[caption id="attachment_278168" align="alignright" width="300" caption="Ilustrasi/Admin (Shuterstock)"][/caption]
“Don’t judge a book by its cover”
Hati-hati ketika kita menilai orang lain. Meski ia bertato, bukan berarti dirinya berbeda dengan manusia kebanyakan. Mereka pun manusia biasa, yang terlahir untuk menjadi manusia sempurna. Namun,perjalanan kehidupan yang penuh dinamika, tentu saja tak bisa berjalan lempeng-lempeng saja.
Itu pulalah yang terjadi pada komunitas Kartoen Ervat, singkatan dari Karang Taruna RT Empat. Meski sudah lahir sejak tahun 80an, baru dua tahun terakhir komunitas ini menjadi sorotan media lantaran keunikan yang dimiliki.
Bayangkan saja, 100 persen warga RT 4 kelurahan Babakan Asih, kecamatan Bojong Loa Kaler, Kotamadya Bandung ini adalah residivis. Seluruh pemuda yang tinggal di sana pernah merasakan kehidupan di dalam bui. Dulu, para penggerak Kartoen Ervat iniadalah begundal yang meresahkan masyarakat.
Sarang Preman dan Kengerian
Kawasan Babakan Asih yang lebih dikenal dengan sebutan “Blok Tempe” ini boleh dikata sarangnya preman. Banyak pula yang menyebutnya “Kampung Napi”. Adu bacok sudah menjadi menu sehari-hari. Variasi perkelahian antar pemuda di sana yang kerap tak terelak.Ditambah camilan obat-obatan terlarang, minuman keras, dan jenis racun semisal, lengkap sudah kengerian yang seperti tanpa henti, terus menghantui.
Setiap orang tua melarang anak-anaknya untuk keluar rumah. Anak gadis dibiarkan mengurung diri di tempatnya masing-masing. Bukan karena dipaksa para orang tua. Kondisi lingkungan di sana memang begitu mencekam, sehingga wilayah Blok Tempe ini menjadi terlalu menakutkan.
“Daerah ini memang dulunya rawan sekali. Tidak ada yang berani keluar rumah seperti sekarang ini. Boro-boro ada anak-anak yang bermain-main seperti sekarang, mau pergi ke sekolah pun antar jemput,” tutur Ahmad Ruyani, aktivis senior di Kartoen Ervat sekaligus ketua RT 4 ini, kepada Alhikmah medio Agustus 2010 lalu.
Hampir setiap malam minggu terjadi perkelahian. Bahkan tidak jarang lapangan yang dulu dimiliki RT 4 ini menjadi arena perkelahian yang disengaja. Usai saling melampiaskan amarah, paling sedikit ada satu atau dua orang yang diringkus ke kantor polisi. Makanya tak heran jika semuanya pernah mencicipi ‘nikmatnya’ menginap di hotel prodeo.
Disentuh Peduli
Dalam kondisi chaos seperti itu, Regy Kayong seorang advokat yang kini bergabung di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung merasa prihatin. Pada mulanya Regy tak sengaja berkenalan dengan warga Blok Tempe ini. Sebelumnya ia memang begitu peduli dengan kelompok rentan, seperti tukang becak dan PKL yang ada di jalanan kota Bandung.
Lambat laun ia mengetahui bahwa kebanyakan PKL yang ia dekati itu adalah warga Blok Tempe. Dari sana Regy mulai terjun dan terlibat hiruk pikuk kegelapan Blok Tempe.
Di masa-masa awal tahun 2000an, saat Regy baru pertama kali bergerak, dominasi sikap apatis dan individualis kental mewarnai kehidupan mereka. Kartoen Ervat ini menjadi jembatan revolusi para pemuda di Blok Tempe, kelak.
Namun ternyata, tantangannya berat sekali. “Apalagi cap negatif pemuda di sini semakin memperkeruh keadaaan,” tambahnya.
Mulai dari pendekatan personal hingga komunal, terus dilakukan. Walau prosesnya cukup panjang, tapi Regy tak patah arang. Dibantu oleh Ahmad Ruyani, sang ketua RT yang dianggap mampu menjembatani antara masyarakat dan para pemuda, Regy sedikit demi sedikit mencoba menarik mereka, kaum muda, keluar dari kegelapan.
Walhasil, grafik perjuangan menunjukan perkembangan yang mencengangkan. Kejenuhan para pemuda dalam kehidupan yang mengerikan itu mendorong mereka untuk mencari kehidupan lain.
Seperti saat mereka mencoba untuk belajar membaca Alquran. Hal tersebut merupakan prestasi yang luar biasa bagi pemuda Blok Tempe. Tentu saja, pemuda yang biasanya mencekik botol minuman, tiba-tiba dengan penuh kesadaran datang ke masjid menyengaja untuk belajar membaca Alquran.
Sinisme Kamuflase
Sebagai bentuk ungkapan syukur, Regy dan Ahmad Ruyani mengundang para tokoh masyarakat setempat. Selain sebagai bentuk rasa syukur, mereka berniat menyerahkan tugas kependidikan kepada Dewan Keluarga Mesjid (DKM) setempat yang dinilai lebih mampu mengajarkan ilmu agama kepada para pemuda di Blok Tempe.
Tapi, di luar dugaan.Bukannya menerima, para tokoh masyarakat malah berlaku sinis dengan mengatakan,“itu semua adalah KAMUFLASE!” kenang Regy.
“Ya, anak-anak yang tadinya sudah mulai meninggalkan kebiasaan minum dan perkelahian, dan kebiasaan buruk lainnya seketika berbalik arah. Mereka kembali lagi minum-minuman, ngobat dan berkelahi lagi.”
Ide Sumur Resapan
Di tengah kondisi demikian, Regy ternyata tidak kehabisan ide. Ia tetap menjaga pola pikir anak-anak untuk tidak berlebihan bersikap. Ia mencoba mengalihkan aktivitas anak-anak pada hal yang lebih konkret. Salah satunya waktu itu adalah membuat sumur resapan. Ide ini muncul karena memang daerah Babakan Asih adalah daerah langganan banjir.
Ketika sumur itu berhasil menampung air hujan, dan banjir menghilang di Blok Tempe, masyakarat mulai melirik prestasi Kartoen Ervat. Banjir sepinggang yang biasanya menggenangi kawasan ini, tiba-tiba surut seketika. Adanya penerimaan tersebut sedikit banyak membuat mereka bersemangat.
Lama kelamaan, aktivitas semakin intens, mulai dari sumur resapan, mural, taman bermain, hingga paving block berhasil dibuat. Tak ketinggalan juga kegiatan pembersihan lingkungan menjadi pengalih para pemuda dari kebiasaan lama.
Melihat para pemuda mulai memiliki aktivitas yang lebih positif, masyarakat pun mulai melirik prestasi mereka. Bahkan kini iuran sampah yang dipungut kepada setiap warga 2000 perak per hari mampu menjadi dana bergulir sosial yang bisa dinikmati oleh warga Blok Tempe. Lambat laun aktivitas-aktivitas padat karya itu ternyata merubah kesadaran seluruh warga Blok Tempe.
Hasilnya, di tahun 2010 ini Blok Tempe menjadi sebuah kawasan yang banyak dikunjungi berbagai media baik lokal maupun internasional. Kegiatan Kartoen Ervat yang berpusat di sebuah saung sederhana yang diurus oleh 16 mantan napi ini menjadi bahan studi banding yang tiada habisnya. Pemuda yang dulunya dianggap sampah masyarakat, kini menjelma menjadi panutan seluruh warga.
“Kita sudah memulai perjalanan ini sejak 10 tahun yang lalu. Prestasi kami sebetulnya bukan hal-hal konkret seperti mural, taman, kebersihan dan aktivitas lainnya. Justru pelajarannya ada sepanjang perjalanan anak-anak muda di sini dengan penjaranya, kekerasannya dan cap negatif masyakarat yang sangat menyakitkan,” tutur Regy.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H