Mempelajari hukum pasti terkesan serius, telaten dan kompetitif. Namun, kenyataan berbeda dalam kejadian yang saya alami. Di bangku semester tiga, para mahasiswa hukum mempelajari cabang ilmu hukum, hukum perdata setiap hari Rabu. Berada di posisi mahasiswa mengharuskan belajar banyak dan rajin selain di ruang-ruang kelas. Ros, seorang dosen hukum perdata mengajari murid-murid tentang hukum perdata, yang kala itu berkenaan hukum perikatan.
Seperti biasa aturan forum kelas, setiap kelompok mempresentasikan materi yang diberikan sesuai silabus yang ada. Antara dosen dan mahasiswa telah menyepakati kontrak belajar, salah satunya tidak boleh telat datang ke kelas. Jika ada pun, mahasiswa mau tak mau balik badan di luar kelas, karena itulah perjanjiannya. Hukum perikatan dibahas oleh dua kelompok, dinamika belajar hukum tampak pada kelompok kedua yang membahas hukum perikatan.
Dalam ruang kelas yang ber-AC, bangku-bangku membentuk letter U, setiap mahasiswa dianjurkan membaca materi kelompok presentator sebelum pembelajaran dimulai. Ros datang ke ruang kelas pada menit-menit terakhir waktu telat mata kuliah. Bertepatan kelompok terakhir, dosen paruh baya berkacamata tersebut menjelaskan mekanisme Ujian Akhir Semester (UAS) melalui Google Form sesuai opsi yang di voting mahasiswa.
Kemudian, presentator mulai membahas serta menjelaskan hukum perikatan bagian kedua, dari perikatan yang bersumber dari Undang-Undang hingga hapusnya perikatan dalam hukum perdata. Di tengah panasnya waktu siang, presentasi selesai dalam waktu 40 menit. Saat memulai forum diskusi tanya-jawab, Ros mengulas dan menjelaskan kembali hukum perikatan secara sederhana, ini dilakukan sebagai tanggung jawab dosen mengajar di ruang akademik.
Ruang kelas seketika menjadi bom waktu yang meledak atas kekecewaannya mengajar selama ini. Awalnya, Ros menyampaikan perikatan bukanlah hanya terdapat dalam hukum perdata saja, lebih jauh dari itu setiap kali seorang manusia memiliki hubungan dengan sesuatu, itu dinamakan perikatan. Ini jelas tidak sama dengan perjanjian, perikatan mempunyai skala yang lebih luas. Dan perjanjian senantiasa menjadi perikatan serta unsur-unsur yang diatur dalam Undang-Undang itu sendiri.
Ros menanyakan kepada mahasiswa, hal apa yang kira-kira menjadi suatu perikatan. Lalu, saya mengatakan bahwa sebelum belajar hukum perikatan, kita sebagai manusia juga sudah mengikat dengan alam dan dunia, bahkan syahadat dalam agama Islam adalah perikatan. “Ini hanya dia saja yang menjawab, kok pada hening? Adem ayem kelas ini,” tegas Ros dengan santai.
Para mahasiwa mulai aktif berpendapat, di sisi lain, jajaran bangku sebelah kiri Ros ketika ditanyai hal itu malah berdiskusi dalam diskusi disebabkan perilaku tak sopan, kentut sembarangan dan tidak ada satu pun yang mengakui. Baunya menyengat, Ros tetap fokus pada pembelajaran dan menghiraukan. “Coba jawab apa saja sumber hukum? Ini para boy band, berempat suka asik sendiri, kalau ditanya malah baru mikir,” tanya Ros sembari menyindir.
Ros tak mau membuang waktu pembelajaran, ia menyerahkan kepada presentator untuk membuka sesi tanya-jawab bersama beberapa mahasiswa yang dinilai kurang dalam aspek penilaian mata kuliah. Mahasiswa yang menjadi audiens mulai melontarkan pertanyaan seputar perikatan.
Dan saya bertanya juga, “Dalam pembahasan Zaakwarneming (mengurus kepentingan orang lain secara sukarela), pasal 1359 KUHPerdata menyatakan ‘Tiap-tiap pembayaran memperkirakan adanya suatu utang; apa yang telah dibayarkan dengan tidak diwajibkan, dapat dituntut kembali. Terhadap perikatan-perikatan bebas, yang secara sukarela telah dipenuhi, tak dapat dilakukan penuntutan kembali’ nah, apa yang dimaksud ‘dapat dituntut kembali’ dalam pasal itu?” ucapku.
Pertanyaan dari teman-teman saya dijawab secara jelas dan dapat dipahami, apa yang saya tanyakan dijawab paling akhir. “Makna pasal itu adalah setiap pemenuhan prestasi, baik berupa pembayaran utang uang yang tidak diwajibkan maupun penyerahan benda yang tidak diwajibkan,” jawab salah satu presentator.