Mereka yang berbicara dan berceramah tentang pendidikan nasional, kadang tak paham musabab amburadulnya sistem pendidikan nasional. Kecuali, mereka semata menyalah-nyalahkan guru. Anda guru sudah disertifikasi dengan gaji selipat, mana kinerjamu? Tunjukkan? Kalau tidak kami akan putus dan cabut tunjangan kalian guru yang tak kualitas, hei jawab? Jangan, bungkam. Dasar?
Aku tidak terlalu “sopan” ingin segera berantam dengan mereka yang menyelisik seluruh masalah pendidikan mutlak pada guru. Aku pikir, mereka yang lulusan mana pun "dalam negeri" atau “luar negeri” atau yang bertitel “Dr” hingga Profesor. Kalau mereka hanya mampu menatap musabab masalah pendidikan semata salah guru. Itu pandangan yang agak picik dan bahkan naif. Karena pendidikan bersifat menyeluruh dan kompleks. Maka, mohon jangan hanya tatap persoalan guru, tapi juga aspek lainnya yang melingkupi pendidikan.
Besok, tanggal 25 November 2016. Biasanya, diperingati sebagai Hari Guru Nasional (HGN). Nanti, akan ada yang pidato, kita menghargai dan menghormati guru serta memerhatikan nasib guru secara terhormat. Begitulah di pidato? Tapi, di lapangan praktis, banyak guru dengan gaji “rendahan” bahkan tanpa upah kurang dihormati oleh masyarakat kita, bahkan oleh para siswanya.
Konon, profesi guru dianggap problematik tidak saja di negera berkembang, bahkan di negara maju. Profesi guru bukanlah pekerjaan yang prestisius dibanding dokter, ahli hukum, polisi, wartawan, bahkan apalagi bukan tandingan politisi. Malahan, dalam satu film Amerika yang pernah kutonton, seorang ayah membatalkan perkawinan putrinya, hanya karena pria calon putrinya berprofesi sebagai guru.
S. Nasutionpernah dalam bukunya, “Sosiologi Pendidikan.” Berkomentar sebuah foto banyak orang dengan berbagai profesi, di antaranya ada guru, diperlihatkan kepada siswa. Apakah para siswa tahu yang mana foto guru di antara kerumunan foto orang banyak itu. Para siswa dengan tepat menebak foto guru. Pasalnya, cara berpose dan berpakaian guru umumnya konservatif. Pakaiannya, itu-itu saja?
Begitulah, stigma negatif guru, cara berpakaiannya saja dikenali sebagian orang . Masalahnya, bukan karena rasa hormatnya, melainkan karena “kelas” sosialnya yang dianggap agak “rendahan?”
Orang lain akan berkata kepada Anda guru: o guru, dengan huruf kecil. Bukan misalnya, Wah Guru! Dengan perasaan takjub dan bangga. Parahnya, kita sebagai guru pun, sebagian kadang terlalu “sopan” ketika berhadapan dengan profesi lain, pegawai kantoran misalnya. Oknum kantoran ada yang beranggapan, kasta mereka yang mewadahi guru di atas guru. Wahai o guru! Jadi, mari ubah o guru menjadi, WAH,WAH, WAH! GURU, dengan suara lantang seperti suara petir!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H