Mohon tunggu...
Sirojudin Mursan
Sirojudin Mursan Mohon Tunggu... profesional -

ingin terus belajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Semua Akan Mengerti pada Saatnya

26 Oktober 2016   10:56 Diperbarui: 26 Oktober 2016   11:06 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam kehidupan kita sehari-hari, kita selalu berhubungan dengan orang lain. Interaksi itu bagian dari kenyataan keseharian yang mengharuskan kita beriteraksi dengan orang lain. Sebagai makhluk sosial itu jadi kebutuhan, meski sesekali kita perlu kesendirian dan kesunyian tapi tetap saja soal kita butuh orang  lain itu hal yang tidak bisa kita abaikan.

Cara kita berkomunikasi tentu berangkat dari cara pandang kita. Apa yang ada dikepala kita begitulah cara kita membangun komunikasi dengan yang lain. Apakah kita pribadi yang enak menyenangkan ataukah sebaliknya kita pribadi yang menyebalkan di mata kawan-kawan di sekitar kita.

Keterampilan berkomunikasi bukan lah sesuatu yang sudah bawaan sejak lahir, ada beberapa skill yang harus dipelajari. Pelajaran itu dapat dilakukan sambil praktek. Misalnya cara kita bertutur, intonasi, pilihan kata, dan seterusnya. Pola-pola yang kita gunakan itu menunjukan seberapa beradab kita. Orang yang diingatkan dengan cara fisik, mereka masih masuk katagori rendah. Buat mereka yang diingat hanya menggunakan ‘sindiran’ dan satire, langsung mengerti. Itu juga menunjuki seberapa beradapnya orang itu. 

Berpikir positif salah satunya. Saat kita berpikir positif akan ada pancaran positif di sekeliling kita. Respon yang kita terima sepadan dengan apa yang kita pancarkan. 

Dalam keseharian kita bergaul pada semua orang, baik di tempat kita kerja atau lingkungan di mana kita tinggal. Kita tidak bisa menolak, kenyataan adanya orang-orang yang tidak ramah dan tidak menyukai keberadaan kita. Itu kan karakter orang lain, yang terbentuk dari proses panjang kehidupan dan lingkungan dimana mereka tinggal. Kenyataan kehiduan juga begitu, sebaik apapun kita, selalu saja ada pihak yang tidak suka. Meski prosentase nya kecil, tapi cukup mengganggu. Di sinilah pentingnya berpikir positif.

Tidak perlu kita mengikuti irama mereka yang sedikit itu. Saat kita larut, dan masuk dalam perangkap nya kita menjadi pribadi yang kalah. Layaknya orang yang sedang tidak tahu apa yang terjadi, padahal kita tahu, kita hanya tak mau ikut dalam ‘permainannya’ saja.  Yang kita lakukan terus berpikir positif. Seakan tak ada apa-apa. 

Prinsipnya jangan panik, usahakan tenang. Saat kita tenang disitulah kita bisa mengendalikan situasi. Layaknya seorang yang bertarung dengan bela diri, mereka yang bisa mengendalikan emosi nya selalu jadi pemenang. Berpikir jernih, mengamati, menganalisa posisi lawan. Setelah itu pilihan gerakan untuk menghadapi lawan yang sudah dikuasai gerak geriknya. 

Kontrol diri itu amat penting. Selain untuk penguasaan diri sendiri, juga untuk melakukan pengamatan secara jernih. Emosi, marah, biasanya membuat kita tidak bisa melihat masalah secara objektif. Makanya kalau kita membuat perjanjian ada klausul yang menyebutkan bahwa kita membuat surat itu atas kesadaran penuh tanpa paksaan dari paksaan dari pihak manapun. 

Salah satu alasan untuk berpikir positif juga, karena kita meyakini soal apa-apa yang datang merupakan ‘kebaikan’ juga. Mungkin karena kondisi nya berbeda kita menyebutnya sebagai keburukan. Semua yang terjadi punya kebaikan tersendiri. Bisa jadi ia adalah pelajaran yang diberikan-Nya dalam kehidupan kita. Hanya karena mata batin kita tertutup, kita belum diberikan pemahaman tentang kebaikan dari semua itu. 

Tuhan memberi pelajaran dengan hadirnya mereka yang secara kasat mata kita anggap sebagai masalah padahal sesungguhnya ia kebaikan dan pelajaran kita yang berwujud berbeda. Dalam Agama ini yang disebut hikmah. Bacaan kita terhadap semua hal, saat kita anggap sebagai kebaikan juga, artinya kita sudah menangkap tentang hikmah itu. Jadi bukan itu hal buruk, hanya kita saja yang belum bisa menangkap kebaikan di baliknya, karena mata kita masih diselimuti nafsu. Nafsu kita mengatakan baik itu baik menurut kita, bukan baik menurut-Nya.

Dalam ajaran agama, kita sering diperdengarkan cerita berguru nya Nabi musa dengan Nabi Khaidir. Inilah kisah mengajarkan tentang hikmah, tentang makna batin (yang kita paham kemudian) dibalik hal-hal yang tampak. Nabi Khaidir selalu mengatakan, “pada saatnya nanti juga kamu akan mengerti. Pada saatnya kamu juga akan faham”. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun