Mohon tunggu...
Sintus Runesi
Sintus Runesi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Senang dengan kata-kata berikut:”Hidup batin adalah tidak mengetahui apa yang engkau kehendaki tetapi memahami yang tidak engkau butuhkan (Anthony Melo, Doa Sang Katak 2).” ingin selalu berteman sunyi, menyukai sastra dan filsafat.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Prabowo dan Kemungkinan Pendekatan untuk Indonesia Timur

22 Juni 2014   14:50 Diperbarui: 20 Juni 2015   02:50 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sebagai catatan, tulisan ini pertama-tama tidak berurusan dengan kebenaran (korespondensi) antara labelisasi yang dibuat oleh tuan Prabowo dengan kenyataan ‘objektif’ orang Indonesia Timur. Tulisan ini lebih diarahkan pada usaha menelusuri struktur wacana dan penyokong asumsi epistemik yang terkandung dalam pernyataan tersebut, yang bukan tidak mungkin menentukan model pendekatan politik-ekonomi terhadap Indonesia Timur bila ia terpilih menjadi presiden. Menyangkut istilah-istilah teknis, saya mengandaikan pembaca sudah memahaminya.

Ketika membaca pemberitaan mengenai pernyataan yang dikeluarkan tuan Prabowo saat berkampanye di Makasar, pikiran saya mau tidak mau berlari kembali pada pengalaman-pengalaman menyejarah mengenai kemanusiaan. Maksudnya? Dalam sejarah, kita tahu bahwa labelisasi yang disematkan pada subjek atau kelompok tertentu tidak pernah dalam arti positif, melainkan selalu bermakna negatif. Contohnya diskriminasi rasial antara kulit hitam dan kulit putih di Amerika atau politik apartheid di Afrika Selatan. Walau dua contoh itu memiliki dasar hukumnya, artinya diberlakukan karena diundangkan, namun apa yang diundangkan itu tidak pernah lahir secara tiba-tiba. Ia, labelisasi itu, adalah sebuah conceptual framework yang diterima sebagai kebenaran yang tidak dipertanyakan lagi yang menentukan bagaimana si liyan, subalternum itu ditindak, dilihat, dinilai dan caranya pemimpin memikirkan kebijakan politik ekonomi atas diri mereka.

Contoh lain, Hitler dan (tidak semua) orang Jerman misalnya, jauh-jauh hari sebelum holocaust sudah memberi label basil atau virus terhadap orang Yahudi.[i] Apa maksudnya? Orang Yahudi adalah pengeruk kekayaan orang Jerman. Orang Yahudi adalah mereka yang mengambil roti yang ada di atas meja yang seharusnya diperuntukan bagi orang Jerman.[ii] Pertanyaannya adalah apakah semua orang Yahudi adalah basil atau virus? Bukankah banyak orang Yahudi juga memiliki kontribusi besar bagi perkembangan Jerman sebagai sebuah bangsa.

Pertanyaan juga dapat kita ajukan dalam konteks kita. Apakah semua orang Indonesia Timur itu memang cepat marah dan suka berkelahi? Yang patut diperhatikan di sini adalah apakah pernyataan tuan Prabowo itu menyangkut watak ataukah sikap. Menurut psikologi, watak menunjuk kepada cara bereaksi seseorang yang sedikit banyak umum sifatnya, sedangkan sikap menyangkut reaksinya yang khusus berkenaan dengan situasi atau objek tertentu.Seseorang yang bersikap agresif terhadap agama belum tentu memiliki watak agresif. Untuk penggolongan semacam ini, tugas para psikologlah untuk menjelaskannya lebih lanjut, sebab persoalan itu bukan tujuan utama tulisan ini.

Labelisasi semacam itu oleh Foucault disebut sebagai wacana. Wacana bisa berarti penjelasan, pendefinisian, pengklasifikasian, pemikiran tentang orang, pengetahuan dan sistem-sistem pemikiran abstrak.[iii] Ini berarti kita berbicara tentang praktek-praktek yang menghasilkan pernyataan-pernyataan yang bermakna pada satu rentang historis tertentu. Wacana yang dilontarkan oleh tuan Prabowo misalnya memiliki konsekuensi mempertegas isolasi, definisi dan produksi atas objek pengetahuan masyarakat. Di situ ada dua unsur penting dalam penyebutan kepada seseorang atau satu kelompok masyarakat tertentu: kekuasaan dan kepentingan. Artinya, dengan wacana seperti itu, orang Indonesia Timur diisolasi, didefinisikan dan diproduksi sebagai objek pengetahuan bagi sebuah struktur pengetahuan yang lebih luas yang diharapkan dapat diterima dan dibenarkan tidak hanya oleh orang Indonesia Timur sendiri. Ini semacam pelembagaan labelisasi yang akan menentukan strategi dan metode pengontrolan.

Dengan demikian dalam perspektif Foucault labelisasi itu sebenarnya sebentuk negasi atas masyarakat Indonesia Timur. Artinya dengan negasi seperti itu setiap perbincangan, pembicaraan, penyebutan, penulisan dan praktek yang berada di luar wilayah cakupan labelisasi itu akan dianggap sebagai tidak nyata atau tidak mewakili identitas orang Indonesia Timur. Negasi demikian oleh tuan Prabowo ditempatkan hanya dalam dua kemungkinan: atau tentara atau polisi. Tetapi kalau bukan tentara dan bukan juga polisi, lalu apa? Kira-kira dengan labelisasi semacam itu pekerjaan apa yang paling cocok untuk mereka? Jangan-jangan kita akan bertemu dengan pernyataan, “wah… heran aku, orang Papua kok bisa jadi pilot”. Yang lebih buruk adalah bahwa orang Indonesia Timur menjadi orang “jahat-jahat” di mata orang Indonesia Barat. Timur dan Barat sebagai konsekuensi lain dari penyebutan semacam itu.

Menurut Honneth, negasi demikian berakar dalam ketidakmampuan seorang individu atau masyarakat untuk menggunakan rasionalitasnya secara memadai. Ia menyebutnya reifikasi, atau dalam bahasa Heidegger ketidakmampuan untuk memusatkan perhatiannya secara total terhadap orang lain dalam keunikannya.[iv] Reifikasi adalah konsep yang berakar pada Marx dan berlanjut lewat Lukacs, tetapi oleh Honneth dibaharui dengan memikirkannya kembali dalam hubungannya dengan politik pengakuan. Menurut Honneth reifikasi itu tidak berakar pada hubungan pembendaan antara manusia atau saling mengobjekkan tetapi terutama berakar pada defisit rasionalitas yang dialami subjek, sehingga tidak mampu membangun hubungan intersubjektif dengan sesamanya sesuai dengan norma-norma etis-rasional. Dalam bahasa Ricoeur berarti cogito blese.

Negasi demikian nampak dalam tindakan disrespek terhadap orang lain. Orang tidak dihargai karena keberadaannya sebagai manusia, tetapi dihargai karena kesesuaian antara label yang ada pada dirinya dengan kepentingan kita. Dari sisi kebijakan pembangunan akan terlihat bahwa labelisasi itu akan menentukan bagaimana monitoring dan kontrol yang mengarah pada normalisasi atas orang kepadanya label itu disematkan. Dengan label sebagai cepat marah dan suka berkelahi, orang Indonesia Timur sudah berada dalam jalur pendefinsian sebagai masyarakat yang tidak menghargai norma-norma solidaritas sosial. Labelisasi demikian sudah menempatkan orang Indonesia Timur dalam bayang-bayang pemikiran tentang “massa pengganggu”. Patut dicatat suka berkelahi mengandaikan bahwa di sana tidak ada kesatuan dan solidaritas. Satu situasi sosial yang rentan dipolitisasi menjadi konflik lebih besar. Jika demikian, kekuasaan yang akan dijalankan adalah sejauh mana satu kelompok masyarakat tunduk dan patuh terhadap otoritas dan mau menerima kontrol sosial.

Dengan mengungkapkan orang Indonesia Timur seperti itu, masyarakat yang mendengar atau membaca tidak sampai ke orang Indonesia Timur yang diungkapkan ‘melalui’ bahasa, melainkan masyarakat sampai ke sesuatu, yang mengungkapkan dirinya ‘di dalam’ penyebutan itu. Manusia yang menangkap pengungkapan diri sesuatu melalui bahasa, akan mengarahkan sesuatu itu sesuai dengan tujuannya. Melalui bahasa sebagai sarana instrumentalistis, sesuatu itu menjadi instrument atau sarana. Pada titik ini, orang Indonesia Timur sedang berdiri ‘di gerbang bahaya’ ditempatkan sebagai sarana untuk sebuah kepentingan yang lebih besar.

Suka berkelahi itu seperti apa? Dua ekor anjing pasti saling berebut satu tulang yang diberikan. Tetapi kita berharap bahwa bukan seperti itu anggapan dan konsepsi mereka tentang orang Indonesia Timur. Tetapi jika itu yang ada, maka kebijakan ekonomi untuk Indonesia Timur sudah bisa terbaca dari pendefinisian tersebut. Buatlah mereka tergantung dalam kemiskinan mereka dengan beri sedikit dan biarkan mereka berkelahi. Kalau berkelahi terus-menerus ujung-ujungnya dibentuklah metode pengontrolan yang lebih ketat. Maka pendekatannya sudah pasti mengambil bentuk pendekatan keamanan. Sampai di sini, saya bertanya-tanya, karena tuan Prabowo adalah seorang mantan jenderal, jangan-jangan konsep demikian memang dianut sebagian pejabat militer kita. Sebagai perbandingan, pernah ada ulasan mengenai target pergelaran pasukan untuk wilayah NTT saja sampai tahun 2024 harus mencapai 60.000.[v] Sebuah upaya yang dengan sendirinya akan memengaruhi kebijakan ekonomi dan pembangunan atas wilayah tersebut.

Konsekuensi yang tersebut di atas oleh para etikus politik disebut sebagai antisipasi logis oleh penguasa berdasarkan pengalaman-pengalaman yang secara objektif terjadi. Artinya, perilaku dan identitas rakyat telah didefinisikan oleh penguasa atas dasar sesuai atau tidak dengan politik penguasa jauh-jauh hari sebelumnya.[vi] Maksudnya, kalau kelak ada sesuatu yang tidak beres dengan Indonesia Timur, maka label yang pada hari ini disematkan kepada orang Indonesia Timur memeroleh pembenaran rasionalnya bukan oleh pihak lain tetapi oleh orang Indonesia Timur sendiri. Dapat terjadi dalam situasi demikian, orang Indonesia Timur akan dinilai sebagai rakyat yang tanpa otak, rakyat yang tidak mampu menyelesaikan masalah dengan baik, rakyat yang tidak mampu berpikir. Maka pendekatan yang paling cocok untuk orang dengan label demikian adalah pendekatan keamanan. Hal itu bisa kita lihat dalam problem Papua.

Akhirnya, labelisasi ini kalau dibaca dari perspektif Honneth tidak lain sebentuk kecacatan rasional atau pikiran cacat dari subjek entah itu subjek individual atau subjek sosial yang tidak mampu mengaktifkan kapasitas refleksifnya untuk menilai dan memutuskan mana yang baik mana yang buruk. Karena labelisasi sesat misalnya, maka para Syah di Sampang harus mengungsi dari tanahnya, Ahmadiyah harus dikejar-kejar. Karena labelisasi ‘penggangu iman’ maka orang Kristen tidak boleh membangun gereja atau orang Islam tidak boleh membangun mesjid. Barangkali karena labelisasi bodoh dan tertinggal, maka masalah Papua tidak bisa diselesaikan hanya melalui dialog. Di situ, demokrasi sudah berubah menjadi semantik. Demokrasi bukan untuk keadilan dan perdamaian, tetapi untuk memanipulasi mayoritas minoritas, dengan kata lain merekayasa masyarakat.[vii] Ketidakadilan mulai dari pikiran. Artinya kekerasan pun sudah mulai dari pikiran, mulai dari hal yang dianggap remeh-temeh.

[i]Lihat misalnya dalam film Hitler: the Rise of Evil.

[ii]Tentang tema ini baca misalnya Kenneth Stow, Jewish Dogs, California: Stanford University Press, 2006.

[iii]Lihat Mudji Sutrisno & Hendar Putranto, Teori-teori Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius, 2005, p. 150.

[iv]Lihat Axel Honneth, Reification, Oxford: Oxford University Press, 2008, p. 8.

[v]Mudah-mudahan hal itu sudah ditinjau kembali dan tidak dilanjutkan. Mengenai berita ini dapat dibaca pada Harian Umum Pos Kupang, Jumat 5- Sabtu 6 Agustus 2011.

[vi]Lihat Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, Jakarta: Kompas, 2003, p. 49.

[vii]Bdk. Ibid., p. 166.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun