Apakah guru Indonesia masih bisa ngarang? Jangankan ngarang, guru garang saja sudah mulai langka di Indonesia? Aku bilang, banyak guru sudah tak lagi memiliki syahwat ngarang dan garang? Pasalnya, dalam berbagai pertemuan yang kunjung kuikuti. Dari Diklat, workshop, pelatihan, penataran, MGMP, seminar, diskusi, rapat di kantor sekolah, meja piket, dan hingga kantin sekolah yang paling ringan.
Banyak nada miring yang beralamat ke guru. Namun, banyak guru membisu saja. Di depan siswa, sebagian guru bertensi tinggi. Sebaliknya, di hadapan pejabat negeri tensi guru serataf ICU. Seperti kepada oknum struktural kependidikan, instruktur guru, dan widyaiswara yang merasa kasta mereka di atas kelas guru–menistakan guru bersertifikat profesional tak mutu. Tanpa pembelaan. Apalagi, perlawanan.
Padahal, mereka yang ngomong di hadapan para guru itu. Bukan lagi pelaku pendidikan praktis. Kecuali, penatar guru yang merasa paling tahu secara teoretis. Itu pun, kalau terus didebat, ia mengeluarkan jurus istimidasi: mutasikan si guru pemberontak itu ke daerah terpencil!
Aku berharap, para guru yang lebih emosional dan konfrontatif muncul di hadapan pejabat struktural kependidikan, widyaiswara pendidikan, dan penatar guru lainnya. Sebab, beberapa di antaranya, seperti saya katakan tadi sangat merasa percaya diri yang berbaur sombong-merasa paling mampu menangani pendidikan di sekolah. Kalian jangan ceramah saja! Pembelajaran kini berpusat siswa! Menyenangkan! Ikuti perkembangan informasi, IT! Gunakan media! Berpowerpoint! Pakai metode bervariasi! Selingi denga game! Evaluasi dari proses hingga akhir! Bentuk karakter anak didik!
Perintah, perintah atasan demikian. Apa tak membuat kalian naik pitam?
Wow! Kalau ketemu oknum struktural kependidikan atau widyaiswara pendidikan, penatar guru, atau pengawas guru, atau bahkan kepala sekolah yang berlagak demikian. Biasanya, aku konfrontasi secara emosional. Aku biasanya, menyungsang balik pendapatnya. Ibarat pedang, senjata makan tuan.
Dia pikir. Atau kamu pikir persoalan pendidikan semata pada guru! Enyahlah you dari hanya memprasangkai buruk para guru secara nasional. Jika Anda centeng mengajar, marilah ke sekolah. Jangan hanya bicara di depan orang dewasa. Bergabunglah, terlibatlah langsung ke kelas. Aku yakin, you akan merasakan betapa kompleksitasnya permasalahan pendidikan nasional. Bukan hanya guru Mas, melainkan melingkupi juga birokratisasi, struktural, sarana-prasarana, manajemen sekolah-kepala sekolah, pengangkatan kepala sekolah yang akal-akalan, dan bahkan bersifat politis.
Apalagi kalau you bercermin dengan teori psikologi-sosiologi modern. Jika dulu dianggap masalah manusia bersifat personal, human-manusianya. Kini, revolusi ilmiah yang sekularistik menjungkir masalah human itu. Lalu, menegaskan persoalan kini, termasuk pendidikan terletak pada sistem. Sistem! Sistem. Om! Sistem om, bukan guru! Tidak guru! La-guru! No, guru!
Paling tidak, prioritas menangani pendidikan nasional bersifat struktural, manajerial, dan kultural. Bukan lagi menuduh guru mutlak sumber biang kerok pendidikan.
Atas asumsi itulah biasanya, saya mengarang marah ihwal pendidikan. Secara lisan dan tulisan saya terbiasa menghadapi oknum struktural kependidikan, widyaiswara, dosen muda instruktur guru, pengawas guru, penatar guru, dan hingga kepala sekolah. Mereka yang agak sepihak mencap gurulah sumber persoalan pendidikan. Biasanya, kukonfrontasikan masalah utama pendidikan pada tukang ngomong itu. Kamu, kau, you, dan anta yang sedang berbicara tentang pendidikan di hadapan para guru secara pamer, riya, sumah, ujub, angkuh, dan sombong.
Biasanya, sehabis saya konfrontasikan begitu, banyak di antaranya tensinya menaik hingga suaranya melemah-dengan buih putih pada sudut dua bibirnya. Anda bayangkan, mereka di antaranya sampai berbuih-buih ngomongnya, mengatai gurulah sumber persoalan semata, pendidikan nasional?