Tentu , karena lists kerjaan yang dibuat para slow living adalah hal-hal sederhana yang bisa dicapai dengan kerja-kerja kecil, bukan sesuatu yang butuh biaya besar. Saya memasukkan to do list antara lain watching tv, listening to the radio.. he..hee
3. Jauhi Kultus  & Fanatisme
Saya mengenal beberapa ibu yang sangat fanatik jika membeli sesuatu. Bahkan menemui sekitar 4 orang ibu hanya untuk berbelanja kebutuhan dapur dia selalu berbelanja ke ibu A.
Apapun yang terjadi. Mau hujan badai, bulan tua, pelangi mekar, mereka tidak pernah mau membeli satu barang pun semisal cabe kepada tetangga yang kebetulan dekat rumah.Â
Upaya mengkultuskan ini bagi saya penganut slow living bertolak belakang dengan versi terbaik saya. Hampir semua pasar di kota Medan ini saya kunjungi.Â
Semua kedai sampah di kompleks perumahan saya adalah tempat dimana saya ingin berbagi ekonomi. Saya beli garam di kedai A, beli telor di kedai B, beli shampoo di kedai A atau belanja mingguan ratusan ribu kadang di kedai A, B dan C.
 Santai saja, walau swalayan di SImp. Pos agak kumuh, atau swalayan Pajak Melati terlalu mewah, sebagai penganut slow living, semua kedai adalah tempat berbelanja.Â
Tidak harus ketat melihat ini si penjual kurang ramah, atau ini punya kapitalis, yang sana sosialis. Saat saya butuh, nyaman, cocok, saya masuki semua lokasi-lokasi mulai dari kumuh, modern, sytlish, mahal.Â
Bagi saya mengkultuskan atau terlalu mengidolakan satu tempat, misalnya hanya ini soto paling enak. Atau kalau cari bolu paling lezat, itu membuat kehidupan terlalu lurus dan kaku.
4. Ada tapi tiada
Konsep ini paling cocok bagiku sejalan dengan konsep slow living. Tidak ada image yang harus dipertahankan supaya terbentuk bahwa dia orang hebat. Hebat, sukses dan bahagia diriku bukan dikonsep mata orang lain. Sehingga ada tapi tiada atau sebaliknya tiada tapi ada menjadi sebuah kenikmatan penganut slow living.Â