Psikoanalisis Politik Uang
Kita mendengar kalkulasi biaya menjadi calon legislatif(caleg) DPR Kabupaten/Kota berkisar 300-500 juta rupiah, Caleg Provinsi, 600 juta–1 miliar, dan caleg pusat 1 miliar–6 miliar. Begitu juga perkiraan, kalau ingin menjadi calon gubernur, walikota, atau bupati harus menyiapkan uang bermiliaran. Padahal, gaji pejabat selama menjabat tak sebanding dengan modal kampanye. Maka, korupsi menjadi kedok untuk balik modal.
Sampai September 2013 rincian pejabat koruptor sebagaimana diberitakan aktual.com. Bahwa jumlah pejabat pada level pimpinan daerah yang bermasalah dengan hukum mencapai 304 pejabat. Mereka terdiri atas 21 gubernur, 7 wakil gubernur, 156 bupati, 46 wakil bupati, 41 wali kota, dan 20 wakil wali kota.
Begitu pun, para pejabat tidak malu dan KaPoK pada KPK? Jadi, untuk apa sebenarnya mereka bertaruh menjadi caleg atau pejabat publik? Untuk apa mereka memubazirkan harta atau menumpuk harta dengan jalan korupsi? Apa motif menjadi politisi?
Untuk menemukan jawaban pertanyaan itu, psikoanalisis yang merujuk pada pemikiran Sigmund Freud (1856-1939) dapat diajukan. Pasalnya, psikoanalisis Freudian merupakan sistem dinamis yang mencari akar tingkah laku manusia di dalam motivasi dan konflik yang tidak disadari. Titik awalnya, bertolak pada konsep libido yang secara asasi dirumuskan sebagai energi seksual. (J.P. Chaplin, 1981: 394).
Beberapa politisi, pejabat, dan termasuk makelar kasus tersandung dengan kasus perselingkuhan. Malahan, terendus kabar bahwa seksualitas sebagai gratifikasi (tumbal) korupsi, plus uang?
Jika demikian, ramalan Freud sakti, semua peradaban, termasuk moralitas, sains, dan perkembangan teknologi semata-mata dorongan seksualitas dan agresi. Kesimpulan Freud ini memang ganjil. Seakan Freud meniadakan semua niat tulus atau ikhlas seraya mengiyakan motif busuk, yakni motif seksualitas semata.
Simpulan Freud itu memang sangat berbau seksualitas dan karenanya juga Freud banyak dikritik ahli. Terlepas dari itu, siapa tahu psikoanalisis Freudian berguna membongkar motif politisi busuk? Pasalnya, kita hampir tak percaya lagi pada politisi karena mereka sering ingkar janji kampanye. Di sinilah kadang perlunya sikap buruk sangka untuk ketelitian, sebagaimana anjuran Ibn Hazam dari Andalusia, 994 -1064.
Kepribadian & Uang
Sigmund Freud merumuskan kepribadian menjadi tiga sistem: Id, Ego, dan Superego. Jika, Id merupakan subjektif yang primer, kehidupan asli sebelum dunia luar–bekerja pada prinsip kenikmatan atau kesenangan (pleasure principle). Maka, Ego adalah pelaksana kepribadian yang mengontrol dan memerintah Id dan superego dan memelihara hubungan dengan dunia luar. Prinsip Ego, kenyataan (reality principle). Ego menangguhkan Id, sampai benda nyata yang memuaskan keperluan itu ditemukan atau dihasilkan. Di sinilah muncul alat pertahanan ego, seperti represi (menekan pengalaman), proyeksi (mensifatkan atau melemparkan sifat dan sikap sendiri pada orang lain), dan reaksi (menanggapi).
Lalu, Super-ego sebagai cabang moral, nurani, atau keadilan. Super-ego lebih mewakili alam ideal daripada alam nyata. Super-ego inilah yang menghukum ego. Ringkasnya, jika Id dianggap sebagai hasil evolusi rohaniah, pembawaan biologis. Lalu, ego sebagai hasil tindakan timbal-balik dengan kenyataan objektif lingkungan, maka superego sebagai tukang sosialisasi sesuai dengan adat kebudayaan. (Calvin S Hall, 1954: 28-45).
Dalam pada itu, Linda Barbanel, pakar psikoterapis di kota New York Amerika Serikat sekaligus penganut psikologi Freudian mengemukakan sikap seseorang terhadap uang mempengaruhi pemikiran dan kepribadiannya. Misalnya, anak yang dibesarkan dalam keluarga yang serba kesulitan akan mempengaruhi sikap anak bahwa uang sukar diperoleh. Kondisi politik yang labil turut memperburuk citra uang sulit didapat, sepertisaat perang dan krisis ekonomi. Bahkan, masalah jender atau jenis kelamin mempengaruhi cara pandang seseorang terhadap uang.
Politisi Penimbun Harta
Sebagian politisi lantang bersuara, hapuskan politik uang (money politics)! Tapi, barangkali motifnya tidak murni. Bisa saja, politisi pencari harta itu karena sangat kikir alias tak memiliki uang (modal). Psikoanalisis Freudian menunjukkan politisi bakhil sering berasal dari keluarga yang serba kekurangan. Sewaktu kecilnya tak memperoleh harta yang cukup. Maka, masa dewasanya jadilah ia bertipe kikir walaupun sudah memiliki banyak uang.
Politisi bakhil merepresi, menahan atau menumpuk harta guna menalangi kecemasan di masa datang. Atau kecemasan neurotiknya kambuh, mengingat masa lalu yang suram, bersama orangtua yang tak ber-mal. Satu-satunya mencegah itu dengan menjadi politisi yang sangat bakhil. Sekaligus menimbun harta, termasuk uang hasil korupsi. Hanya, para bankir yang beruntung dengan politisi pelit karena ia akan menyimpan uangnya di Bank. Sedangkan keluarga, istri/suami, anak, teman, sahabat, dan termasuk rekan separtainya sangat menderita akibat kekikiran politisi bakhil ini.
Politisi Pencari Cinta
Jika politisi kikir berasal dari keluarga melarat, politisi pembeli cinta dapat berasal dari keluarga ekonomi mapan/elite, tapi secara emosional kurang memperoleh kasih sayang dan perhatian yang cukup di masa kecilnya.
Masa kecil politisi pembeli cinta dibesarkan dengan tumpukan mainan, boneka, perhiasan, barang elektronik lainnya, dan termasuk uang yang melimpah. Namun, hubungan dan ikatan emosional terasa semu alias tidak terjalin dengan baik.
Maka, ketika dewasa dan menjadi politisi, ia dapat menjadi tipe politisi pembeli cinta. Misalnya, politisi ini akan berlagak parlente dan gemar memberikan hadiah mewah kepada orang yang disukainya. Tujuannya, untuk menjalin hubungan kasih. Jika pria, Ahmad Fathanah dapat dikatakan contohnya. Bila politisinya wanita, ia gemar berbelanja impulsif, dorongan belanja yang tidak terkendali.
Jadi, politisi pembeli cinta cenderung koruptor karena sikap royalnya untuk membeli cinta pada orang yang dikasihinya, termasuk dengan jalan haram. Politisi pembeli cinta menukar kualitas hubungan emosional sejati dengan takaran uang, hadiah atau benda material sebagaimana diperolehnya sewaktu kecil.
Politisi Pencari Kuasa
Politisi pencari kekuasaan merupakan orang yang sering dimanipulasi dengan uang atau didominasi oleh orang tua atau orang sekitarnya, pada masa kecilnya.
Tipe politisi pencari kekuasaan, semasa kecilnya dididik dan dikendalikan lewat uang. Malahan, persaingan penghasilan tentang uang antaranggota keluarga mengemuka dan menjadi debat sehari-hari yang saling menyudutkan. Utamanya, besar-kecilnya gaji ayah atau ibu. Apalagi, jika mereka yang berkuasa (mendominasi) di rumah merupakan orang paling besar gajinya.
Jadi, anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga ketika uang jadi alat manipulasi akan bertumbuh dan berkembang menjadi politisi pencari kekuasaan untuk mengendalikan orang lain. Bagi politisi model ini, uang hanyalah alat menindas dan mendominasi orang lain sesuai dengan keinginannya.
Politisi Pencari Bebas
Politisi pencari kebebasan bukan setipe pencari harta, cinta, dan kekuasaan. Melainkan, keinginannya bebas, sebebas-bebasnya. Baginya, uang dicari untuk dihabiskan, dihamburkan, dan difoya-foyakan. Politisi ini menjadikan uang sebagai alat pelarian sementara bahkan permanen, seperti main judi, minuman keras, narkoba, dan ke tempat pelacuran.
Baginya, uang tak perlu dimanajemen dengan baik, karena uang itu hasil kerjanya dan boleh digunakan sesuka hatinya. Pada akhirnya, politisi pencari kebebasan rentan menjadi politisi melarat, suulkhatimah.
Penutup
Satu saja tipe politisi di atas melekat dalam diri politisi, kita yang turut menjoblosnya sudah merugi. Apalagi jika dalam diri politisi itu, empat tipe bercampur sekaligus. Kita lebih tertipu lagi. Oleh karena itu, psikoanalisis Freudian dapat menjadi pisau analisis sebelum memilih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H