Mohon tunggu...
Hafiz Piliang
Hafiz Piliang Mohon Tunggu... profesional -

bekerja di bidang politik. suka menulis. sering bergerak tiba-tiba. twitter @sipiliang

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jika SBY itu Sinetron, maka Jokowi adalah?

6 Februari 2014   16:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:05 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1391680165381024724

[caption id="attachment_320929" align="aligncenter" width="300" caption="Jokowi dan SBY (sumber : JPNN.com)"][/caption]

JIKA SBY ADALAH SINETRON, MAKA JOKOWI ADALAH …

Percaya atau tidak, kepemimpinan politik di Indonesia memang dapat dibaca dari selera masyarakat terhadap tontonan hiburan di televisi. Saya tidak akan mengkaitkan ini dengan tema berat seperti kondisi sosiologi dan psikologis masyarakat terhadap perilaku memilih, tapi mari kita sejenak bahwa ada benarnya, kalau pemimpin kita akhir-akhir ini adalah seniman/artis. Kalau bukan Sinetron, ya Lenong, dan sekarang yang tengah hits-nya Joget sampai tengah malam.

Mungkin tak ada pemimpin Indonesia yang lebih mewakili tipikal Sinetron selain Presiden kita tercinta sekarang, DR. H. Soesilo Bambang Yudhoyono. Dari awal kemunculan Pak Presiden, sekitar tahun 2003, kita sudah disuguhi drama-drama yang tak jarang menguras air mata khususnya ibu-ibu. Tentu kita tidak lupa drama bagaimana Pak SBY merasa dirinya sebagai Menkopolkam waktu itu merasa dizalimi oleh Presiden Megawati. Keluar secara dramatis dari Kabinet dan akhirnya bergabung dengan partai kecil yang mampu memenangkan kursi kepresidenan buat beliau. Bahkan memenangi Pemilu 6 tahun kemudian.

Fase drama ini bertahan cukup lama,  karena sinetron memang cukup lama Berjaya. Jika Cinta Fitri Saja bisa sampai season 6, maka tidak akan sulit bagi Sinetron Pak SBY untuk masuk ke season kedua pada tahun 2009. Dan dalam fase itu, masyarakat memang disuguhi drama-drama. Mulai dari pembentukkan dan beberapa kali reshuffle kabinet, curhatan presiden tentang teroris (Teroris menggunakan gambar pak SBY sebagai sasaran tembak latihan), difitnah ini itu, punya istri pertama sebelum Bu Ani, Curhatan gaji kecil, sampai dengan drama Century di DPR. Bahkan setiap kenaikan dan penurunan BBM dipenuhi intrik dan keraguan yang dibumbui oleh cerita-cerita tak kalah seru

Semua drama ini menguras emosi. Seperti penonton sinetron, kita menantikan episode-episode selanjutnya. Seperti kasus cicak dan buaya misalnya yang sebagian besar disebabkan oleh ketidakpastian sistem yang dibentuk pemimpin akhirnya ada episode 2 nya. Tapi ibarat sinetron pula, tidak ada masalah yang benar-benar selesai. Konflik naik turun, jagoan ganti berganti, ketika ending pun selalu nanggung.

Akhir tahun 2011 sampai awal tahun 2012, sekitar 2 tahun semenjak dimulainya kepemimpinan sinetron season 2,  masyarakat mulai jenuh. Di televisi, rating sinetron meski tetap bertahan mulai diimbangi oleh acara hiburan baru. Namanya Lenong. Acara bersifat Lenong di televisi ini seperti opera-opera yang mulai memenuhi jam primetime Televisi.  Sebut nama, seperti Opera Van Java.

Prinsipnya Lenong dan Sinetron tetap sama, sama-sama hiburan. Saya tidak mengatakan ini sama-sama kepura-puraan, namun yang paling berbeda disini adalah efek yang ditimbulkan kepada penonton. Jika sinetron akan menghasilkan drama yang menguras emosi, air mata, dan simpati, maka Lenong akan menghadirkan gelak tawa. Dan aktornya pun cenderung bebas dan berimprovisasi, tidak seperti sinetron yang terukur kata-katanya. Kondisi di Lenong dapat berubah sesuai dengan situasi baru, dan sang actor mempunyai jarak yang dekat ke penonton,  bebas bicara ke penonton tau bahkan jalan-jalan ke penonton. Penonton akan merasa dekat karena bahkan pernah bersentuhan dengan si actor. Menjadi idola di Lenong tidak perlu tampan seperti di Sinetron, cukup interaktif, lucu, dan merakyat saja cukup. Akting jelek pun tak apa-apa berkelit.

Perbedaan lain antara pemain Lenong dan sinetron adalah kisah pribadi. Jika pemain sinetron bisa memiliki karakter berbeda antara asli dengan yang diperankan, maka pemain  lenong akan diharapkan punya kepribadian yang sama dimanapun. Sule harus tetap lucu dimanapun bahkan di infotainment, karena ketika dia memainkan Lenong dia tetap memainkan nama aslinya. Karena Lenong dianggap seperti situasi komedi dari orang-orang yang aslinya memang seperti itu yang direkam kamera. Penonton kadang lupa bahwa Lenong juga merupakan sandiwara yang juga sudah direncanakan sebelumnya.

Seiring sinetron dikalahkan oleh Lenong di TV, tokoh politik yang mewakili Genre Lenong pun muncul. Dengan segala hormat, dan harapan agar tidak dibully secara berlebihan, apalagi dibilang bego dan kafir, saya akan menyebut nama Pak Ir. H. Joko Widodo sebagai tokoh politik atau sebutlah aktor yang paling pantas mewakili genre ini.  Ya saya tahu pasti akan banyak ketidaksetujuan akan hal ini, dan saya akan menerimanya. Tapi saya sarankan anda untuk membaca kembali paragraf-paragraf sebelum ini.

Tentu tidak bisa ditolak munculnya Jokowi adalah warna baru untuk poitik Indonesia, dan tentu pula jika saya menyebutkan Pak Jokowi disini seperti pemain Lenong akan diprotes.  Tapi proses transformasi ini dapat kita lihat secara kasat mata. Proses transformasi antara pemimpin di sinetron yang banyak cut dan action-nya digantikan dengan demam kepemimpinan yang ada berkomunikasi dengan penonton, ngebelusuk ditengah-tengah pemirsa yang mengharapkan aksi berikutnya dari pemain Lenong.

Sebelum perbincangan lebih lanjut kepada Jokowi dan Lenong, saya akan mengabari satu hal lagi. Yaitu munculnya sebuah fenomena baru lagi yang akhir-akhir ini melejit yaitu fenomena Joget. Joget yang membuat semua orang bergoyang sampai tengah malam tanpa substansi, murni hiburan dan identik dengan kata “ikut-ikutan”. Saya belum akan menunjuk tokohnya, tapi mungkin kita perlu lagi merenung, jika televisi sudah mulai mengajarkan “ikut-ikutan” seperti halnya sinetron dan Lenong dulunya, maka apa yang akan terjadi berikutnya? Oh iya, sekedar bahan perenungan bahwa tahun ini kita akan masuk tahun Pemilu dan Pilpres. Jadi? (end)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun