Setiap kali ada temuan soal jajanan anak di sekolah, kita baru terperanjat. Kaget. Ada saluran televisi yang melakukan investigasi khusus tentang makanan ringan (jajanan) anak kita di sekolah.Â
Di sana banyak ditemukan penggunaan zat-zat berbahaya, baik penggunaan pewarna makanan dan proses pemasakan yang tidak steril dan berbahaya. Juga saat penyajian, diletakkan di tempat terbuka. Akses matahari langsung, lingkungan berdebu dan sebagainya.Â
Kagetnya kita soal makanan itu umumnya hanya sesekali, lalu kita membicarakan itu. Tidak jarang jadi viral di media sosial dan obrolan di sekitar lingkungan kita tinggal. Seiring berlalunya waktu kitapun lupa. Tertumpuk berita-berita berikutnya.Â
Dalam keseharian, berita satu dengan berita lainnya sering ‘bersundulan’. Saling mendorong, apatah lagi dalam konteks saat akses informasi sudah bergeser dari media mainstream (TV, koran dan majalah) bergeser ke media online dan sosial media.Â
Akses informasi beragam itu memungkinkan kita kelebihan informasi yang saling ‘nyundul’ itu. Sehingga fokus penyelesaian masalah tumpang tindih juga. Masalah yang satu belum selesai sudah datang masalah yang lain, begitu seterusnya.Â
Termasuk soal ‘jajanan’ anak di sekolah ini. Kita melihatnya dari beberapa perspektif. Dari sisi orang tua murid, ini jadi keprihatinan, tepatnya kekhawatiran. Karena anak-anak di masa pertumbuhan itu amat riskan terhadap konsumsi asupan yang berbahaya. Dalam jangka panjang asupan berbahaya itu menimbulkan banyak penyakit. Jadi pemicu berbagai penyakit berbahaya.Â
Bisa saja solusinya dengan tidak membolehkan anak jajan di sekolah, tapi anak-anak di usia itu sulit memahami cara seperti itu. Yang mereka tahu, anak-anak lain jajan mereka harus jajan. Hal ini tentu menghawatirkan banyak orang tua murid. Mereka mengeluhkan pada pihak sekolah tapi biasanya jawaban pihak sekolah datar-datar saja, akan ditindaklanjuti. Kenyataan nya keluhan itu dianggap biasa saja. Lalu semua lupa dengan berjalannya waktu.
Bagi Guru, mereka juga punya kekhawatiran yang sama. Tapi aktivitas kewajiban teknis pengajaran akhirnya melupakan hal-hal seperti itu.Â
Orang tua murid, guru, umumnya memandang itu masalah serius. Tapi tidak tidak untuk pedagang, mereka yang jualan. Terutama di sekolah-sekolah dasar negeri, yang pengawasannya tidak seketat pengawasan sekolah swasta.Â
Umumnya sekolah swasta menerapkan kebijakan sekolah yang tertutup dengan satu pintu utama. Di mana pada jam-jam belajar tidak diperkenankan siswa untuk keluar tembok. Semua kegiatan di lakukan di dalam tembok, termasuk jajanan sekolah dan makanan lainnya. Pengawasannya tentu lebih mudah.Â
Buat mereka (para pedagang) yang terbayang hanya bagaimana meraih keuntungan besar dengan modal kecil. Penyiasatan itu tentu bermasalah. Bagaimana mungkin bisa menjual dagangan murah menggunakan bahan standar, secara hitungan dagang sulit bisa untung. Lalu mereka ‘terpaksa’ menggunakan bahan-bahan berbahaya, (meski ada yang bilang pada batas toleransi, seperti yang direkomendasi kan BP POM depkes). Masalahnya siapa yang mengawasi penggunaannya. Batas-batas toleransi nya.