1. Tinggal di Pondok Mertua Indah (PMI) atau Mencari Rumah Impian (MRI)?
Hidup kita dipengaruhi oleh jaman yang terus berubah. Terutama pasangan yang hendak menikah di 4 tahun ke depan. Keputusan apakah akan tinggal di PMI atau MRI? PMI akan lebih luas dengan ruang-ruang yang banyak. MRI hanya berukuran kecil. Tergantung konsep hidup kita . Sambil merawat orangtua sekaligus memanfaatkan rumah besar. Atau mandiri dengan rumah tipe sekarang yang hanya 6x6 mtr, 7 x 10 mtr atau lebih luas sedikit. Dilematika ini harus dipikirkan matang-matang. Solusinya: Di PMI dulu lalu menabung 5-10 tahun untuk MRI
2. Mitos-Mitos Tradisional dan Gaya Hidup Modern??
Gaya hidup keluarga apa yang anda pilih? Kita memang hidup diantara dua gelombang besar hidup. Di satu sisi soal mitos bertebaran bahwa perempuan itu lemah, jika sudah menikah harus meninggalkan pekerjaan,jadi istri harus melayani suami, memakaikan kaus kaki suami???Hari ini?Tapi beberapa pemahaman naïf soal jenis kelamin,
kesetaraan laki-laki dan perempuan yang sudah lebih setara masih simpang siur. Kota dan desa belum menjamin calon suami anda sudahberpandangan maju dan teredukasi soal bagaimana menempatkan istri. Saya punya cerita bahwa seorang laki-laki yang lahir dan besar di kota Medan berpandangan naïf bahwa perempuan tidak boleh keluar malam. Sangat protektif terhadap istri, mencek dimana posisi istri, sms dengan siapa saja.
Artinya kita harus menjadi perempuan yang memahami bahwa mungkin kita akan menemukan suami yang seperti itu. Beruntung jika suami yang kita dapatkan sudah memperlakukan kita lebih baik dengan bentuk lebih menghargai kita, member ruang bagi kita untuk berekspresi, mendukung karir atau cita-cita kita.
Bagaimana jika seandaainya kita mendapat yang sebaliknya??Yang masih hidup di dunia mitos. Di satu sisi kita sudah menikmati kebebasan dalam berekspresi misalnya memilih karir yang bagi kita sudah merupakan passion kita. Tapi pasangan kita menganggapnya tidak tepat. Nah..padu padan antara konsep tradisional yang mengakar dengan gaya hidup modern kita. Mungkin selama ini kita sering pulang malam. Kurangilah, paling tidak berpikiran positip bahwa dengan pulang lebih cepat ke rumah akan member istirahat yang cukup bagi tubuh kita.
3. Full Mommy atau Working Mommy
Menikah, hamil, punya anak. Itu adalah bagian dari Mau jadi full mommy (sebagai ibu di rumah 24 jam) atau working mom. DIlematika ini benar-benar harus dipertimbangkan baik-baik. Memikirkan karir atau full mommy memang harus menjadi ibu yang total berada 24 jam di rumah.
Dilematika ini merupakan sebuah “virus” yang jika tidak dipahami dengan baik sering menjadi pemicu keresahan pada sebuah pernikahan. Tidak mudah bagi pasangan untuk memutuskan apakah setelah menikah si istri akan bekerja atau tidak? Perlu komunikasi yang terus-menerus. Jangan saling menyalahkan. Analisa dampak negative atau buruk sebelum memutuskan resign atau memutuskan bekerja kembali. Tentu dengan hati-hati dan analisa mendalam.
4.Keluarga Cemara atau keluarga middle class ?
Kita ingin sebuah keluarga yang ceria walau dengan seluruh keterbatasan? Atau keluarga dengan middle kelas dengan seluruh kebutuhan hidup yang serba praktis dan instan? Tinggal memilih konsepnya. Saya sering miris melihat beberapa keluarga yang selalu menghadiahi anaknya yang ulang tahun dengan HP, sepeda motor, atau yang bagi saya tidak meningkatkan kreatifitas. Keluarga dengan kesederhanaan akan menawarkan sebuah hadiah yang meningkatkan hormone keingintahuan bagi anak, yang menimbulkan kreatifitas. Dilematika itu saya alami saat ini.
Ingin memberikan makanan terbaik bagi keluarga. Diolah sendiri, dimasak sendiri, tetapi dikarenakan keterbatasan waktu akhirnya sering membeli makanan dari luar. Menghabiskan beberapa hari untuk makan di rumah makan atau restoran yang identik dengan middle class padahal pendapatan adalah kelas pekerja. Nah sebagai perempuan, membagi waktu dengan beban kerja ganda akan menyeret kita pada dilematika diatas. Akhirnya harus pintar. Harus belajar membuat makanan praktis, tapi sehat dan murah. Itu masih dilematika dalam pangan?
Belum lagi dilematika dalam berpakaian.
Sering terbius dengan fashion kerabat, sauadara, tetangga yang harga fantastis dengan keluaran terbaru. Belum lagi jika menikah dengan keluarga suami yang mungkin berasal dari kelas middle. Atau bergaya hidup middle kelas. menggunakan tas bermerk, sepatu bermerk. Tentu dilematika tiada tara. Saya suka sesuatu yang sederhana tetapi kiri kanan, muka belakang menyerbu dengan barang-barang kualitas bagus,harga mahal, tidak ketinggalan jaman. Akhirnya terseret juga ke arah saana. Sesuatu yang sulit bukan?
5. Calon Suami apakah sekelas Albert Einstein atau si Penebar Pesona Don Juan dari Kelas Sastra ?
Seorang suami memiliki kepintaran secara akademik dengan kalkulasi otak sekelas Albert Einstein. Memiliki nilai tinggi dengan kesempatan besar ikut olimpiade fisika/matematika atauIPA. Sebelum menikah, akan terlihat tipe suami yang lihai dalam sains. Biasanya jurusan tehnik. Yang romantismesnya kurang.
Atau anda punya calon seperti seorang sastrawan yang pintar mengumbar janji. Atau yang mengirimkan anda berhelai-helai surat cinta. Dua-dua tak ada salahnya. Dua jenis tipe ini punya nilai positip tapi juga punya nilai negatip. Si Don Juan akan memenuhi hasrat anda yang butuh diambungkan setinggi langit. Disanjung dengan puisi-puisi romantic, tetapi kurang dalam bekerjasama misalnya untuk memperbaiki genteng yang rusak.
Si Einstein/si anak Fisika yang kaku dengan rasa romantisme yang kurang tapi memastikan bahwa kran air tidak bocor, tv menyala dengan baik. Dilematika ini harus diseimbangkan. Jurusan mesin yang tak pernah sekalipun menulis surat cinta, tetapi bentuk cinta lebih pada bagaimana memastikan semua peralatan mesin di rumah.
6. Konsep Hubungan Mother in law seperti apa?
Bagi berbagai suku di Indonesia, mother in law (mertua perempuan) memiliki hubungan yang lumayan rumit dengan menantu perempuannya. Entah kenapa. Mungkin dikarenakan ada unsur kompetisi di dalamnya.Bayangkan seorang perempuan asing tiba-tiba merebut anaknya. Disekolahkan, dicarikan kerja.
Kemudian menikah dengan perempuan asing yang akhirnya kasih sayangnya pun beralih.Mungkin ini salah satu latar belakang kenapa hubungan yang bermertua-menantu kurang harmonis. Bagaimana dengan anda. Secara akar, “konflik” pasti sudah ada. Intinya adalah bagaimana anda menyikapi hubungan ini. APakah anda ingin hubungan yang sangat “akrab”, “biasa/say hello saja” atau “anjing-kucing.” Tinggal bagaimana menganalisa hubungan yang hendak anda bangun. Paling tidak bangunlah sebuah hubungan yang intinya saling menghargai, tidak melukai satu dan yang lain.
7. Ratu dan Raja, Pangeran dan Putri, My Darling, My Honey??Akankah abadi??
Raja sehari, ratu sehari. PAsangan tertampan, perempuan tercantik. Dengan busana paling mewah diantara tamu. Usia sudah ideal untuk menikah, memiliki pekerjaan yang mapan. Keluarga yang berpendidikan. Bobot, bibit dan bebet jelas. Tapi akhirnya kita akan kembali ke dunia nyata. Menjadi manusia dengan problematika dan dilematikanya. Kecantikan tidak akan abadi. Ketampanan bisa hilang seketika. Perselingkuhan dapat terjadi kapan saja. Apa yang bagi orang sudah sempurna bagi kita belum tentu. Karenanya untuk sebuah pernikahan ideal, kita harus lebih realistis.
Jangan menganggap pernikahan itu seperti sebuah istana yang akan diisi oleh belaian, ucapan kasih sayang, hadiah-hadiah, pujian. Ujian akan datang. Anak-anak akan lahir. Tanggung jawab bertambah. My darling bisa saja hanya 6 bulan, 1 tahun, 5 tahun.Kemudian diisi oleh pertengkaran, perselisihan, salah paham, saling menyakiti. Karenanya berpikiran lebih logis dan realistic. Perlu memang diisi oleh ruang-ruang romantisme. Tapi sisi peran tanggung jawab harus lebih besar. Jangan bermesraan saja, rumah berantakan.Seimbangkan kebutuhan psikologis dengan fisik. Bagaimana misalnya menyajikan makanan sehat dan lezat di rumah dengan dibumbui oleh cumbuan suami. Fantastis!!
8. Asam di Gunung , Ikan di Laut ketemu di Belanga ……Rasanya enak dong!!
Bagi pasangan jaman sekarang, khususnya bagi yag ingin sebuah konsep pernikahan yang ideal. Pernikahan sebagaimana kata orang bijak adalah menyatukan utara selatan, timur barat, asam di gunung dan ikan di laut. Dan pada akhirnya akan menjadi satu hidangan yang lezat.
Artinya sebuah pernikahan yang berbeda dan latarbelakang beragam dibumbui proses jatuh bangun, cemburu, marah, berantam akan menjadi bumbu penyedap bagi sebuah pernikahan. Karenanya bagi pasangan yang hendak menikah jangan khawatir dengan perbedaan yang terlalu besar. Perbedaan itu malah membuat rasa pernikahan kita akan tajam rasanya. Jangan selalu membandingkan pernikahan kita dengan pernikahan orang lain yang lebih homogen. Dengan pernikahan maka adat, budaya, karakter, hingga prilaku campur aduk jadi satu. Berantam itu sah-sah saja. Jangan tiap berantam langsung bilang cerai.Kehidupan yang lebih berwarna akan membuat kita lebih bijak menyikapi hidup.
9. Hubungan Orangtua Menjadi Cerminan Hidup….Mari lihat cermin masing-masing
Sudah punya konsepkah kita dengan keluarga yang hendak kita bangun.Mari kita bercermin dengan orangtua masing-masing. Menurut kita bagus, tirulah! Jika menurut kita tidak bagus jangan ditiru. Saya punya adik ipar yang persis meniru ibunya. DIa memperlakukan suaminya seperti ibunya memperlakukan ayahnya. Tidak menghormati. Berkata kasar.Memaki-maki. Tanpa sadar prilaku ibunya ditirunya habis-habisan. Sebagai calon istri, kita harus mulai koreksi, bagaimana kelak kita memperlakukan suami kita. Tentu ini sebuah dilematika kesembilan. Jika bagus hubungan ibu kita dengan ayah kita tidak masalah. Tetapi bagaimana jika tidak. Karenanya perlu melihat cermin diri. Jika salah kita rubah, yang baik kita teruskan!!
10. Yang paling Nikmat itu adalah prosesnya…Ujungnya kita nggak tau!
Apapun dilematika itu, yang pasti sebuah pernikahan jika dipandang indah akan indah. Ideal tentu tergantung konsep kita
pada pernikahan kita sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H