Tulisan ini berhubungan dengan isi artikel yang dibuat oleh Kompasianer Agung Kuswantoro yang berjudul Meng-kliping Google. Tulisan beliau sangat relevan dengan suatu 'cara' yang dalam pandangan saya mulai berkembang menjadi 'kebiasaan'. 'Cara' tersebut adalah melakukan copy-paste (membuat salinan), khususnya dalam perkuliahan. Copy-paste di sini adalah terbatas pada yaitu sekedar apa yang disebut ‘mengkliping Google’ sebagaimana diungkapkan pada artikel tersebut. Tulisan ini tidak bermaksud mengulang, menentang, atau menandingi, tetapi sebatas mencoba memberi tambahan perspektif mengenai topik yang dibahas.
Albert Einstein pernah menyatakan menyesal terkait pengembangan bom nuklir yang menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki. Penemuannya yang sangat maju dalam ilmu pengetahuan tetapi ternyata telah dimanfaatkan untuk membunuh sekian banyak manusia dan memundurkan keberadaban manusia sendiri. Namun saya tidak mengetahui, apakah penemu fitur copy (salin) dan paste (tempel) pada program pengolah kata juga pernah menyesal?
Pertanyaan besar tentang copy-paste adalah, apakah copy-paste merupakan musuh intelektualitas? Ketika copy-paste dimanfaatkan dalam dunia pendidikan, maka copy-paste juga membawa potensi merusak perkembangan peradaban. Atas nama kecepatan, copy-paste dapat membuat pengguna mengurangi kemampuan berpikirnya secara sukarela. Pada saat melakukan copy-paste, pembelajaran terjadi hanya sebatas memilih keyword pencarian yang tepat, memilih hasil pencarian yang ‘kira-kira’ tepat, membaca judul artikel sumber, dan kemahiran membaca kilat. Mahasiswa menjadi kompilator, dan gagap dalam gerakan pembangunan kesadaran kritis di masyarakat. Menjadi sama lugu dengan jenis demonstran yang ketika ditanya tidak dapat menjelaskan secara mendalam apa tuntutannya.
Sebagai bagian dari perkuliahan, dosen selalu memberikan tugas kepada mahasiswanya. Berkat copy-paste, tugas yang tadinya harus dikerjakan dalam waktu seminggu dapat diselesaikan dalam waktu satu hari, bahkan beberapa menit. Jodoh dari copy-paste adalah internet beserta segala kecanggihan di dalamnya. Internet membuat komputer kita menjadi sebuah kotak ajaib yang bisa menemukan dan menampilkan hampir apapun informasi yang kita cari.
Bayangkan bedanya komputer ketika dalam keadaan mati di dalam tas. Tidak lebih dari seonggok benda padat yang membuat ribet. Lalu bandingkan ketika komputer dalam keadaan hidup dan terhubung ke internet. Kita begitu antusias melihat sebuah kotak penuh warna, suara, tulisan, dan keterhubungan. Copy-paste dengan internet merupakan kombinasi pamungkas ketika ada tugas untuk membuat makalah, atau saat membuat skripsi.
Sebagian dosen dapat mengetahui atau minimal dapat merasakan jika tugas yang dikumpulkan adalah hasil copy-paste (kliping Google). Termasuk juga ketika tulisan copy-paste tersebut mengalami sedikit modifikasi supaya kelihatan seolah hasil karya sendiri. Bagi mahasiswa, percayalah, jika dosen memberi tugas, sang dosen bisa jadi sudah menyadari apabila tugas tersebut dapat diselesaikan dengan mudah dengan copy-paste, baik dari teman maupun dari internet. Jika dosen tidak berkomentar, bukan berarti beliau tidak mengetahuinya. Apalagi jika dosen tersebut sudah cukup kenal secara pribadi, beliau akan menyadari "Ini kalimat bukan dia banget..".
Mengenai pertanyaan apakah copy-paste merupakan musuh berpikir, kelihatannya untuk titik ini pertanyaan tersebut bukan untuk dijawab. Pertanyaan tersebut sementara bagi saya dapat dianggap sebagai peringatan. Anggap saja programmer yang menemukan fitur copy-paste tidak bermaksud mematikan intelektualitas dengan memberi jalan pintas.
Lantas apakah mungkin copy-paste menjadi sahabat berpikir? Sejauh ini, sebatas kebutuhan teknis, saya percaya banyak tulisan-tulisan hebat yang orisinil juga pernah melibatkan proses copy-paste dalam pembuatannya. Sebatas untuk menunjang kemudahan teknis pembuatan suatu karya, copy-paste justru menjadi senjata pendukung bagi proses berpikir. Copy-paste dapat menjadi musuh berpikir ketika dimanfaatkan dalam ranah substansi secara instan. Apalagi dalam pembuatan tugas kuliah yang sudah kepepet waktu. Pembuat tugas dapat dengan mudah kehilangan kendali akan arah tulisannya ketika sangat gandrung dengan copy-paste.
Saya pernah membaca beberapa draf skripsi mahasiswa yang dengan jelas terasa bahwa tulisannya banyak copy-paste. Ketika ditanya untuk verifikasi mengenai isi skripsinya, mahasiswa tersebut sama sekali tidak tahu secara jelas isi skripsi yang ditulisnya. Tidak hanya itu, mahasiswa yang melakukan copy-paste seringkali ‘kurang pro’ untuk menjaga konsistensi jenis dan ukuran font, spasi, dan indent. Mentah-mentah memindahkan tulisan sumber ke dalam lembar tugasnya. Tulisan semacam itu biasanya tidak jelas arahnya. Terbaca seolah tanpa struktur. Konten tulisannya lompat-lompat tidak sistematis. Pada satu bagian sangat terperinci dengan berbagai hal-hal yang sangat spesifik, sementara di bagian lain sangat umum dan mengambang. Tulisan tidak memiliki tingkat kerincian yang merata.
Hal ini yang menurut saya membuat copy-paste dapat menjadi musuh berpikir. Menjadi cara instan untuk mendapat nilai. Cara cepat menyelesaikan tugas. Berbahaya karena mematikan kebiasaan untuk melakukan analisis dan menulis. Alias menggerus kreativitas.
Lalu bagaimana menyikapi copy-paste ini? Permasalahan pada copy-paste adalah mahasiswa kehilangan kesempatan belajar dari proses menulis. Tugas yang harus ditulis tangan juga bukan berarti luput dari risiko kecurangan. Mahasiswa tetap bisa saling sekedar menyalin tugas. Tetapi paling tidak dalam menyalin dengan tulisan tangan, mahasiswa harus membaca dan menulis kembali. Proses membaca dan menulis kembali juga merupakan proses belajar. Paling tidak mahasiswa mengetahui apa yang ditulis, mudah-mudahan ada sedikit yang nyantol. Namun demikian, bukan berarti cara menulis tangan selalu lebih baik daripada menulis di komputer. Pada proses perkuliahan, mahasiswa diharapkan lebih dari sekedar mengetahui, tetapi juga mampu mengonstruksi argumen dan menganalisis.
Kreativitas dan peningkatan intelektualitas baru dapat terjadi ketika yang bersangkutan memiliki kemauan untuk mendapatkan kemampuan ataupun pengetahuan yang dipelajarinya. Seseorang yang sangat ingin belajar sesuatu justru tidak akan ingin melakukan copy-paste, walaupun di depannya sudah tersedia komputer tercanggih dengan sambungan internet tercepat. Kalaupun melakukan copy-paste, ia tidak akan melewatkan informasi sedikitpun untuk dipelajari. Copy-paste hanya akan digunakan sebagai alat dukung teknis. Bukan untuk mengkhianati hal-hal substantif. Jika sudah ada motivasi yang baik, maka copy-paste justru akan mempermudah kuliah. Sama halnya dengan tugas yang harus ditulis tangan, seseorang yang ingin belajar sesuatu dari tugas tersebut tentunya tidak akan mau sekedar menyalin tugas dari temannya.
Saya juga tidak yakin bahwa MS Word versi yang akan datang akan menghilangkan fitur copy-paste. Itu mirip dengan menghilangkan klakson pada mobil. Jangan-jangan musuh berpikir sesungguhnya bukanlah di copy-paste, tetapi justru pada proses pendidikan itu sendiri. Proses pendidikan harus menjadi suatu proses yang membangun kebutuhan dan kemauan belajar. Belajar dalam arti untuk menguasai suatu ilmu pengetahuan tertentu, bukan kebutuhan atau keinginan untuk sekedar lulus. Copy-paste dapat menjadi sahabat, yaitu sebatas sahabat teknis.
Proses pendidikan (bukan hanya di pendidikan formal) seyogyanya membangun nuansa kebutuhan belajar. Manusia dapat melakukan apapun untuk memenuhi kebutuhan, termasuk menghargai kemampuan kreativitasnya dan memanfaatkan fasilitas copy-paste secara bijak. Cara menggunakan copy-paste mencerminkan apakah seseorang mau jadi handal di bidangnya, atau mau jadi sekedar pemburu nilai-nilai hampa. Perhatian dan evaluasi pada proses pendidikan merupakan cara efektif agar fitur copy-paste tidak menjadi musuh intelektualitas, sebaliknya, dapat menjadi sahabat dalam berkarya.
@siradj
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H