Salam sejahtera
Knowledge cannot replace friendship. I'd rather be an idiot than to lose you (Patrick to Spongebob)
Karena status FB saya yang terakhir seperti diatas, saya jaditerinspirasi untuk membikin note ini (thanks to Patrick!). Salah satu hal yang saya benci jika saya berbicara dengan orang yang lebih pintar dari saya adalah pendapat saya tidak didengar. Jika saya berbicara tentang topik tertentu, lawan bicara saya kadang tidak antusias dengan pendapat saya, atau mengalihkan perhatian ke orang disebelah saya yang menurut dia opini orang tersebut (jauh) lebih baik dibandingkan opini saya. Anda sering merasakannya? Tenang saja anda tidak sendirian. Tapi sebaliknya, jujur saja, saya pun sering berkelakuan menyebalkan seperti itu, karena saya sering membaca buku, update berita dsb saya merasa lebih tau dibanding lawan bicara saya sehingga saya sering memotong pembicaraan atau tidak mendengarkan pendapat lawan bicara saya (ugh, it’s annoying).
Dale Carnegie dalam bukunya yang legendaris “How to win friends and influence people” juga pernah melakukan hal yang sangat manusiawi tapi menyebalkan itu. Pada suatu waktu Carnegie diundang jamuan makan malam oleh seorang temannya. Dalam acara itu, sang tuan rumah duduk persis disebelah kanan Carnegie. Kemudian dalam sebuah topik pembicaraan, si tuan rumah mengatakan sebuah kutipan yang dia bilang dari kitab suci. Kemudian Carnegie berkata dalam hati : “Apa? Kitab suci? Dia salah, itu kutipan dari Shakespeare, aku tahu itu, jelas sekali, itu dari Shakespeare!”. Kemudian untuk memperlihatkan rasa superior atas lawan bicaranya, Carnegie langsung membantah bahwa kutipan itu dari kitab suci, dan tak lama kemudian kedua orang itu langsung berdebat mengenai sumber kutipan itu.
Tak lama kemudian, Carnegie meminta temannya yang duduk disebelah kirinya, seseorang yang bernama Gammond (yang bertahun-tahun telah mempelajari literatur Shakespeare) untuk dimintai pendapatnya. Kemudian kedua orang yang berdebat itu setuju untuk meminta pendapat Gammond mengenai sumber kutipan itu. Setelah mendengar tuan rumah berbicara, Gammond kemudian menendang kaki Carnegie dibawah meja dan berkata : “ Carnegie kau salah, anda yang benar tuan, itu kutipan dari kitab suci bukan dari Shakespeare.”
Sepulang dari acara tersebut, Carnegie yang tak habis pikir dengan jawaban Gammond, langsung menanyakan hal tersebut : “Hei, kau tahu itu kutipan Shakespeare tapi mengapa kau memberi jawaban seperti itu?” kemudian Gammond membalas dengan jawaban : “Ya aku tahu, itu Hamlet, babak kelima adegan kedua. Tapi kita adalah tamu di acara itu teman, mengapa harus membuktikan bahwa dia salah? Apakah kau mau menjadikan dia seperti dirimu? Mengapa tidak membiarkan dia menyelamatkan mukanya? Dia tidak meminta pendapatmu, mengapa harus mendebat dia?”. Kemudian Carnegie menyadari kesalahannya, sang tuan rumah bukan hanya dibuat tidak nyaman atas sikap dia tapi hampir dibuat malu oleh Carnegie. Sejak kejadian itu, Carnegie yang biasanya selalu ngotot untuk menang dalam berdiskusi mulai belajar mendengarkan pendapat orang yang berbeda dari tiap sudut pandang.
Seperti Carnegie, saya juga sering seperti itu, tidak mau mendengarkan pendapat orang lain, apabila saya tahu ada yang salah dengan perkataan dari lawan bicara, alih2 berkata setelah lawan bicara selesai berbicara : “Hmm, yang saya tahu seperti ini bla bla bla tapi mungkin saya bisa salah”, saya justru memotong pembicaraan dan berkata : “ Tidak, anda salah, yang benar itubla bla bla dst”. Ya seringkali saya tidak menyadari telah melakukan hal itu, karena yang ada di pikiran saya adalah saya merasa bangga bisa mengalahkan orang lain dalam adu pendapat dan merasa superior atas lawan bicara saya. Ya betapa menyebalkannya saya.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita kadang menyepelekan lawan bicara kita bila dia lebih rendah tingkat pendidikannya, atau status sosialnya dibawah kita atau umurnya lebih muda dari kita. Jujur saja, setelah lulus kuliah, saya justru jauh lebih banyak belajar tentang kehidupan dari orang2 yang tidak seberuntung saya, mereka yang bahkan tidak pernah merasakan lulus sekolah dasar, mereka yang bertahan hidup hanya dengan dua lembar uang sepuluh ribu rupiah seharinya, ya mereka yang merepresentasikan Indonesia sesungguhnya, yang seharusnya didengarkan oleh petinggi-petinggi Negara ini yang kakinya tidak bertelanjang, yang badannya tidak berbau keringat bercampur debu dan matahari serta yang anaknya tidak menangis karena tidak ada susu di genggamannya.
Bukankah sangat indah jika anda sesekali mengobrol dengan seorang anak yang bernyanyi dengan suara sengau di bis yang anda tumpangi, dengan nenek2 yang menengadahkan tangannya diseberang kaca mobil anda atau bahkan dengan pembantu anda sendiri? Berpura-puralah anda bodoh, berpura-puralah anda tidak tahu tentang apapun, dengarkanlah suara hati mereka.
Cobalah melakukan hal itu sesekali, bukan, bukan maksud saya agar anda merasa kasihan kepada mereka, jauh lebih dari itu, anda akan memahami maksud saya jika anda telah melakukkannya.
Ps : Note ini khusus saya dedikasikan untuk kawan2 yang bergabung dengan gerakan Indonesia Mengajar, mereka yang akan memberi dampak yang lebih besar ke bangsa ini daripada sekadar coretan yang ada di tulisan ini *actions speak louder than words*, Engkong, Ridwan, Ujan dan Arum. Selamat membangun bangsa kawan!
Stay hungry, Stay foolish (Steve Jobs)
Salam hangat
JRS
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H