Waktu saya bertugas sebagai volunteer di Hutan Harapan Rainforest, selama seminggu saya mendampingi Dinas Kehutanan untuk melakukan pendataan dan pemetaan ke sebuah kawasan yang di klaim warga sebagai lahan mereka untuk bertani dan bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Sebagai orang yang gemar ke alam bebas ini bukan sebuah pekerjaan susah, karena berhubungan dengan semua kegiatan yang sering saya lakukan dulu di kampus. Tapi persoalannya bukan di situ. Yang menjadi perhatian saya adalah pertentangan antara Harapan Rainforest dengan warga yang mengklaim lahan negara yang sebenarnya di peruntukan untuk kawasan Restorasi Ekosistem, dan Dinas Kehutanan sebagai penengah yang mewakili negara dalam hal ini. Kawasan yang di klaim warga sebenarnya adalah bekas kawasan sebuah perusahaan HPH (Hak Pengolahan Hutan) untuk kayu, yang sudah habis kontraknya di Indonesia. Kawasan tersebut di kelola lagi oleh Harapan Rainforest yang bergerak dalam keseimbangan ekosistem yang memamfaatkan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Warga yang merasa berhak dengan lahan tersebut karena berlindung atau di payungi dari UUD 45 pasal 33, merekapun di dampingi oleh sebuah NGO yang merasa berjuang untuk mengaplikasikan pasal 33 tersebut. Salah satu puhon yg sudah di tebang Sangat ironi memang ketika kebutuhan hak hidup untuk mendapatkan penghidupan yang layak harus bertentangan dengan kegiatan Restorasi hutan. Di satu sisi warga negara merasa berhak atas tanah tersebut karena tanah negara, sedangkan Harapan Rainforest, merasa berhak juga untuk mengelola kawasana tersebut karena sudah mendapat ijin dari pemerintah. Perusaahaan berhak mengelola hutan tersebut dan memamfaatkan hasil hutan non kayu sehingga hutan tersebut di namakan Hutan Harapan Rainforest. Pertentangan ini akan semakin runyam ketika tidak ada ketegasan dari pemerintah yang menjadi penengah. Dan ini di perparah dengan keterlibatan pihak ketiga yang memamfaatkan konflik ini. Tapi yang menjadi sedikit aneh, ketika saya mendampingi pemetaan tersebut, ternyata warga yang mengklaim lahan tersebut semuanya adalah pendatang, dan bahkan ada yang baru sekali datang ke lokasi tersebut. Bahkan mereka sangat ngotot untuk mengolah lahan tersebut. Pembukaan dan penebangan hutan yang sudah segabian dari mereka lakukan untuk kegiatan pertanian, kegiatan merekapun secara sporadik, dan ini sedikit rapi seperti ada sebuah sistem yang mengatur mereka. Di antara warga sendiri terjadi konflik horizontal karena diantara mereka ada yg mendukung Hutan Harapan dan mereka bermitra dengan Hutan Harapan untuk mengolah Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H