Mohon tunggu...
Abdul Hakim Siregar
Abdul Hakim Siregar Mohon Tunggu... Guru - guru

Guru

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Penulis Itu Banyak yang Tak "Beres"?

17 Maret 2017   16:13 Diperbarui: 18 Maret 2017   02:01 660
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada yang bertanya kepada saya, bagaimana agar ia bisa menulis artikel? Aku jawab agak seloroh, hidupmu terlalu "senang" sehingga Anda sulit mengarang. Jadi, kalau bernafsu menjadi penulis buatlah hidupmu sedikit agak "tak beres." Sedikit agak berantakan begitu. Minimal, Anda sedikit lebih sensitif, mungkin Anda belajar sedikit tentang berkeluh-kesah atau menjadi sedikit agak penggerutu apapun yang terjadi.

Ia agak syok dan kaget atas penjelasan saya. Seraya, ia merangkum berarti penulis itu banyak yang tak beres? Iya...hehe. Termasuk, Anda, selidiknya?Tidak terkecuali. Hahaha. Cuma, ketidakberesan penulis tidak pukul rata. Ada penulis yang penyakitan, bahkan divonis segera meninggal dunia. Kondisi darurat  demikian menjadi awal mengubah paradigma kehidupan salah satunya dengan menulis. Ada banyak kisah penulis demikian.

Penulis lain, selalu bermasalah dengan keungannnya. Alias diterpa kemiskinan dan kemelaratan. Kadang, sepanjang hayat penulis dililit utang. Baru, setelah ia meninggal dunia, karyanya laku laris. Lalu, hak cipta dan royalti karyanya diperebutkan keluarga. Syukur-syukur ada yang berbuat menyumbangkannya jadi amal.Termasuk juga bagian ini, masalah pekerjaan sebagian penulis yang tak kunjungberes.

Masalah lain, ada penulis yang berantakan dalam berkeluarga. Penulis kerap bertengkar dengan pasangannya. Sebuah inspirasi lagi buat menulis novel. Kalau kedua pasangan yang brokenhome, berantam itu sama-sama penulis. Bahan yang cukup emosional menjadi dialog panjang novel atau drama. Bahkan, penerbit bisa berebut naskah dua pasangan penulis yang bercerai itu menjadi novel yang kontroversial. Apalagi, kalau pertengkaran mereka dalam buku versus buku. Balas dendam tulisan buku lawan tulisan buku.

Kalau tidak berantam dengan pasangannya. Mungkin pula dengan orangtua atau mertua penulis. Jika tidak, suadara, tetangga, dan masyarakat di sekitarnya.

Masih mungkin masalah lain penulis dipenjara atau dikurung. Bisa karena memang ia pantas sementara dijeruji besi karena kelakuannya. Atau mungkin agak difitnah karena berbagai alasan, politis misalnya. Di penjara bisa menjadi kamar yang agak inspiratif mengeluarkan ide tulisan.

Yang paling paling sadis, ada penulis yang bunuh diri. Sekadar contoh penulis terkenal yang bunuh diri, seperti Ernest Hemingway, Virginia Woolf,Anne Sexton, Hunter Thompson, dan Yukio Mishima. Bahkan karena banyak penulis demikian yang bunuh diri, ada yang menakut-nakuti para penulis berpotensi bunuh diri?

Mudah-mudahan, para penulis dan calon penulis tak berpikir atau berperasaan mau bunuh diri. Kalau sekadar teralienasi, terasing, dan sedikit agak berkhayal itu–sebatas khayal mungkin masih bisa pemicu kreativitas menulis?

Paling tidak, ketidakberesan penulis dalam menata ruangannya. Anda calon penulis dapat mengamati atau mengobservasi ruangan, kamar, atau bilik para penulis. Sebagai misalnya, dalam blog “Beritagan, berita unik tapi nyata.” Inilah gambaran ruangan beberapa penulis.

Gambar 1 Ruangan Novelis Marion Amis

Sumber: blog Beritagan
Sumber: blog Beritagan
Gambar 2 John Updike

Sumber: blog Beritagan
Sumber: blog Beritagan
Gambar 3 Nigella Lawson

Sumber: blog Beritagan
Sumber: blog Beritagan
Jadi, bagaimana hasrat Anda setelah mengetahui sedikit ketidakberesan sebagian penulis itu? Bisa jadi pembaca budiman atau penulis tidak seberantakan cerita di atas. Ya, Anda penulis yang beruntung bila tanpa derita itu! Perlu saya nyatakan, ketidakberesan beberapa penulis memang bersifat subjektif. Aku berharap nasib kita para penulis atau calon penulis terhindar dari ketidakberesan demikian. Namun, kalau itu memang harus terjadi, tetaplah penulis!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun