Mohon tunggu...
Muhammad Sirul Haq
Muhammad Sirul Haq Mohon Tunggu... advokat / pengacara -

Advokat pada Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Makassar (YLBHM), dan Coordinator Area PT. Lingkaran Survey Kebijakan Publik (LSKP) Sul-Sel dan Barat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Buka Telinga Tutup Mulut

1 Januari 2011   12:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:04 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mulutmu harimaumu

Berbicara, pekerjaan berkomunikasi dengan seseorang atau beberapa orang lebih. Dengan berbicara, membuka ruang informasi, terutama dalam membicarakan apa yang dipikirkan dan berkomentar tentang apa yang dipikirkan orang. Namun, berbicara yang berlebih dan tidak mengindahkan kepentingan lawan bicara akan sangat merepotkan.

Orang yang terlalu banyak bicara, dapat dipastikan sangat otoriter karena tidak memberikan ruang kepada orang lain untuk juga berbicara. Merasa dengan apa yang dikatakannya sebagai yang paling benar atau yang paling layak untuk dituruti orang lain. Bahkan, berbicara berlebih pada lawan bicara mungkin bisa jadi menghilangkan titik fokus dari pembicaraan itu sendiri.

Apalagi ketika berbicara, dilakukan untuk memotong pembicaraan orang lain. Hal ini mungkin sangat mengganggu hak orang lain untuk diperhatikan ketika mereka berbicara. Bisa pula, menjadi tidak sopan, karena tidak menghargai orang lain untuk berpendapat dan banyak kebudayaan di Indonesia mengajarkan bahwa memotong pembicaraan orang lain itu perbuatan tidak sopan (baca : berbudaya).

Sehingga, berbicara bisa menimbulkan hal negatif. Dinilai tidak sopan, tidak menghargai dan ingin menang sendiri. Pepatah "diam itu emas" mungkin lebih baik diterapkan, daripada berbicara tanpa memperhatikan etika yang dapat menyebabkan sebagai harimau - mulutmu harimaumu.

Budaya Mendengar

Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang memiliki kultur lisan (baca : berbicara), dan memang kenyataan itu begitu kental. Bahkan budaya menulis pun masih sangat memperihatinkan jika melirik pada budaya bangsa ini, banyak suku (baca : bangsa) di Indonesia tidak memiliki abjad atau huruf sendiri dan hanya sebagian kecil yang memiliki abjad sendiri - contohnya Bugis Makassar dengan Lontara yang terbagi dalam 4 (empat) jenis penggolongan huruf.

Apalagi, ketika berbicara tentang budaya mendengar. Mungkin budaya ini sangat tidak populer bagi sebagian masyarakat, padahal budaya mendengar sangat dibutuhkan bagi siapapun apalagi sebagai pemimpin. Semua profesi terkadang kehilangan budaya mendengarnya, dan ini berakibat pada penangkapan respon atau pesan cenderung diposisikan sebagai superior dan pemberi pesan (baca : lawan bicara) cenderung diposisikan inferior.

Akibatnya, pesan tidak dicerna dengan baik, tidak dipahami dengan sempurna dan tidak memahami kondisi psikologis dari si pemberi pesan atau lawan bicara. Terutama dalam kondisi psikologis, lawan berbicara akan merasa kurang dihargai dengan sikap mengiakan apa yang lawan bicara katakan, padahal muatan kepentingan dari lawan bicara kurang ditangkap. Inilah persoalan kecil yang terkadang menjadi besar, misalnya saja dalam kehidupan rumah tangga, bertetangga, bermasyarakat maupun berbangsa dan bernegara.

Membudayakan membuka telinga, sangat berefek positif bagi pemberian ruang kepada orang lain untuk menyampaikan secara penuh apa yang ingin dikatakannya. Sehingga, secara psikologis lawan bicara akan dihargai, merasa direspon secara sepenuhnya, dianggap telah diperhatikan, dan akan mendapatkan respon balik yang positif pula.

Banyak mendengar, akan memposisikan diri pada posisi menaungi, bijaksana dan mengayomi. Menimbulkan kedewasaan bagi setiap orang yang menerapkannya, dengan mencerna sepenuhnya apa yang dikatakan lawan bicara dan kemudian merespon dengan tidak menimbulkan posisi perlawanan tapi posisi mengalirkan apa yang diinginkan lawan bicara sehingga tidak terjadi sumbatan pembicaraan ataupun yang paling parah benturan pembicaraan (baca : konflik). Hal ini dapat mengakibatkan, terhindar dari pertengkaran bagi hubungan pasutri, hubungan atasan dan bawahan, ataupun pimpinan dan bawahan juga hubungan horisontal yang memiliki posisi setara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun