Guru In-Kompeten Hasilkan Siswa Kompeten?
Kita menafsiri pendidikan nasional secara ganda: Satu sisi kita meragukan kompetensi guru (in-kompetensi guru) dalam mengajar, tapi pada sisi lainnya kita menerima kelulusan siswa dalam UN 100% -seolah siswa sudah kompeten. Padahal, logika akal sehat mengajarkan pada kita; Jika benar para guru in-kompeten (tidak kompeten) tentunya menghasilkan siswa yang tidak kompeten pula. Tapi, kita hanya menerima kenyataan banyak guru tidak profesional sedangkan siswa secara tutup mata kita percaya sudah kompeten, karena kita tidak ingin melihat kenyataan yang sebenarnya.
Guru sebagai tumbal masalah pendidikan, tidak hanya persepsi nasional, tapi menjadi isu paling krusial untuk menangani pendidikan. Itulah satu alas an, mengapa kembali beberapa guru yang sudah sarjana pendidikan lengkap dengan akta IV mengajar masih harus dikandangkan lagi di lokasi Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG). Namun, selepas dan lulus dari PLPG, para guru beroleh sertifikat profesional tanda kompetensi. Masih dituding belum profesional. Pasalnya, kata mereka bahwa guru yang sudah sertifikasi sama dengan guru yang belum sertifikasi. Maka, Uji Kompetensi Guru (UKG) dilakukan, ternyata hasilnya guru profesional yang mengikuti UKG beroleh nilai rendah. Aib guru seakan ditelanjangi oleh pejabat pusat.
Namun, saat PLPG pun beragam anekdot sinis yang dialamatkan ke guru, salah satunya singkatan PLPG diplesetkan menjadi Pergi Langsing Pulang Gemuk (PLPG). Para guru yang dating ke PLPG dulunya langsing, kurus, tapi saat mau pulang bertambah gemuk. Artinya, mereka ahli Diklat hendak mengatakan bahwa kita guru di lokasi PLPG tidak bertambah kompetensinya, kecuali berat badan kita naik. Syukurlah kita tidak naik pitam. Padahal, beberapa rekan guru di lokasi PLPG sempat sakit ringan. Malahan di PLPG, sebelum giliran peer teaching (mengajar sesame teman, praktik mengajar) ke depan kelas, beberapa rekan guru harus ke toilet. Mungkin, saking cemasnya berdiri mengajar di depan rekan guru. Bagi tutor PLPG hal itu menjadi guyonan sinis. Padahal, kalau kita berpandangan dari sisi guru yang stres ringan itu, mestinya kita lebih berempati.
Jadi, kalau kita meyakini fakta banyak guru in-kompeten, seharusnya kita lebih mempertanyakan kelulusan UN yang 100%. Di sinilah kita harus siap buka-bukaan apa yang terjadi dengan kelulusan siswa 100%. Bahkan, kalau kita terjun ke sekolah, kita akan mudah menemukan apa sesungguhnya di balik lulus 100% dan menyadari problema utama pendidikan kita. Jangan hanya menuding guru tidak kompeten, tapi pada saat yang sama menerima hasil didikan yang tak kompeten itu menjadi lulus 100%. Ini, sesuatu yang agak musykil diterima akal sehat. Untuk tidak menyebutnya, mustahil. Pasti ada yang tidak beres dengan pendidikan nasional kita. Namun, jika kita merasa cukup menuding guru biangnya, maka beginilah hasil pendidikan kita, banyak rekayasa?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H