CIANJUR, Stigma nongkrong kini dan sekarang tampaknya akan semakin berbeda menurut perspektif Saya.
Semenjak SMA, Saya merupakan siswa yang apatis. Anti nongkrong, bahkan sering mengecap orang yang nongkrong di warung kopi adalah orang yang gak ada kerjaan bahkan memberikan citra yang buruk bagi pelajar.
Doktrin itu terus saya makan bulat-bulat bahkan dipertegas lagi dengan beberapa hukuman dari guru bagi siswa yang kerap nongkrong di jam pelajaran.
Tak berselang lama, cultur shock soal nongkrong ada saat Saya masuk kuliah.
Di semester pertama hingga saat ini, saya tertarik nongkrong dengan teman sekelas di warung kopi.
Ternyata, mahasiswa saat nongkrong di warung kopi, tak hanya sekadar menyeruput kapal api saja. Namun lebih dari itu, terdapat banyak hal urgen soal isu hangat yang dibahas di warung kopi.
Sejak itulah, penilaian subjektif Saya berubah mengenai nongkrong, dari awalnya antipati hingga menjadi lebih suka nongkrong di warung kopi.
Kembali ke asal, nongkrong di warung kopi ternyata memberikan percerahan bagi mahasiswa untuk bertukar pikiran, ide dan gagasan.
Banyak sekali pemikiran mahasiswa bahkan soal gerakan yang sering dikaji bersamaan dengan di warung kopi.
Warung kopi membuka perspektif baru untuk mahasiswa agar bisa membangun kehangatan dengan teman-teman.