Kehidupan dipenuhi dengan berbagai narasi. Setiap kelompok masyarakat membuat sendiri narasinya. Setiap masa dan setiap zona membuat narasi sesuai versi.Â
Tentu dengan kebenaran yang dibangun di kelompok masyarakat. Era sosialisme, bahwa gaya hidup kolektif dengan basis kehidupan sosial kolektif adalah sentra dari semua lini kehidupan.Â
Di era globalisasi yang memuncak di tahun delapanpuluhan narasi kehidupan yang liberal, kompetitif, persaingan global, ekspansi dan berbagai jargon terkait pertumbuhan ekonomi dinarasikan sebagai versi terbaik untuk hampir tiga dekade kehidupan masyarakat.
Gaya hidup ini bergaris lurus dengan perkembangan industri yang sangat pesat. Dilanjutkan dengan perdagangan , tehnologi, otomotif dan jasa yang melahirkan gaya hidup modern yang serba cepat. Era ini mendewakan kecepatan, persaingan, siapa yang kuat di yang menang.Â
Kehidupan sukses dibangun dengan kerja keras, sebuah narasi yang menggambarkan bahagia, hidup nyaman, keluarga bahagia itu terkait erat dengan "kesibukan", "aktif" "produktif" berkejaran dengan waktu.Â
Era-era ini menjadi tanda bahwa perputaran jam waktu sehari dipenuhi berbagai aktifitas di ladang (dusun/desa), aktifitas perkantoran (kota), komunitas-komunitas yang tersebar di banyak ruang-ruang publik dan privat, bergerombol, event -event, pesta, acara tradisional yang dipenuhi warga, kegiatan sosial, budaya dan berbagai kerja-kerja aktif manusia.Â
Mondar-mandir, sibuk di transportasi publik berjam-jam, atau meeting di hotel-hotel dari hotel Oyo sampai bintang lima, mengikuti berbagai acara perkawinan. Sibuk, serba cepat dan tergesa-gesa.
Dan akhir-akhir ini muncul sebuah narasi baru Slow Living. Yang jika ditelisik adalah metamorfosa dari berbagai konsep hidup yang dianut beberapa negara seperti Jepang, Eropa atau negara Afrika.Â
Konsep yang lebih tradisional karena kesannya adalah lawan dari gaya hidup di abad 20 yang dipenuhi oleh rasa stress, emosi tinggi , tuntutan dan mimpi-mimpi untuk berbagai pencapaian atau goal yang sangat tinggi.Â
Gaya hidup slow living bagi sebagian orang dianggap tidak produktif. Bagi beberapa orang malah heran, melihat ada orang-orang tertentu yang terlalu santai hidupnya.Â
Mungkin orang-orang akan berpikiran bahwa gaya hidup ini rata-rata adalah orang yang gagal. Bagaimana mungkin penganut slow living bisa bertahan di era sekarang yang serba keras.Â
Namun, di dua tahun terakhir gaya hidup ini malah memiliki narasi berbeda. Banyak malah yang percaya slow living identik dengan sebuah pencapaian akan makna kehidupan itu sendiri.Â
Nah, mengikuti jalur narasi yang kini banyak dikembangkan oleh orang terkait soal kehidupan bahagia, kehidupan bermakna, banyak bersyukur atau hanya sekedar berhenti sejenak untuk berefleksi jika dilihat dari kacamata slow living, yok kita kenali sekitar 20 ciri bahwa kita adalah penganut kehidupan slow living versi saya:
1. Lebih menikmati aroma, suara, desauan atau semilir alam sekitar
Saat travelling di suatu tempat atau mengunjungi suatu daerah wisata. Apakah anda yang selalu mendokumentasikan setiap momen lewat kamera hp dengan antusias dan tergesa.Â
Atau anda tidak peduli untuk foto yang bagus. Bahkan mengabaikan handphone anda entah dimana. Tapi anda tidak  mau melewati untuk menikmati aroma udaranya, gemerisik angin atau hanya sekedar merasakan basah air di kulit. Penganut slow living lebih realis dan selalu menikmati setia detailnya.Â
Ini yang selalu saya lakukan saat berada di daerah terbuka. Saat teman-teman mengambil photoshoot untuk dibagikan di medsos mereka, saya memilih untuk mengitari lokasinya.Â
Menikmati kelopak bunga-bunga yang sedang mekar. Atau menyentuh rumput basah rasakan sensasi dingin. Menempelkan wajah di udara yang segar akan sensasi dingin. Menikmati gigitan semut atau serangga yang bersembunyi di balik daun-daun berlipat. Sakitnya terasa...ha..ha Slow living berada di tempat dan menikmati setiap momenya. Dia bahkan tidak peduli, tak ada satu foto terbaik yang disimpan di kameranya. Cukup kenangan-kenangan kecil saat on the spot di lokasi
2. Â Lakukan Daftar Tugas/To Do List Untuk hal-hal kecil
Tidak harus pekerja kantoran yang bisa membuat list kerjaan harian. Seorang petani juga harus melakukannya. Seorang penganut slow liiving seperti saya, walau kerjaan receh bikin list kerjaan harian.Â
Jangan buat daftar kerjaan yang berat-berat. sebagai penganut slow living,saya membuat minum kopi, teh telang atau sekedar drop off anak(antar anak) adalah pekerjaan yang harus dinilai.
JIka para manager membuat daftar tugas meeting dengan boss, ticketting airplane dengan segudang tetek bengek. Slow living style membuat pekerjaan kecil/small thing dalam daftar hariannya. Dan pencapaian kecil ini akan sangat disyukuri. Misalnya mengingatkan suami bayar uang sampah. Dampaknya saya bahagia. Dari 15 daftar pasti 14 Â pekerjaan berhasil dan memuaskan.Â
Tentu , karena lists kerjaan yang dibuat para slow living adalah hal-hal sederhana yang bisa dicapai dengan kerja-kerja kecil, bukan sesuatu yang butuh biaya besar. Saya memasukkan to do list antara lain watching tv, listening to the radio.. he..hee
3. Jauhi Kultus  & Fanatisme
Saya mengenal beberapa ibu yang sangat fanatik jika membeli sesuatu. Bahkan menemui sekitar 4 orang ibu hanya untuk berbelanja kebutuhan dapur dia selalu berbelanja ke ibu A.
Apapun yang terjadi. Mau hujan badai, bulan tua, pelangi mekar, mereka tidak pernah mau membeli satu barang pun semisal cabe kepada tetangga yang kebetulan dekat rumah.Â
Upaya mengkultuskan ini bagi saya penganut slow living bertolak belakang dengan versi terbaik saya. Hampir semua pasar di kota Medan ini saya kunjungi.Â
Semua kedai sampah di kompleks perumahan saya adalah tempat dimana saya ingin berbagi ekonomi. Saya beli garam di kedai A, beli telor di kedai B, beli shampoo di kedai A atau belanja mingguan ratusan ribu kadang di kedai A, B dan C.
 Santai saja, walau swalayan di SImp. Pos agak kumuh, atau swalayan Pajak Melati terlalu mewah, sebagai penganut slow living, semua kedai adalah tempat berbelanja.Â
Tidak harus ketat melihat ini si penjual kurang ramah, atau ini punya kapitalis, yang sana sosialis. Saat saya butuh, nyaman, cocok, saya masuki semua lokasi-lokasi mulai dari kumuh, modern, sytlish, mahal.Â
Bagi saya mengkultuskan atau terlalu mengidolakan satu tempat, misalnya hanya ini soto paling enak. Atau kalau cari bolu paling lezat, itu membuat kehidupan terlalu lurus dan kaku.
4. Ada tapi tiada
Konsep ini paling cocok bagiku sejalan dengan konsep slow living. Tidak ada image yang harus dipertahankan supaya terbentuk bahwa dia orang hebat. Hebat, sukses dan bahagia diriku bukan dikonsep mata orang lain. Sehingga ada tapi tiada atau sebaliknya tiada tapi ada menjadi sebuah kenikmatan penganut slow living.Â
Jika manusia memiliki egocentris yang dinyatakan dalam kenarsisan, eksklusifitas dan kebenaran absolut bagi dirinya sendiri itu bagiku sangat berlawanan dengan nilai ada tapi tiada. Ketiadaan akan sangat bermakna karena nilai ini akan menjadi nilai tertinggi untuk sebuah makna hidup.
Jika kehidupan puncak , paling top, dielu-elukan , diagungkan adalah versi kita ada, layak bahwa anda bukan penganut slow living. Ketika anda di keramaian, tidak ada siapa-siapa, sendiri berjalan di jalan penuh sesak. Dan anda bahagia, itulah anda berada di jalur slow living versi saya.Â
Apalagi ya, saya coba pikir-pikir dulu ya versi slow living dari konsep dan praktek hidup saya. Nanti disambung lagi....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H