Ini, agak narsis, promosif, dan bahkan provokatif. Saat seorang meresensi buku atau menjual karya atau produknya kepada khalayak ramai, terutama di media sosial semacam ini. Mohon maaf kalau ini salah, kalian dapat menghapus postingan ini dan pembaca berhak melewatkan ini tanpa mengklik atau membacanya, apalagi harus membelinya!
Aku berharap tidak seperti sebagian oknum "salesman" yang baru ditraining ke lapangan praktis, begitu pede berlebihan (percaya diri bercampur kesombongan) mengetuki pintu rumah orang lain.Â
Dor to dor, face to face... Begitu menatap mangsa pembeli langsung bereaksi dengan senjata "omongan" tanpa jeda. Mendekati hipnotis, paling tidak sugesti, yang si salesman baru terus berbicara dengan gestur meyakinkan. Setelah, ditraining secara SMP; sikap mental positif?
Meski begitu, aku berharap dapat sedikit meniru gaya salesman, yang begitu pede menjual produk di mana saja. Dari rumah ke rumah, mengetuk pintu rumah, mengobrolkan jualan ke tangga, ke kedai kopi, ke terminal, ke stasiun, ke loket, bahkan ke dalam bus penumpang.Â
Kalaulah para politisi kita berkampanye ala salesman, seperti Presiden Barack Obama dulu, yang berkampanye atau menyapa secara pribadi, dari perempatan jalan, halte bus, salon, hingga membersihkan selokan serta mengecat rumah kumuh.
Saya sedikit cukup sangsi terhadap kemampuan diri saya dan pendistribusian buku saya ke toko buku. Apakah kiranya, ada pembeli atau pembaca yang tertarik dengan karya saya ini. Meski kemudian, kadang timbul kepedean yang berlebihan, masih berkhayal buku saya menimbulkan kontroversi nasional pendidikan.Â
Apalagi saya menyebut tiga nama Mendikbud di judulnya, dari M Nuh, Anies Baswedan, hingga Muhadjir Effendy. Anies misalnya menjadi Gubernur DKI Jakarta kini, saya menatap kebijakannya lebih negatif dalam pendidikan selama ia menteri pendidikan. Jika, banyak orang menangisi pencopotan Pak Anies dari Mendikbud, saya sendiri justru menilai pencopotannya agak telat.Â
Semasa kampanye Pilpres 2014, Anies dalam mendukung Pak Jokowi-JK, menyebut Pak Prabowo masa lalu, sedangkan Pak Jokowi masa depan. Kini, setelah Anies diusung Partai Gerindra binaan Pak Prabowo dan menjabat Gubernur DKI Jakarta, aku belum dengar komentar Anies: "Pak Jokowi masa lalu, sedangkan Pak Prabowo masa depan?"
Begitulah fleksibilitas politik meranah dunia pendidikan. Jika kita sedikit berlatih serius, janganlah terbuai dengan pidato, sambutan, kata-kata, kalimat, bimbingan, dan motivasi berbagai pihak mengenai pendidikan. Cukup sudah kita terbuai dengan kata-kata berbunga-bunga dan puistis yang menyalah-nyalahkan guru sebagai biang kerok utama masalah pendidikan.
Penulis buku ini, saya, sedikit terkesan menggurui Mendikbud, oknum struktural kependidikan, widyaiswara pendidikan, dosen instruktur guru, tutor, pengawas guru, kepala sekolah, dan siapa saja yang manatarai dan mendiklati guru. Bahwa kata kunci dari penulis buku ini, masalah utama pendidikan bukanlah guru, melainkan bersifat struktural, birokratis, manajerial, bahkan ekonomis dan politis serta suapis? Sehingga independensi guru dicaplok dari tangan guru dan sekolah.