Tidak seperti BPHN yang cenderung netral, NGO bernamakan Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam siaran pers menolak wacana sistem tertutup dan menyoal pernyataan ketua KPU. Menurut ICW, sistem ini tidak akan mengubah fenomena politik uang, namun memindahkan dari calon ke partai politik.
Hal ini berbanding terbalik dari pendapat Ormas Muhammadiyah, dari muhammadiyah.or.id, pandangan mereka mengenai sistem terbuka akan melahirkan suasana demokrasi yang pragmatis, tidak sehat, permainan politik uang dan politik identitas. Para Caleg hanya mengandalkan elektabilitas, tidak berdasarkan asas meritrokrasi, kapabilitas dan profesionalisme.
Dari penjelasan di atas, argumen yang dibawakan terlihat menggunakan pendekatan filosofis dan sosiologis saja. Dan, kurang penjelasan tentang teknis bagaimana KPU menyelenggarakan Pemilu lebih efisien.
Menakar Pendapat Pengamat Politik UGM
Dari ungkapan ketua KPU "membantu efisiensi kerja KPU" dengan sistem proporsional tertutup, masih sedikit orang yang memahami konteks ucapan tersebut. Menariknya, jika penerapan sistem ini diberlakukan, apakah KPU bisa lebih mudah dan cermat menyelenggarakan Pemilu?
Wacana ini memunculkan komentar Pengamat Politik UGM, Mada Sukmajati dalam laman resmi UGM, mengutarakan sistem proporsional tertutup cocok dengan dilakukan pada Pemilu legislatif 2024. Mada memiliki alasan mendukung sistem tersebut karena sederhana dari sudut pandang pemilih.
Sistem ini memiliki prinsip yang harus dipenuhi, yaitu transparansi, akuntabilitas dan partisipasi. Selain itu, dalam teknisnya, penyelenggara Pemilu akan lebih ringan secara rekapitulasi menghitung suara. Dalam memastikan tiga prinsip terealisasi, bisa diatur oleh Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) dengan mewajibkan partai politik membuat berita acara selama proses pencalonan.
Argumen yang ia kemukakan tentu akan menghadapi banyak kendala karena proses transisi jika sistem berubah. Padahal teknis sistem tertutup maupun terbuka, para calon tetap ditentukan oleh partai politik, meskipun banyak terlihat lebih mengunggulkan aktor politik daripada perwakilan partai politik.
Namun begitu, kedua sistem ini tetap menjadi bagian dari dinamika terselenggaranya Pemilu dan hadirnya anggota legislatif di parlemen. Argumen pengamat UGM sekiranya bisa menjadi pertimbangan kembali, mengingat untuk kemudahan dan efisiensi KPU secara teknis bisa lebih intensif. Semoga. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H