Rentannya demokrasi pasca reformasi, membuka seluas-luasnya masyarakat turut serta dalam kepentingan politik. Apalagi menjajaki status mahasiswa selalu berhubungan dengan struktur kampus, pemerintah dan masyarakat, yang kadang-kadang mengeklusifkan diri 'manusia inteleklual, kritis, solutif' tetapi terpaku oleh cara-cara lama dalam memecahkan masalah untuk pengabdian kepada masyarakat.
Mahasiswa merupakan bagian dari masyarakat, tak bisa dilepaskan. Apa diresahkan masyarakat, mahasiswa dengan segenap pengetahuan dan keberanian mampu menghadapi ketidakadilan, ketidakjelasan, dan kemunduran otoritas negara dalam mengurus rakyatnya.Â
Upaya demontrasi, konfrontasi, dan pengajuan petisi sering dilakukan agar pemerintah selalu menjaga apa yang sudah dipercayakan kepada mereka.
Demontrasi atau aksi sebagai bentuk partisipasi politik nonkovensional menuntut pemerintah membuat regulasi yang berkepentingan rakyat. Lepas dari aturan daerah, provinsi, Menteri dan presiden, apa yang dirumuskan oleh Dewan Perwakilan Rakyar (DPR) sebagai law maker dan badan legislatif perlu diperhatikan kembali oleh mahasiswa. Pasalnya, Undang-Undang (UU) yang dihasilkan DPR mengalami degradasi kedaulatan rakyat.
Tentu, baru-baru ini banyak mahasiswa melakukan aksi dalam menggugat UU melalui aksi dijalan. Apakah hal tersebut relevan? Bagi penulis hal tersebut memiliki kekuatan partisipasi politik yang cukup kuat, bahkan bukan hanya di negara Indonesia saja. Namun, dalam membenahi UU, Judicial Review tidak menjadi sorotan mahasiswa dalam pengupayaan partisipasi politik. Menjadi metafora kematian Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi (MK), karena euphoria demonstrasi.
Penyebab utamanya adalah kurangnya pendidikan yang distimuluskan pada mahasiswa di kampus, dan skeptisme mahasiswa pada Judicial Review.Â
Alih-alih untuk Judicial Review tetapi masih terjadi monopoli melalui relasi kuasa antar yudikatif dan eksekutif. Mengutip megapolitan.kompas.com, Ketika terjadinya aksi UU Cipta Kerja tahun 2020, Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Seluruh Indonesia (SI) berusaha men-Judicial Review tetapi cara tersebut tidak efektif karena dukungan presiden dan MK pada UU Cipta kerja.
MK representasi penyelesaian satu atap perkara (one roof settlement of the case) untuk pengujian konstitusional (constitutional review) seharusnya independen.Â
Sirauce Principles (1981) menerangkan bahwa dalam peradilan tidak boleh ada intervensi eksekutif atau legislatif yang berwenang yuridiksi, mau langsung atau melalui hak menguji. Untuk itu, mahasiswa seharusnya bisa mengembangkan pendidikan Judicial Review agar dampak UU kepada rakyat tidak berpihak pada politisi, pengusaha, lembaga negara, atau partai politik.
Di era komunikasi dan informasi yang melesat, MK dengan website mkri.id bisa diakses, bagaimana melakukan Judicial Review, mengirim surat, menghubungi MK, dan whistleblowing.Â