Mungkin Anda sudah mendengar atau membaca kabar nafsu Mendikbud berguru pendidikan ke Finlandia. Sebab, Finlandia dianggap pendidikan nomor satu dunia? Sedangkan, Indonesia belum menjadi top ranking 100 dunia. Maka dari itu, mereka merasa perlu berguru atau mengirim guru ke Finlandia.
Agak ganjil memang. Saat negera lain serius menangani pendidikan nasional di negara mereka. Rupanya, kita masih mencari guru ke sana ke mari? Janganlah yang sudah sekaliber menteri masih berguru lagi. Ya. Kalau memang tak mampu mundur saja. Minimal, akuilah tak kuat menangani pendidikan Indonesia kita ini.
Saat Uni Soviet meluncurkan Sputnik ruang angkasa tahun 1957. Amerika Serikat segera mengumpulkan para ilmuwan dan pakar AS merombak kurikulum pendidikan AS sebagai reaksi atas Sputnik Uni Soviet dianggap lebih unggul daripada AS. Tapi, apakah AS berguru ke Uni Soviet? Mustahil Mas, karena kedua negara merupakan musuh bebuyutan. Pihak AS cukup mengandalkan ilmuwannya guna menandingi Uni Soviet.
Kita terbalik. Bolak-balik. Untuk tidak mengatakannya agak mengemis ke luar negeri. Tak hanya menyangkut ekonomi dan politik. Tapi, rupanya ihwal pendidikan. Yang dari situlah kita berkoar-koar mendidik generasi bangsa Indonesia yang berbudaya nasional serta maju dalam ilmu pengetahuan.
Seakan masalah pendidikan kita berada di luar negeri. Lalu, kita mencari cara-cara agar keluar negeri. Misalnya, memberi beasiswa, mengirim guru, magang, dan setidaknya studi bandinglah. Para guru produk luar negeri itu, selama di luar negeri dengan perasaan inlander. Sepulang ke Indonesia menyuguhkan kultur luar negeri termasuk dalam pendidikan secara membuta dan mentuli alias taklid buta. Maka, dengan kepedean atau kepercayaan diri mereka guru produk luar negeri yang berbaur dengan pamer, riya, sumah, ujub, dan sombong- memamerkan hal-hal yang mereka dapati di luar negeri agar ditelan bulat guru dalam negeri.
Padahal, masalah pendidikan kita bukanlah di luar negeri, melainkan ada pada diri kita sendiri. Di negara kita sendiri. Seharusnya, kita semualah yang bertanggung jawab dan bertindak menangani ini. Bukan lagi harus bertamasya ke Finlandia. Ahai!
Seperti Anda lihat pada gambar dalam tulisan ini, anak SD bergelantung tali menuju atau pulang sekolah. Obatnya, bukan piknik ke Finlandia. Tapi, cukup dengan membangun jembatan yang standar, sesuai dengan aturan tanpa dikorupsi lagi.
Seperti kita lari dari masalah. Dalam menangani pendidikan dalam negeri. Biar dianggap aduhai kita pun pura-pura serius dengan berseliweran ke luar negeri, seperti berguru ke Finlandia?
Saya teringat berita dalam satu kunjungan Mendikbud, M Nuh ke satu SD di Surabaya. Seorang murid SD bersepatu sobek. M Nuh menegur, kenapa sepatumu sobek? Dengan polos si anak hanya bisa tersenyum. Lalu, M Nuh menimpali dengan petuah, "tak apa-apa yang penting semangat sekolah." Tengoklah, di hadapan Mendikbud, sepatu anak SD bolong hanya sebatas nasihat kata-kata. Padahal, seharusnya, diberi sepatu baru kepada anak. Bukan lagi, petuah dan ceramah-ceramah.
Cuma, begitulah kita menangani pendidikan nasional. Kebanyakan petuah, perintah, dan obrolan saja. Bahkan studi banding ke Finlandia yang tak akan banyak manfaatnya. Daripada itu semua, alangkah lebih baik segera saja kita bertindak menangani pendidikan nasional, tanpa banyak basa-basi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H