama Kristen dan Islam tak ada patung. Patung terutama hadir di taman-taman kota besar dan sosok tokoh-tokoh panutan. Jadi tempatnya sangat terbatas.

Saya mencoba mengemas karya patung menjadi suatu komoditas yang dibutuhkan dan memiliki arti lebih luas dari sekedar karya seni. Patung juga bisa menjadi suatu kerja industri dan ikon wisata yang menyerap banyak tenaga kerja serta menghidupi banyak orang. Langkah saya ini sering mendatangkan tudingan miring bahwa saya telah keluar dari pakem-pakem kesenian seorang pematung. Saya jelas tidak setuju dengan semua persepsi seperti itu.

Cobalah amati: Di jaman moderen ini, betapa penting arti kata “kemasan” itu. Orang jualan beras atau arang saja memakai bungkus yang didisain bagus agar menarik minat pembeli. Pertunjukan musikpun menjadi menarik karena digabungkan dengan gerakan tari serta koreografi lain yang menyemarakkannya.

Jadi sebuah patungpun bisa memiliki daya tarik lebih besar ketika ia digabungkan dengan elemen penunjang lainnya. Maka kalau saya juga mendisain macam-macam elemen penunjang dari karya patung saya, itu tidak bisa diartikan bahwa saya telah keluar dari pakem-pakem kesenian berpatung, malahan saya memberi arti lebih untuk patung yang saya buat itu sendiri. Itulah artinya kemasan. Garuda Wisnu Kencana adalah contohnya.

Disamping itu, saya juga tidak setuju bahwa seorang seniman itu harus kelihatan nyentrik atau awut-awutan. Yang wajar sajalah, tak perlu harus dinyentrik-nyentrikan. Tak perlu seniman itu harus kelihatan kere dan kumal. Wajar sajalah.

Tentang Budaya

Perhatian bangsa ini terhadap budaya masih sangat lemah. Banyak hal lebih banyak melulu dikaitkan dengan urusan duit dan duit. Kalau tidak mendatangkan duit dianggap tidak layak diadakan. Padahal budaya itu adalah sarana penting yang membuat akal budi manusia menjadi halus dan beretika.

Bangsa yang kehilangan budaya adalah bangsa yang kasar dan kehilangan nurani. Karena kasar dan kehilangan nurani, maka korupsi dan tindakan illegal dengan mudah merebak dimana-mana. Orang menjadi serakah dan merendahkan martabat manusiawinya sendiri. Kita hidup seperti sekumpulan binatang yang saling sodok dan cakar, tanpa etika dan kehalusan akal budi.

Saya mempunyai seorang teman baik di Spanyol. Kalau saya ke Spanyol, saya menginap di hotelnya. Saya kagum dan terpana melihat perkembangan negeri itu. Spanyol dulunya adalah semiskin dan sebrengsek Indonesia, penuh korupsi. Budayalah yang menyelamatkannya. Orang-orang yang sadar diri mulai bekerja dan bergabung dalam wadah-wadah untuk membenahi wajah Spanyol.

Dimulai dari membenahi lingkungan alam, jalan-jalan, transportasi dan membangun pusat-pusat pariwisata di seluruh negeri serta memberikan banyak kemudahan-kemudahan lainnya bagi para turis, investor lokal maupun internasional, maka perlahan-lahan kunjungan wisata ke negeri tersebut dan arus investasinya melonjak drastis. Kalau anda ingin main golf di Spanyol, misalnya, maka alat golf anda yang berat itu tidak kena tarif khusus di pesawat, gratis.

Saat ini Spanyol dikunjungi turis mancanegara sebanyak 50 juta orang per tahun. Bandingkan dengan Indonesia yang hanya sekitar 5 sampai 10 juta orang per tahunnya. Kunjungan wisata sebanyak itu jelas mendatangkan rejeki dimana-mana bagi penduduknya. Mereka otomatis menjadi sadar diri untuk menjaga reputasinya. Akal budinya menjadi halus dan semangat kerjanya tinggi, termasuk semangat untuk memberikan pelayanan sebaik-baiknya. Korupsi dan cara-cara yang bikin susah orang lain surut tanpa harus diobrak-abrik oleh KPK, sisanya yang bandel tinggal ditindak tegas.

Orang menyadari, bahwa kalau mereka bekerja keras, menata diri dengan baik, tidak bikin susah orang lain apalagi yang berstatus tamu dan investor, maka rakyat bisa hidup makmur. Itulah kekuatan yang bisa didapat dari keluhuran budaya. Budaya tidak sekedar urusan tingkah laku adat, tapi urusan segi dalam manusia itu sendiri dimanapun ia berpijak, berpikir dan berbuat. Dan karena dunia semakin mengglobal, maka budaya harus menunjukkan keluhuran yang semakin bisa mewadahi nilai-nilai universal manusia. Jadi budaya juga sesuatu yang hidup, tumbuh dan berkembang, bukan sesuatu yang mandek, apalagi menyurut.

Indonesia masih jauh dari itu dan sulit disadarkan. Investor sering dipersulit, turis dikeroyok pedagang asongan, dunia politik penuh intrik-intrik, alam rusak dan digadaikan, jalan-jalan dan sarana transportasi tak terurus, korupsi dan tindakan jalan pintas meraja-lela, bank dijarah, kehidupan ekonomi amburadul, dll-dll, semuanya menunjukkan tindakan orang yang tergerus kehalusan akal budinya.

Tentang Agama

Orang Indonesia paling getol kalau bicara agama. Kronisnya, mereka malahan banyak yang memposisikan diri sebagai pemilik agama itu sendiri. Karena merasa sebagai pemilik, maka kalau agamanya diganggu sedikit saja, marahnya bukan main. Ia bahkan merasa berhak mengadili orang lain yang tidak sepaham.

Padahal, sebenarnya kita ini kan hanya pengikut suatu ajaran agama. Kalau orang lain tak mau ikut ya silakan. Saya kadang-kadang merasa, kok rasanya Tuhan lebih sayang negeri China yang komunis daripada negeri Indonesia yang taat beragama. China sekarang muncul sebagai kekuatan dunia, pemerintahnya tegas dan berusaha terus membersihkan diri. Lebih jauh lagi, mereka berbuat nyata dan bukan omong kosong dalam memberi arti kepada kemajuan. Sedangkan kita yang rajin berdoa sampai hafal luar kepala isi doa yang panjang-panjang ternyata hanya sampai seperti sekarang ini: banyak bencana, korupsi, bonek (bukan cuma penonton bola saja, tapi dimana-mana, termasuk di dewan-dewan terhormat). Apa yang salah? Silakan dijawab sendiri.

Saya pribadi menemukan Tuhan dalam realitas yang nyata, ketika saya bekerja mewujudkan sesuatu yang baik, nyata dan berguna. Saya sulit mempercayai Surga yang diawang-awang sana, karena saya sudah merasakan Surga dalam realitas yang nyata: Ketika saya melihat karya saya berguna, apa yang saya lakukan mengangkat nilai hidup orang lain juga. Ketika saya memiliki teman-teman dan bertukar pikiran atau berbagi banyak hal bersama-sama, termasuk dengan anda. Ketika saya menyadari bahwa saya sungguh-sungguh bahagia telah dirahmati oleh Tuhan dan bisa sungguh-sungguh merasa bersyukur karenanya. Itulah Tuhan dan Surga saya, tidak ada yang diawang-awang, semuanya nyata. Bahwasanya masih banyak persoalan menerpa: lha manusia mana yang tidak punya masalah? Bukankah kita belajar dari masalah yang ada?

Tentang Politik dan Hukum (di Indonesia)

Ini juga membuat saya bingung. Begitu banyak yang ngomong soal politik, seperti gelombang laut yang kejar-kejaran. Merasa diri paling tahu dan paling bisa mengatur negeri ini. Ujung-ujungnya ternyata cuma pembalut kepentingan diri atau golongan. Yang berteriak dan memaki nyatanya tidak juga lebih baik dari yang diteriaki dan dimaki.

Setahu saya kalau di Negara maju, yang namanya tindakan politik itu baru diambil kalau tindakan hukum tak bisa menyelesaikannya. Kalau di Negara ini malah banyak masalah yang sengaja dipolitisir dengan tujuan ya itu tadi, kepentingan pribadi atau golongan dan estafet lima tahunan. Rakyat kok dicekoki tontonan seperti ini sepanjang masa, sementara persoalan inti mereka tak ada yang mau menyelesaikan. Ini ya buah reformasi?

Buat saya lebih baik seorang diktator yang baik berkuasa dan persoalan rakyat beres daripada pemimpin serba demokratis tapi tak jelas arahnya. Indonesia saat ini nyatanya lebih liberal dari Negara liberal. Contohnya, kalau kita pecat seorang pegawai tak berprestasi dan merugikan perusahaan, mereka bahkan bisa menuntut uang pesangon dll. Kalau di Negara liberal barat sana, pegawai seperti itu ya tinggal pecat habis perkara, kalau perlu tunjuk hidungnya, jangan mimpi bisa nuntut uang pesangon segala.

Repotnya, hukum di Negara ini juga punya mata: mata duitan! Bukan itu saja, ia cenderung melenceng kearah kekuasaan atau dikebiri oleh kekuasaan sehingga bisa disetir. Ini tentu saja melahirkan kekacauan yang tak ada habisnya. Tidak ada yang namanya Trias Politica itu (kekuasaan eksekutif, yudikatif dan legislatif yang mandiri), yang ada cuma kepentingan pribadi dan golongan. Ini parah dan menyedihkan, dan rakyat juga yang menanggung sengsaranya.

*************

Link terkait dengan tulisan ini:

  1. Garuda Wisnu kencana Bali, Karya Monumental Penuh Visi dan Misi: http://sosbud.kompasiana.com/2010/03/08/garuda-wisnu-kencana-bali-karya-monumental-penuh-visi-dan-misi/
  2. Wawancara dengan Nyoman Nuarta Seputar Garuda Wisnu Kencana Bali:

    http://sosbud.kompasiana.com/2010/03/08/wawancara-dengan-nyoman-nuarta-seputar-garuda-wisnu-kencana-bali/

  3. Galerry Seni Nyoman Nuarta - Bandung: http://wisata.kompasiana.com/2010/01/24/galerry-seni-nyoman-nuarta-bandung/

***************

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun