Legitimasi Politik berbasis Uang:
Catatan Terhadap Pileg 2014 di NTT
Oleh ;
Sipri Jemalur
(Peneliti dan Peminat Kajian Sosial dan Demokrasi Lokal NTT, Tinggal Labuan Bajo)
“Suara Rakyat adalah Suara Uang”
Pemilihan Umum Legislatif 2014 sudah selesai. Sebagaimana kita saksikan sendiri dan dilansir oleh berbagai media lokal maupun nasional, pelaksanaan pemilu 2014 ditandai oleh berbagai pelanggaran, kecurangan, dan manipulasi dengan berbagai bentuknya. Pelakunya beraneka ragam; mulai dari partai politik, caleg, tim sukses, penyelenggara pemilu bahkan pemilih itu sendiri. Maraknya pelanggaran dan manipulasi ini membawa risiko diantaranya keterlambatan pengumunan hasil rekapitulasi suara, kehilngan dan penambahan suara pada caleg tertentu dan sebagainya. Fakta seperti ini menyingkapkan dengan jelas bahwa pelaksanaan pemilu legislatif di negara kita belum berjalan dengan baik. Jika dibandingkan dengan pemilu 2009, frekuensi dan derajat pelanggarannya bahkan jauh lebih kompleks dan masif.
Uang Muka Hingga Muka Uang
Harus diakui bahwa Uang adalah salah satu kekuatan utama yang menentukan pemilihan umum yang baru digelar hampir dalam semua tingkatan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sebagian besar caleg menggunakan uang dalam rangka memperoleh dukungan politis dari masyarakat. Cara yang ditempuh oleh partai politik dan juga para caleg semakin mengakar ketika kedaulatan dan pilihan masyarakat justru digoyahkan dengan kekuatan uang yang ditawarkan oleh parpol maupun caleg. Boleh jadi, salah satu penyebab munculnya konflik pada TPS tertentu di berbagai daerah dilatabelakangi oleh kekuatan uang. Karena uang, kebenaran bisa disingkirkan, suara pemilih dapat belokkan dan dimanipulasi pada orang lain, karena uang angka dapat diotak-atik dan sebagainya. Dalam keburaman seperti itu, pemilu menghasilakanhampir sebagian besar Caleg dengan kekuatan dan legitimasi uang. Dengan kata lain, legitimasi politik yang diperoleh Anggota Dewan adalah legitimasi uang bukan kedaualatan rakyat! Uang menentukan pilihan, dan pilihan adalah uang.
Pada Juni 2013, pada Harian Victory News, saya menulis sebuah artikel yang memetakan model-model pemilih di Indonesia dan NTT secara khusus. Secara umum, pemilih kita dibedakan ke dalam tiga model uatama yaitu pemilih tradisional, transaksional dan pemilih rasional. Pemilihan tradisional adalah pemilih yang menggunakan pertimbangan sentimen primordial dalam menentukan pilihan. Sentimen itu baik dari segi daerah, suku, agama, ras dan sebagainya. Sedangkan pemilih transaksional adalah pemilih yang memberikan dukungan politis berdasarkan pada besar kecilnya uang yang mereka peroleh. Semakin besar uang yang yang mereka peroleh, maka semakin militan mereka untuk mendukung. Pemilih ketiga adalah pemilih rasional. Pemilih rasional adalah pemilih pemilih yang menentukan pilihan politiknya berdasarkan pada pertimbangan sejauhmana caleg yang diusung parpol itu berkualitas baik dari segi kapasitas intelektul, integritas, dan visi dalam memecahkan persoalan publik dalam suatu daerah atau negara.
Hasil pengamatan dan analisis pasca pemilu legislatif 2014 menunjukkan bahwa pemilih transaksional merupakan pemilih yang paling dominan di NTT, kemudian diikuti oleh pemilih tradisional dan pemilih rasional. Dominannya pemilih transaksional itu dengan mudah diverifikasi secara faktual di berbagai daerah di NTT. Caleg yang membagi-bagikan uang dan menerima uang pada saat menjelang pemilu pasti adalah caleg dan pemilih transaksional dan hampir pasti adalah caleg yang minim kapabilitas. Sedangkan caleg yang berkualitas hampir pasti semuanya merayayp karena tidak menggunakan uang untuk memperoleh dukungan massa. Dengan demikian, hemat saya pemilu 2014 adalah pemilu transaksional konspirasional yang melibatkan caleg dengan pemilih.
Menguatnya Politik uang dan sentimen primordial tentu membawa akibat yang sangat serius pada persoalan masyarakat dan demokrasi ke depan. Pertama, politik uang. Berbagai bentuk politik uang dapat dilakukan dengan berbagai modus baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara tidak langsung misalnya, memberikan bantuan langsung kepada masyarakat tanpa dalam bentuk uang tetapi dalam bentuk barang yang lain, misalnya, beras, pupuk, generator, semen, sing, hewan dan sebagainya. Sedangkan secara langsung, berarti pemberian uang secara tunai kepada pemilih. Gejala ini masih sangat kental di berbagai daerah di NTT. Bahkan, modelnya semakin kompetitif; satu suara dapat dibayar dengan tarif mulai dari 100 ribu hingga lima ratus ribu. Jika diambil secara rata-rata, untuk dapat memperoleh 2000 kursi di suatu dapil, seorang caleg harus merogoh kocek sekitar 500 juta rupiah. Dari contoh ini, kita dapat mengatakan bahwa biaya politik di daerah kita masih sangat tinggi.
Kedua, sentimen primordialisme. Pemilihan Umum di daerah kita juga sesungguhnya adalah politik keluarga, politik primordial. Caleg pada umumnya mengukur besar tidaknya keluarga, besar tidaknya dukungan dari tingkat kampung, dari segi ras dan dari segi agama. Demikian pun pada pemilih. Pemilih akan melihat kedekatan hubungan keluarga, kesamaan daerah/kampung, kesamaan agama dan suku. Sangat jarang orang muslim akan memilih orang katolik atau protestan, atau orang katolik yang memilih orang muslim.
Menguatnya dua fenomena di atas membawa risiko yang sangat besar baik padaparpol, pemilih maupun kemajuan kehidupan masyarakat kita ke depan. Pertama, pada partai politik. Money politik menyebabkan mekanisme dan kaderisasi dalam partai politik di tingkat lokal menjadi mandeg dan stagnat. Hal ini disebabkan karena uang dapat menjadi tolok ukur dalam meksnime dan pertarungan dalam pemilu. Karena itu, setiap kader mau tidak mau dipacu untuk mengumpulkan banyak uang jika mau menjadi anggota DPR. Semakin kader tidak memiliki uang, hampir pasti bahwa kemungkinan utk menjadi anggota DPR sangat tipis. Harapan akan lahirnya pemipin politik yang mumpuni baik secara akademis maupun profesional tentu semakin jauh. Fakta ini menjelaskan bahwa secara internal parpol saja sudah tidak tercerahkan, apalagi mau mencerahkan masyarakat luas yang belum terdidik. Kedua, bagi pemilih. Politik uang membuat masyarakat menjadi pragmatis. Mereka hanya memikirkan apa yang mereka peroleh secara langsung dari setiap proses pemilu dan tidak pernah berpikir apa risiko yang mereka harus tanggung dari uang yang mereka terima. Ketiga, apapun alasannya, politik uang berkorelasi secara positif dengan tingkat kemajuan terutama pembangunan dalam suatu masyarakat. Semakin tinggi tingkat politik dalam pemilu, maka pembagunan dalam daerah tersebut semakin buruk. Penjelasannya sangat sederhana. Uang yang bagikan atau diberikan kepada pemilih pada saat pemilu adalah investasi yang harus dibayar ketiga kekuasaan untuk menjadi legislator itu direngkuh. Karena itu, daerah kita siap untuk tetap terbelakang dan miskin.
Fenomena kedua, adalah menguatnya sentimen primordialsme. Sentimen ini membawa akbiat serius terutama pada dua hal. Pertama, sentimen primordial akan membuka peluang terjadinya ketegangan dan konflik horinsontal dalam masyarakat.. sentimen suku memungkinkan terjadinya konflik antar suku, antar daerah, antar keluarga bahkan antar agama. Hemat saya, menguatnya sentimen primordial ini adalah gejala yang secara gamblang menujukaakn ketidakcerahan politik dalam masyarakat kita.
Teka-teki ke depan?
Dalam waktu yang tidak lama lagi, daerah kita baik di tingkat daerah kabupaten maupun propinsi akan segera memiliki anggota DPR untuk periode 2014-2019. DPR itu adalah hasil pilihan kita 9 April lalu. Dengan melihat realitas pelaksanan pemilu kemarin yang ditandai oleh menguatnya politik uang dan sentimen primordial, maka ada beberapa risiko yang harus ditanggung secara kolektif ke depan
Pertama, hampir pasti bahwa semua caleg yang duduk di kursi DPR yang menggunakan uang pada pemilu akan berjuang sekuat tenaga untuk mengembalikan biaya politik yang telah mereka keluarkan. Satu-satunya cara yang dipakai adalah dengan menggunakan kekuasaan yang mereka miliki sebagai anggota DPR. Salah satu pintu masuknya adalah fungsi atau peran mereka di budgeting. Fungsi ini sangat sentral karena tanpa persetujuan mereka, anggaran satu tahun dalam suatu daerah tidak bisa digunakan. Pada titik ini, pintu untuk melakukan tawar menawar share profit terbuka secara lebar.
Kedua, tanpa dipungkiri bahwa sebagian besar anggota DPR daerah adalah kontraktor dan calo proyek. Karena itu, proyek-proyek yang ada dalam setiap SKPD kemungkinan selalu mendapatkan cipratan untuk mereka. Bila demikian, maka pasti kualitas program dan proyek yang dijalankan oleh masing-masing SKPD kurang atau bahkan tidak berkualitas karena sebagian besar anggarannya sudah diberikan kepada mereka.
Ketiga, peran legislasi dan kontrol terhadap pemerintah dipastikan tidak berjalan dengan efektif karena pengntrol sendiri sudah terlibat kongsi dengan yang dikontrol.
Catatan ini barangkali terlalu tendesius dan sangat buram. Tetapi hemat saya, perjalanan daerah kita masing-masing lima tahun ke depan sangat ditentukan oleh iklim politik dalam daerah kita masing-masing. Semakin lembaga DPR dikuasai oleh orang yang dilegitimasi dengan uang dan sentimen primordial maka kualitas kebijakan dan pembangunan daerah kita pun pasti semakin buruk dan penuh ketimpangan. Pada titik inilah, kiranya benar bahwa “Pemilu itu adalah pembuat pilu”. Selamat Berpilu!
(Victory News, 25 April 2014)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H