Disuatu daerah yang begitu luas dan subur hiduplah si wayang yang memiliki kekuasaan di wilayah itu. Si wayang mendapat kekuasaan tidak wajar, dia menggunakan keliaran hewan bertanduk sehingga orang sekitar mau tidak mau memilih dia karena takut dengan hewan bertanduk yang liar itu. “jika kalian tidak memilihku, akan aku lepaskan hewan ini biar merusak ladang-ladang kalian” teriak si wayang. Singkat cerita wayang berhasil meraih kekuasaan akan tetapi alih-alih bisa menikmati kekuasaannya, si wayang terus saja sibuk mengurusi hewan bertanduk liarnya sambil tetap berusaha mempertahankan kekuasaan.
Upaya si wayang memperpanjang masa kekuasaan kian gencar dilakukan. Setelah merapatnya pohon angker kehewan bertanduk si wayang semakin jumawa dan bertindak layaknya dewa tanpa cela. Sebenarnya mitra antara pohon angker dan hewan bertanduk ini saling menguntungkan atau bahasa gaulnya simbiosis mutualisme. Nantinya pohon angker ini bisa ditebang dan digunakan untuk membuat kandang hewan bertanduk. Masalahnya siapa yang bisa memotong pohon angker itu, dan siapa juga yang bisa mengkandangkan hewan bertanduk yang galak itu.
Segala kejadian dimuka bumi ini sudah ditetapkan oleh Tuhan, begitu kata orang beragama. Lain halnya kata pejabat, segala peraturan di negara ini sudah bisa dipesan sesuka hati asal perut kenyang buat anak istri. Ah sudahlah tak elok membahas hal itu, balik lagi ke pohon angker.
Konon katanya pohon angker ini ditunggu oleh papah, hah? Papahnya siapa? Pantas saja mamah tiap malam kesepian, ternyata sekarang papah sudah punya pohon angker. Beberapa waktu silam papah ini disindir sama si wayang “Pah, bagi saham dong pah” begitu kata wayang. Seiring berjalanya waktu papah yang punya pohon angker ini dihampiri oleh hewan bertanduk, anehnya hewan bertanduk ini betina. Si papah yang memang suka yang aneh-aneh mulai dari pohon angker kini beralih ke hewan bertanduk tapi betina itu. Singkat cerita si papah ahirnya tertarik dengan hewan bertanduk itu, si papah kemudian menyerahkan pohon angker ke si wayang dan papah hanya bermain-main dengan hewan bertanduk yang mulai jinak.
Si wayang semenjak papah memberikan pohon angker tidak merasa takut lagi pada hewan bertanduk. Si wayang tinggal mengikat saja hewan bertanduk itu ke pohon angker itu, jadi lah si wayang bebas melakukan apa saja. Kini ketiganya sepakat untuk membantu wayang memperpanjang masa kekuasaanya. Sementara si wayang sibuk megeksploitasi ladang-ladang penduduk, si papah dan hewan bertanduk keliling mencari penduduk-penduduk yang bisa membahayakan kekuasaa si wayang. Begitu menemukan penduduk yang vokal dan bisa mengalahkan wayang di pemilihan, maka penduduk itu langsung dihabisi sebelum bertanding. Si wayang semakin rakus akan kekuasaan dan tidak segan-segan menghabisi siapa saja yang menghalangi. Suatu hari si wayang jalan-jalan ke gunung dan disana dia bertemu seorang resi yang brewokan. Resi itu memiliki gunung yang bisa menyiarkan informasi keseluruh penduduk disana. Si wayang tertarik dan berguru ke resi itu dan entah dari mana bisikan datang “Potong pohon angker, jadikan kandang buat hewan bertanduk”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H