Salam Sejahtera
Educationis the most powerful weapon which you can use to change the world. (Nelson Mandela)
Penyesalan selalu datang terlambat, itu kata-kata yang terngiang-ngiang di kepala saya saat saya “terkaget-kaget” membaca buku Peter F Drucker yang berjudul Innovation and Entrepreneurship. Kenapa bisa begitu? Apakah ada hal spektakuler di buku itu yang membuat saya sampai “terkaget-kaget”? Sejujurnya bukan karena isi dari buku tersebut yang membuat saya seperti itu tapi karena saat saya sampai pada bagian The Do’s and The Dont’s pada bab 11. Principles of Innovation, saya tiba-tiba teringat akan salah satu mata kuliah yang saya ambil yaitu Manajemen Inovasi yang diajarkan oleh Prof I Gede Raka.Saya ingat betul di salah satu slide mata kuliah beliau yang biasa disingkat Maninov juga ada bagian itu, hanya saja saya hanya sekadar menghapalkannya dan tentu saja sesuatu yang biasanya hanya dihapalkan tapi tidak dipahami akan berlalu begitu saja (mengutip kata-kata pembimbing saya Pak Faisal). Hasilnya bisa ditebak, kurang dari 2 tahun setelah lulus saya hanya bisa mengingat judulnya yaitu The Do’s and The Dont’s tanpa tau apa esensi dari apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam hal inovasi. Ya Tuhan apa yang saya lakukan selama kuliah sampai saya menyadari hal seperti ini?
Kalau saja Surya Paloh bukan membuat Nasional Demokrat tapi Golongan Bebal untuk menandingi Golongan Karya, maka jelas saya adalah orang pertama yang akan daftar . Ya saya ini termasuk golongan orang yang bebal, entah apa yang ada dikepala saya saat kuliah selama 4,5 tahun di kampus gajah duduk, bukannya belajar menjadi mahasiswa sebenar-benarnya minimal dalam artian seperti yang di sampaikan Pak Kusmayanto pada saat penerimaan mahasiswa baru, yaitu bukan hanya lulus tepat waktu (dengan IPK 3) tapi juga mempunyai teman 1000 orang, maka jelas saya gagal menjadi mahasiswa versi Pak Kus, sudah lulus 4,5 tahun dengan IPK 2,75, teman yang saya kenal pun hanya sekitar 600an orang yang setengahnya saja saya kenal di jurusan saya sendiri. Mungkin hasil penelitian Carol Dweck yang dikutip Malcolm Gladwell tentang penelitian bahwa anak-anak yang dipuja-puji karena cerdas cenderung mempunyai kemungkinan menjadi malas dan berbohong lebih tinggi daripada anak-anak yang dipuji karena kerja keras harus diumumkan saat penerimaan mahasiswa baru. Tentu saja spanduk “ Selamat datang Putra-Putri terbaik Bangsa” (yang sempat membuat saya tersenyum-senyum saat ayah saya berkata “jadi yang terbaik yang dimana nih? yang di Bandung ato yang di Depok? karena beliau juga melihat spanduk yang kata-katanya sama persis di “Kampus Depok”) harus diturunkan dan diganti kata-katanya menjadi “Selamat datang Tunas-tunas Merah Putih, Pahlawan-pahlawan yang bekerja keras untuk Bangsa”.Mungkin karena itulah saya terbuai dengan predikat “Putra terbaik bangsa” atau bersekolah di “Institut Terbaik Bangsa” yang membuat saya terlena dan melupakan bahwa saya dulu pernah belajar dengan keras untuk masuk ke kampus Gajah duduk ini. Mungkin juga seharusnya saya diingatkan lebih awal bahwa para Profesor yang mengajar saya “hanya” digaji sekitar Rp 5 juta /bulan (bandingkan dengan cecunguk macam Gayus yang sudah di remunerasi menjadi Rp 12 juta/bulan masih saja mengkorupsi duit negara sebesar Rp 100 Miliar yang seharusnya masuk lewat pajak). Mungkin seharusnya saat penerimaan mahasiswa baru saya diberitahu bahwa selama saya berkuliah, saya disubsidi oleh rakyat bangsa ini sebesar Rp 12,5 juta/bulan. Mungkin juga statistik yang mengatakan bahwa saya “mengalahkan” 300 siswa/i SMA untuk memperebutkan 1 kursi di TI ITB bukan untuk membuat saya besar kepala atau arogan bahwa saya ini jenius atau pintar, sebaliknya saya seharusnya bersyukur bisa berkuliah di ITB dan setelah lulus kelak bisa “melunasi kemenangan” saya dengan menyekolahkan 300 anak bangsa lainnya minimal sampai ke ITB.
Saya tahu betul bagaimana penuh perjuangannya kehidupan seorang pengajar di negeri ini karena Ibu saya adalah seorang guru Bahasa Inggris di sebuah SMA Negeri di Jakarta Timur. Tiap hari dari hari Senin-Jum’at beliau bangun pukul 4 Subuh disaat saya masih tertidur dan pulang sekitar jam 6-7 malam. Terkadang saat hari Sabtu atau Minggu Ibu saya juga datang ke SMA tempatnya mengajar untuk mengikuti rapat atau kegiatan lain. Seandainya Pemimpin negeri ini membungkuk dan mencium tangan seorang guru setiap tahunnya untuk memberi penghargaan kepada para pahlawan ini, betapa bahagianya mereka. Tapi mungkin mereka tidak membutuhkan hal itu, mungkin mereka hanya ingin dihargai, bisa mengajar dengan tenang tanpa harus memikirkan apa yang harus dimasak hari ini atau apakah ada susu yang bisa dibeli untuk buah hatinya. Mungkin mereka hanya ingin diingat saat anak muridnya telah berhasil menjadi manusia seutuhnya, memanggil mereka saat bertemu di jalan atau mengundang mereka di hari berbahagia dengan sang pasangan. Saya selalu ingat betapa bahagianya wajah seorang guru atau dosen saya saat menyapa mereka bila berpapasan disebuah tempat, walaupun terkadang mereka lupa akan nama saya karena tidak bertemu selama bertahun-tahun, tapi mereka selalu ingat wajah saya, guru mana di dunia ini yang lupa akan wajah anak didiknya? Ibu saya juga terkadang bercerita bila dia berpapasan dengan eks anak muridnya atau bertemu di sebuah acara. Wajah ibu saya terlihat berseri-seri saat menceritakan bahwa eks anak muridnya itu telah berhasil atau sukses di bidang yang digelutinya. Mungkin itulah sebabnya mereka disebut Pahlawan Tanpa Tanda Jasa, karena mereka tidak mengharapkan tanda jasa apapun untuk diberikan. Jika dianalogikan saya ini Totto-Chan versi lain, seorang anak manusia yang keras kepala dan nakal tapi Mr Kobayashi (orang tua,guru dan dosen saya) sangat sabar mendidik saya dari saya kecil sampai detik ini. Tidak ada pengaruh yang lebih besar untuk saya pribadi daripada para suri tauladan saya ini.
Karena penyesalan selalu datang terlambat dan saat ini saya hanya bisa berterimakasih melalui tulisan tanpa harus menunggu tanggal 25 November atau 2 Mei. Maka note ini saya persembahkan kepad pahlawan-pahlawan tanpa tanda jasa, Ibuku, Guru dan Dosen saya (yang beberapa yang telah mendahului saya menghadap Sang Khalik), Sepupu saya dan Kawan-kawan yang akan menjadi Dosen, Kawan-kawan saya di Indonesia Mengajar, Rumah Belajar Ciroyom, TK Citra Nusa, pembimbing saya dan untuk setiap pengajar dimanapun kalian berada. Hanya catatan kecil ini yang bisa saya persembahkan untuk kalian, terimakasih Pahlawanku.
Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani
(Raden Mas Soewardi Soerjaningrat)
Tuhan memberkati :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H