Peristiwa pembunuhan yang terjadi di SMA Taruna Nusantara membuat kita kaget, sok, duka, cemas, dan prihatin.
Apalagi, beberapa orang yang berkomentar itu, mereka yang belum pernah sekolah berasrama atau berpondok pesantren. Sebaliknya, sebagian kawan alumni asrama (boarding) dan pondok bungkam. Tak memberi penjelasan seluk-beluk berasrama dan berpondok.
Sebagai sarana berbagi di sini. Saya tak banyak tahu tentang sekolah asrama. Apalagi sekaliber SMA Taruna Nusantara. Cuma, saya tahu banyak seluk beluk berpondok pesantren. Karena saya berpondok. Dengan ukuran pondok 2x2meter selama 6 tahun. Dari MTs/sederajat SMP hingga Madrasah Aliyah (MA/sederajat SMA). Di kompeleks pondok pesantren, berdirilah kurang lebih 300-500-ratusan pondok 2x2 tadi. Berjejer. Berbaris. Berbanjar. Pondok-pondok itu dihuni ratusan santri dengan latar belakang suku, marga, asal, dan daerah berbeda. Idealnya, kami diutamakan satu pondok satu santri. Layaknya, kamar hotel (pondok). Sepondok, maksimal 3 orang. 4 orang atau lebih terlarang sepondok karena dikhawatirkan berbincang-bincang saja. Tanpa belajar lagi.Â
Umumnya Pondok Pesantren dan sekolah berasrama memiliki kompleks tersendiri, dengan lahan milik Kiai atau yayasan yang memungkinkan mendirikan bangunan pondok. Tempat pondok kami waktu tersendiri, agak jauh dari perumahan kiai pesantren. Satu hingga lima guru pria yang melajang, berpondok bersama para santri. Dengan ukuran pondok yang sama, 2x2m.Â
Salah satu yang paling kuingat, kalau ke pasar atau mau pulang kampung mesti memakai kain sarungan. Artinya, para santri yang ke pekan (pasar) wajib memakai kain sarungan, lengkap dengan lobe di kepala. Siapa yang kedapatan melanggar, petugas pondok pesantren dapat menegur atau bahkan menggundol si santri.
Ada banyak sekali hal yang sangat positif di pesantren. Kalau saya boleh menegaskan jauh lebih banyak nilai positif pendidikan yang kuperoleh selama 6 di pondok pesantren. Tentu saja, karena pondok pesantren seperti tempat hunian warga masyarakat bermukim. Jelas, ada tabiat buruk terjadi. Ya. Sebagai manusia. Tetaplah, manusia dengan segala potensi baik dan tabiat buruknya.
Untuk itu, izinkan saya sedikit menyampaikan 4 hal yang buruk tapi bisa bahkan biasa terjadi di pondok pesantren dan saya kira sekolah berasrama pun tak jauh bedanya. Empat hal yang saya maksudkan itu, sebagai berikut:
Pertama, rasa senioritas yang tinggi. Saya murid baru di pesantren. Sopan-santun terhadap senior saya ditekankan. Suatu kali, seorang santri yang tampak perawakannya jauh lebih kecil dari saya, saya tanya kapan kami mulai masuk sekolah. Ia pun mempelototi saya dan menegur saya agar bicara lebih sopan. Agar saya bertutur, "Abang!" Abang, kapan kita masuk? Bayangkan, hanya karena kukira ia sekelasku, ia kontan menegurku.
Pada kali yang lain, pada jam belajar sehabis Isya sampai jam 22.00 Wib. Aku mencari sesuatu yang jatuh di bawah pondokku. Tiba, senior kelas bertanya, kenapa tidak belajar? Aku jawab, ada kehilangan sesuatu. Itu pun, karena aku lupa bilang: Abang. Ia menempelengku.Â
Apalagi ketika waktu Subuh, senior kelas membangunkan para santri agar shalat Subuh. Tiang-tiang pondok, kadang mereka gebuki sekuat mereka. Memang, tak semua senior, ada satu atau dua orang yang merasa centeng. Tapi, itu pun sepertinya sudah ditandai mereka pada junior kelas. Sesama senior mereka bersikap hormat.