Akhir pekan minggu ini aku gunakan untuk jalan-jalan ke Taman Nasional Bukit Dua Belas, di temani kawan-kawan dari Pecinta Alam yang ada di Bangko, Merangin, Jambi. Selesai mengerjakan tugas kantor saya langsung meluncur menuju Sekretariat Mata Angin Kampus STKIP Bangko. Anak-anak sudah menunggu dari tadi karena janjinya siang tapi karena masih ada tugas kantor, ba’da asar baru bisa berangkat. Berangkat hanya dengan membawa perlengkapan pribadi, soalnya makanan nanti beli di jalan, karena hanya satu malam, jadi gak perlu bawa banyak. Berangkat dengan menggunakan  motor, tujuan perjalana kami adalah ke Suku Anak Dalam (SAD). Sedikit was-was juga karena ini perjalanan pertama saya ke SAD. Sebenarnya sudah sering ketemu dengan meraka tapi itu di kota dan bukan di hutan rumah mereka. Rombongan kamu sebelas orang, dua di antaranya Anak Rimba (sebutan untuk SAD). Satu jam lebih perjalanan kami berhenti di sebuah pasar untuk membeli beberapa makanan, hanya makan ringan seperti mie dan snack di tambah beberapa minuman kaleng. Setalah membeli bebepara makanan selanjut melanjutkan perjalan lagi menyusuri jalanan yang mulai memburuk. Untuk mempercepat perjalanan kami memotong jalan dengan menggunakan kebun penduduk tapi itu harus bayar. Karena sudah sore dan takut tengah malam baru sampai di lokasi akhirnya kami bayar juga. Jalan sudah mulai buruk karena tanah merah dan hujan mulai turun. Akhirnya mesti dorong motor beberapa kali karena jalan yang becek dan licin. Dan ini cukup mengganggu perjalanan, padahal hari sudah mulai gelap. Di ujung kebun penduduk ada sebuah pondok tempat kami menitipkan motor, selanjutnya perjalanan di lanjutkan dengan berjalan kaki. Aku sendiri tidak tau mana batas kebun penduduk dengan batas kawasan Taman Nasional karena dari tadi hanya kebun karet yang kami jumpai, saya pikir pemerintah harus jeli karena ini Taman Nasional. Kami terus menyusur jalan setapak yang licin, aku mulai menyalakan senter, di team ini cuman ada satu untuk sebelas orang, cukup repot juga, yang lain tidak membawa senter karena tidak mempersiapkan untuk kondisi seperti ini. Tapi untungnya yang menjadi leader kami dalah Anak Rimba itu sendiri. Jadi dia cukup hapal jalan walaupun di gelapnya malam. Hujan mulai berhenti ketika kami sampai di sebuah pondok, sebenarnya itu sekolah yang didirikan oleh Butet Manurung. Hujan mulai berhenti ketika kami sampai di lokasi. Kami disambut oleh Anak-anak Rimba yang ada di pondok itu. Mereka adalah murid-murid Butet Manurung. Butet sendiri sudah tidak mengajar lagi karena dia sudah pindah ke Australia mengikuti suaminya. Pondok itu berbentuk rumah tinggi terbuka, punya dua ruangan, satu di gunakan sebagai kamar, satu untuk berkumpul, belajar dan bermain dan ini tidak mempunyai dinding jadi terbuka hanya di pagari setinggi sekitar 50 cm. Kamarnya sendiri mempunyai luas sekitar 3x3 meter.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H