Dapat ditarik sebuah korelasi jika kemungkinan sebuah peradilan MK darurat independensi, lalu siapakah penjaga hak-hak konstitusional warga negara? Keadaan demikian akan terus menggerus nilai ideal dari konsep negara hukum yang menjadi harapan para founding fathers tentang negara Indonesia adalah negara hukum.
Sudah sepatutnya, dinamika dalam tubuh MK harus ditanggapi dengan berbagai diskursus dan ide-ide hukum. Hemat penulis, MK tidak sekadar peradilan untuk menguji produk hukum semata, tetapi memiliki upaya legislasi atas hak konstitusional dalam kewenangannya.
Ide tersebut selaras atas pendapat John Ferejohn dan Pasquale Pasquino yang mengatakan, "Each of the European constitutions reflects, in various ways, Kelsen's central idea that constitutional adjuction is more of a legislative than a judicial function."
Di Indonesia, ada 4 putusan MK yang menurut penulis dipandang sebagai upaya legislasi MK berdampak luas atas hak konstitusional, di antaranya: (1) putusan atas anggaran pendidikan 20 persen dari APBN dan APBD; (2) Putusan penggunaan KTP/Paspor dalam Pemilu dan Pilkada; (3) Putusan status anak luar kawin terhadap ayah kandungnya; (4) Putusan atas identitas penghayat kepercayaan di KTP dan KK.
Masing-masing memenuhi hak pendidikan (right to education), hak memilih (right to vote), hak anak dan hak administratif kependudukan. Kedudukan hukum di sini dapat dipahami bahwa asas Non scripta sed nata lex yang berarti prinsip hukum umum mengandung makna bahwa sesuatu yang tidak tertulis, namun secara moral harus tetap diperhatikan oleh hukum.
Membangun Peradaban Hukum dengan Independensi MK
Thomas Hobbes pernah menjelaskan bahwa negara akan terancam jika tidak bertindak secara hukum, artinya pemerintah menjalankan kekuasaannya bertentangan dengan hukum yang berlaku dan sewenang-wenang. Misalnya, jika seseorang diperlakukan negara tidak berlandas kan hukum, orang tersebut tidak akan mempunyai motivasi akan menyesuaikan dengan hukum tersebut.
Memasuki konteks peradaban, Samuel P. Huntington mengatakan sebuah peradaban adalah bentuk budaya paling tinggi dari suatu kelompok masyarakat dan tataran yang paling luas dari identitas budaya kelompok masyarakat manusia.
Dalam negara hukum, sudah menjadi budaya segala aktivitas harus sejalan dengan apa yang hukum katakan, lebih dari itu membangun budaya hukum itu sendiri dalam pandangan penulis, negara harus membiasakan bertindak sesuai hukum yang berlaku.
Hal ini cenderung terlihat seperti positivisme, yang memikirkan hukum yang berlaku adalah apa yang sudah ditentukan dan harus dipatuhi. Namun itu tidak cukup untuk mencapai keadilan yang diberikan wewenang kepada pengadilan.
Negara hukum harus digagas dengan konsep keadilan yang tidak hanya terfokuskan hukum positif saja. Ini memerlukan sebuah keadilan melalui kontrak sosial dalam membangun peradaban negara hukum. Penulis menggunakan teori keadilan John Rawls (1921-2002) dengan memadukan konsep liberal kewajiban politik dengan redistribusi tentang keadilan sosial.
Pandangan Rawls yang menggabungkan teori Hobbes, Locke dan Rousseau menyatakan bahwa perlunya kontrak sosial agar menentukan sebuah hipotesis tentang keadilan pada tatanan mewujudkan keadilan di suatu negara.