Mohon tunggu...
Abus Siraj Masiga
Abus Siraj Masiga Mohon Tunggu... profesional -

suka berpetualang ke alam bebas, mountaineering, rafting n caving

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Restorasi vs Kebutuhan Ekonomi

16 Juni 2012   14:59 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:54 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Waktu saya bertugas sebagai volunteer di Hutan Harapan Rainforest, selama seminggu saya mendampingi Dinas Kehutanan untuk melakukan pendataan dan pemetaan ke sebuah kawasan yang di klaim warga sebagai lahan mereka untuk bertani dan bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Sebagai orang yang gemar ke alam bebas ini bukan sebuah pekerjaan susah, karena berhubungan dengan semua kegiatan yang sering saya lakukan dulu di kampus. Tapi persoalannya bukan di situ. Yang menjadi perhatian saya adalah pertentangan antara Harapan Rainforest dengan warga yang mengklaim lahan negara yang sebenarnya di peruntukan untuk kawasan Restorasi Ekosistem, dan Dinas Kehutanan sebagai penengah yang mewakili negara dalam hal ini. Kawasan yang di klaim warga sebenarnya adalah bekas kawasan sebuah perusahaan HPH (Hak Pengolahan Hutan) untuk kayu, yang sudah habis kontraknya di Indonesia. Kawasan tersebut di kelola lagi oleh Harapan Rainforest yang bergerak dalam keseimbangan ekosistem yang memamfaatkan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Warga yang merasa berhak dengan lahan tersebut karena berlindung atau di payungi dari UUD 45 pasal 33, merekapun di dampingi oleh sebuah NGO yang merasa berjuang untuk mengaplikasikan pasal 33 tersebut. Salah satu puhon yg sudah di tebang Sangat ironi memang ketika kebutuhan hak hidup untuk mendapatkan penghidupan yang layak harus bertentangan dengan kegiatan Restorasi hutan. Di satu sisi warga negara merasa berhak atas tanah tersebut karena tanah negara, sedangkan Harapan Rainforest, merasa berhak juga untuk mengelola kawasana tersebut karena sudah mendapat ijin dari pemerintah. Perusaahaan berhak mengelola hutan tersebut dan memamfaatkan hasil hutan non kayu sehingga hutan tersebut di namakan Hutan Harapan Rainforest. Pertentangan ini akan semakin runyam ketika tidak ada ketegasan dari pemerintah yang menjadi penengah. Dan ini di perparah dengan keterlibatan pihak ketiga yang memamfaatkan konflik ini. Tapi yang menjadi sedikit aneh, ketika saya mendampingi pemetaan tersebut, ternyata warga yang mengklaim lahan tersebut semuanya adalah pendatang, dan bahkan ada yang baru sekali datang ke lokasi tersebut. Bahkan mereka sangat ngotot untuk mengolah lahan tersebut. Pembukaan dan penebangan hutan yang sudah segabian dari mereka lakukan untuk kegiatan pertanian, kegiatan merekapun secara sporadik, dan ini sedikit rapi seperti ada sebuah sistem yang mengatur mereka. Di antara warga sendiri terjadi konflik horizontal karena diantara mereka ada yg mendukung Hutan Harapan dan mereka bermitra dengan Hutan Harapan untuk mengolah Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK).

kawasan yang mau di jadikan perkebunan warga Di Hutan Harapan sendiri sebenarnya ada penduduk lokal, mereka di sebut Suku Anak Dalam (SAD). Sedangkan SAD sendiri terjadi konflik horizontal juga antar ada yangg mau bermitra dengan Hutan Harapan dan ada yang tidak mau. Tapi ini hal wajar, karena mereka benar-benar penduduk lokaldan wilayah Hutan Harapan memang tanah nenek moyang mereka dan Hutan Harapan berusaha untuk hidup berdampingan dan menjaga kebudayaan mereka, walaupun ketika di selidiki ternyata SAD tersebut sudah bercampur baur para pendatang dan disini sudah terjadi proses asimilasi budaya luar. Tapi yang menjadi persoalan adalah para pendatang yang mengklaim beberapa wilayah Hutan Harapan untuk mereka garap sebagai lahan pertanian. Ini sesuatu yang aneh, mereka para pendatang dari berbagai wilayah sumatra dan jawa. Bahkan ketika di lakukan pendataan, mereka mengaku baru dua kali ke lokasi bahkan ada yang baru sekali dan anehnya lagi, datanya ada sedangkan orangnya tidak ada dan sepertinya dia tidak pernah ke lokasi.
kawasan yg sudah di kalim warga Sebagian kawasan yang di klaim warga sebenarnya masuh hutan dengan vegatasi yang masih rapat walaupun sudah termasuk hutan skunder, tapi ini akan sangat di sayangkan kalau di jadikan sawah atau kebun. Satwa yang ada di hutan tersebut masih banyak dan ini pasti akan berdampak pada keseimbangan ekosistem ketika hutan tersebut dijadikan sawah atau perkebunan bagi rakyat.
lahan yg sudah di bakar untuk di jadikan kebun Kepentingan restorasi harus berbenturan dengan kepentingan ekonomi, lahan untuk rakyat sudah semakin sedikit untuk di garap, adanya praktek sistem kapitalisme semakin mempersulit warga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, tuan tanah semakin banyak tanahnya, dan rakyat yang tidak punya tanah berusaha menyerobot tanah demi memenuhi kebutuhan hidupnya walaupun tanah tersebut di peruntukanuntuk restorasi. Di beberapa Taman Nasiona di Sumatera misalnya, khususnya Jambi, garis batas Taman Nasional dengan tanah warga semakin tidak jelas, warga berusaha menyerobot Taman Nasional untuk kepentingannya sendiri. Dan ini semakin di perparah dengan ketidaktegasan pemerintah dalam menyikapi permasalahan ini. Hak hidup yang layak harus berbenturan dengan hak hidup satwa, mungkin kata itu sedikit kejam tapi itulah kenyataannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun