(Catatan Reflektif dan Kritik Diri Guru dari Perspektif Dialektika Socrates)
Tema HUT PGRI dan HGN ke-77 tahun 2022 adalah "Guru bangkit, pulihkan Indonesia: Indonesia Kuat, Indonesia Maju." Untuk saya pribadi sebagai guru, tema ini boleh dipahami sekalian sebagai ajakan juga sebagai sebuah introspeksi.Â
Melihat ke dalam diri secara jujur, yang  membawa seorang guru pada pengakuan akan kekurangannya. Tentu, sebagai manusia biasa, seorang guru memiliki beberapa hambatan dalam diri, yang karenanya ajakan untuk bangkit guna memulihkannya menjadi relevan.Â
Ajakan untuk memulihkan diri sendiri dari halangan-halangan yang membuatnya enggan terbuka terhadap perspektif-perspektif baru.
Saya menyebutkan antara lain dua sikap sebagai guru yang perlu dipulihkan yaitu sikap pura-pura tahu semuanya dan tidak mau tahu lagi.Â
Dua sikap ini dalam perpektif dialektika Socrates adalah halangan terbesar untuk menjadi guru yang berkarakter 'murid',- guru pembelajar sepanjang hayat. Menurut Socrates dalam metode dialektikanya, aktivitas belajar-mengajar pertama-tama harus mengantar seseorang untuk secara jujur menerima diri seperti terungkap dalam ungkapan 'saya tahu, bahwa saya tidak tahu.'Â
Pada momen peringatan hari guru ini, ada baiknya kita belajar bersama Socrates untuk menemukan inspirasi baru juga api semangat baru untuk mengabdi bagi generasi penerus bangsa.
Belajar dari Dialektika Socrates
Socrates dilahirkan pada tahun 470 SM di Athena. Ibunya seorang Bidan dan ayahnya seorang pemahat (Kleden, 2002). Metode mengajar Socrates lahir dari adopsi kreatifnya atas profesi ayah dan ibunya. Dalam menjalankan kedua tugas profesi itu, keduanya sangat membutuhkan kesabaran, ketekunan dan ketelitian.Â
Dari ayahnya yang seorang pemahat, Socrates belajar tentang kesabaran dan kehati-hatian. Memahat terlebih dahulu adalah menghancurkan bagian-bagian tertentu sebuah batu, lalu dengan penuh kesabaran dan ketekunan membentuknya kembali sesuai dengan bentuk estetik tertentu yang diinginkan.Â
Itulah kehancuran positif, kehancuran yang membangun. Karenanya, proses pengajaran (dalam konteks filsafat) menurut Socrates adalah seni membongkar, menyangkal atau menyanggah dan menyusun kembali sebuah pendapat sehingga menjadi sebuah gagasan yang bisa diterima. Pembicaraan dan diskusi gagasan dilakukan terus-menerus.Â