Mohon tunggu...
Matthew Sirait
Matthew Sirait Mohon Tunggu... Lainnya - Cendekiawan

Mencari kebenaran pada setiap waktu

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ngapain Sih Pergi Jauh-Jauh ke Sintang?

17 Januari 2024   11:20 Diperbarui: 17 Januari 2024   11:22 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Faktanya, pertanyaan semacam itu sering kali muncul sebelum dan setelah menjalani kegiatan imersi, terutama dari teman-teman saya yang merasa bahwa bidang ilmu yang saya tekuni tidak sejalan dengan kegiatan tersebut. Bahkan, teman-teman dari jurusan Hubungan Internasional saja mengakui kebingungan mereka mengenai tujuan saya di sana. Meskipun demikian, saya selalu yakin bahwa Tuhan memiliki rencananya sendiri, termasuk dalam membentuk pola pikir saya. Jika Anda penasaran, mari kita lanjutkan membacanya.

Bagi saya, kegiatan imersi kali ini mengharuskan saya beradaptasi secara ganda. Mengapa demikian? Karena saya perlu beradaptasi dengan lingkungan Masyarakat Rumah Betang Ensaid Panjang dan juga beradaptasi dengan pembahasan sehari-hari mengenai fenomena sosial beserta penyebab dan akibatnya. Maaf jika pernyataan ini terkesan stereotip, tetapi itulah realitas manusia. Sejujurnya, saya harus memikirkan dan menyesuaikan cara berpikir dan berbicara saya, meskipun tidak ada yang meminta, ini hanya inisiatif saya sendiri. Namun, karena bidang ilmu saya saat ini memiliki dampak besar pada berbagai aspek kehidupan manusia di masa depan, mendapatkan perspektif baru menjadi sangat penting untuk memperkaya pengetahuan saya, terutama dalam ekosistem keilmuan saya.

Saya mengakui bahwa saya tidak memiliki pengetahuan seprofesional antropolog atau ahli bidang lainnya. Saya hanya membawa bekal pendidikan dari rumah, pengalaman mengikuti kegiatan sosial dan latihan rohani selama bersekolah di Kolese Kanisius, dan sekitar 4-6 kali workshop selama sebulan sebelum pergi ke Ensaid Panjang. Namun, saya selalu memegang prinsip bahwa lebih baik mendengar daripada banyak berbicara, sesuai dengan ajaran generasi masa lalu ("the greatest generation" mengutip Ray Dalio). Selama tinggal di rumah betang, saya berinteraksi dengan masyarakat yang mayoritas berasal dari generasi baby boomer ke atas. Saya senang mendengarkan cerita mereka, yang mengingatkan saya pada orang tua dan mendiang Opung saya. Orang-orang di rumah saya suka bercerita, dan saya dituntut untuk bisa bercerita secara runtut oleh mereka.

Sebelum pergi ke Ensaid Panjang, bahkan sebelum mengunjungi Sintang, Pontianak, dan Kalimantan, saya sudah diingatkan oleh orang tua saya tentang mistisnya Kalimantan. Saya belum pernah ke Kalimantan dan hanya memiliki 1-5 teman yang berasal dari sana. Ketika berbicara tentang kebudayaan, saya teringat nasihat Dr. Catherine Wu selama studi di NTU. Intinya, saat berinteraksi dengan orang dari budaya yang berbeda, kita harus bersikap diam, hanya mendengarkan, melihat, dan merasakan untuk memahami makna dari perilaku mereka. Prasangka memang ada, dan saya belajar mengatasi prasangka saya sendiri.

Salah satu pikiran yang menarik bagi saya adalah bagaimana penduduk Ensaid Panjang menilai pendidikan. Banyak dari mereka pernah merantau ke Jawa, namun setelah ada yang berhasil masuk Universitas Tanjungpura, banyak yang mengikuti jejaknya. Awalnya, saya menganggap mereka hidup terisolasi, tetapi kenyataannya, mereka aktif menjaga hutan mereka dan menggunakan pendidikan untuk memperkuat pemahaman mereka akan pentingnya pelestarian hutan. Saya berharap, sebagai seseorang yang terpapar nasionalisme semu, mereka tidak akan merusak apa yang telah diperjuangkan leluhur mereka setelah belajar dan merantau.

Pengalaman imersi di Ensaid Panjang berhasil memperluas pola pikir saya sebagai mahasiswa keinsinyuran. Sebagai insinyur, saya selalu diajarkan bahwa teknologi harus diatasi dengan teknologi, siapa yang mengendalikan teknologi akan mengendalikan dunia, dan sebagainya. Namun, masyarakat Betang, meskipun bertani, hanya menggunakan hutan seluas 1 hektar untuk kebutuhan pangan sehari-hari. Kalau pun bisa mendapatkan beras murah dari pemerintah, mereka pasti akan tetap memilih untuk tidak mengambil dari hutan. Oleh karena itu, argumentasi masyarakat urban yang mengkritik pengalihfungsian lahan hutan menjadi lahan pertanian tidak sepenuhnya tepat dan terkesan seperti hanya "menyuruh-nyuruh" tanpa mengetahui realitas di lapangan.

Akan tetapi, realitas di lapangan memang memaksa mereka untuk membuka lahan pertanian. Harga beras di Ensaid Panjang cukup tinggi, Rp350.000,00 untuk 15kg atau kasarnya Rp200.000,00 untuk 10kg. Sementara beras terbaik di Jakarta, merek kepala singa biru, hanya Rp155.000,00 per 10 kilo. Saya, sebagai warga yang tidak tinggal di daerah 3T, menganggap harga beras di Jakarta mahal, apalagi bagi mereka yang tinggal di daerah tersebut. Bagi mereka, lebih baik bercocok tanam daripada membeli.

Terakhir, pengalaman imersi ini benar-benar melatih empati saya. Intinya, bukan hanya tentang pengalaman saya mengikuti kegiatan sehari-hari, tetapi juga mengenai perubahan besar dalam dinamika kehidupan yang saya alami. Satu pemikiran yang sangat menyentuh saya adalah betapa sulitnya kita sebagai orang kota untuk mengalami perubahan pola kehidupan sesuai dengan pola mereka selama 5 hari. Saat mencapai titik kelelahan di bukit Rentap, saya merenung bahwa orang-orang di sana masih berladang setiap hari di puncak yang sulit didaki itu. Kami merasa lelah pada waktu itu, tetapi kami tahu bahwa kami akan kembali pulang ke kota dan kembali ke rutinitas yang dengan dijalani dengan nyaman. Namun, ketika mereka mengalami perubahan pola hidup akibat penerapan kebijakan tertentu, apakah mereka bisa kembali? Jelas, belum tentu.

Sebagai generasi muda dan calon pemimpin, saya melihat nilai positif dalam kegiatan semacam ini bagi seluruh mahasiswa, tanpa memandang latar belakang ilmu mereka. Indra kepedulian harus dibentuk melalui pengalaman nyata dengan teori, praktik, dan tujuan yang terukur. Menurut saya, setiap pembuat kebijakan harus merasakan konsekuensi dari pilihan yang mereka ambil, terutama terkait kehidupan masyarakat secara menyeluruh.

Demikianlah...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun