Menjadi sosok yang baik sebagai seorang manusia tidaklah salah, bahkan merubah diri lebih baik adalah contoh yang patut ditiru. Tetapi, perilaku baik dan menyenangkan bagi orang lain bukan juga kewajiban indvidu sepenuhnya.
Seperti yang dialami para wanita yang teridentifikasi sindrom good girl (wanita baik). Hal ini terjadi ketika seorang wanita selalu ingin dan tampil baik dan menyenangkan pada sesama, namun menghiraukan hak nya sendiri untuk bahagia dan senang.
Keadaan berbuat baik tidaklah buruk dan perlu diapresiasi, hal yang harus diamati adalah perilaku baik yang terpaksa dilakukan dengan mengorbankan perasaan dan kebahagian orang lain.Â
Kadang-kadang seseorang bisa bahagia dengan menyenangkan orang lain, itu bersifat sementara. Sifat manusiawi butuh ke-egoisan sesekali dan lebih memperhatikan dirinya sendiri.
Mengapa Good Girl Syndrome terjadi?
Dalam sebuah studi Universitas Stanford, dilansir dari Psychology Today, bahwa perilaku 'Good Girl' mengacu pada sindrom yang menggambarkan sifat seorang wanita.Â
Kaum wanita mendapat stigma dengan rasa kasih sayang, lemah lembut, ceria, sopan, hangat dan loyalitas yang kuat.
Salah satu penyebabnya adalah orang tua yang sering mendidik anak melalui pemikiran yang normatif dan kuno.Â
Tidak dalam artian orang tua salah mendidik anaknya, ini memungkinkan pemikiran yang tertanam dalam anak. "Kalau menjadi perempuan harus baik, lemah lembut dan penuh kasih sayang".
Perkataan itu sejak kecil selalu menjadi nasihat yang tumbuh hingga beranjak dewasa. Apa yang menjadi kekhawatiran wanita dewasa adalah enggan bersikap tegas, berani dan mandiri. Keliru jika seorang wanita harus selalu teguh bersikap baik dan mengecewakan.
Perilaku seperti ini bisa serupa people pleaser, tidak berani menolak sesuatu dan taat pada yang lebih dominan.Â