Beberapa waktu terakhir, Film The Act of Killing yang diberitakan masuk dalam nominasi Oscar kategori “feature documenter" (Kompas 18/01/2014) menuai kritik dari pemerintah Indonesia. Pemerintah menganggap film itu memperburuk citra Indonesia di mata dunia. Pertanyaannya citra mana yang diperburuk? Reaksi pemerintah ini mengingatkan kita pada sikap yang senada sebagaimana pernah diungkapkan oleh salah satu menteri kita yang menyatakan bahwa peristiwa kekerasan yang terjadi pada tahun 1965-1966 adalah sesuatu yang wajar demi menyelamatkan negara.
Film The Act of Killing yang dibuat coba menghadirkan kembali peristiwa "pembantaian rakyat" pada tahun 1965-1966 atas nama perang "suci" melawan sebuah ideologi bernama komunis. Film yang mencoba menceritakan peristiwa tersebut, menghadirkan beberapa saksi sekaligus pelaku pembantaian terhadap rakyat yang dicap sebagai "pengikut ideologi" komunis. Dan dalam keseluruhan film tersebut, satu hal yang, dalam hemat saya, berhasil ditunjukan adalah kualitas "memoria" para pelaku.
Menurut Thomas Aquinas, "memoria" adalah sebuah kemampuan dari seseorang untuk mengingat sebuah pengalaman masa lampaunya dengan objektif, tanpa perlu melalui falsifikasi. Anwar misalnya, sebagai salah satu algojo mampu menunjukkan secara jelas bagaimana ia bersama kawan-kawannya membantai para "musuh" itu.
Memang dalam film itu juga ditunjukkan beberapa perbedaan pendapat dari para algojo dengan beberapa saksi. Atas perbedaan demikian, untuk sementara saya punya jawaban: "suatu perspektif yang berbeda dapat muncul dari suatu pengalaman bersama atas peristiwa yang sama". Artinya, perbedaan perspektif di antara Anwar dengan kawan-kawan saat melakukan rekonstruksi tidak membatalkan kenyataan bahwa "memoria" mereka atas peristiwa itu tidak dihadirkan kembali setelah melalui proses falsifikasi. Apa yang dihadirkan adalah apa yang mereka lakukan.
Hannah Arendt yang menyebut kejahatan seperti pembantaian rakyat pada tahun 1965-1966 terjadi karena suatu "banality of evil", sedangkan Goenawan Muhammad dalam salah satu catatan pinggirnya "Anwar" lebih melihatnya sebagai "contigency of evil". Bagi Arendt, peristiwa Holocaust menunjukkan suatu kejahatan melawan kemanusiaan. Tetapi pelaku kejahatan Holocaust seperti Hitler maupun Eichmann tidak dapat kita sebut sebagai monster. Bagi Arendt, para pelaku itu adalah orang-orang biasa, yang punya kebiasaan yang sama dengan sebagian besar orang. Eichmann misalnya, adalah seorang ayah yang sangat santun dengan keluarganya.
Yang sama terlihat misalnya, pada sikap Anwar dalam film documenter tersebut. Mereka adalah orang-orang yang memiliki senyum yang tulus, menyayangi anak cucu mereka. Hal yang amat baik sebagai manusia. Tetapi berhadapan dengan para korban, Eichmann atau Anwar adalah pribadi-pribadi yang sangat berbeda. Ekspresi mereka menunjukan kebanggaan atas kekejaman yang pernah mereka lakukan. Bahkan Anwar bersama kawan-kawannya menyatakan bahwa sampai sekarang pun (ketika film itu dibuat) tidak pernah merasa bersalah atas tindakan-tindakan mereka.
Berbeda dengan Arendt, untuk mencari jawaban atas pertanyaan "dari mana datangnya kekejaman? Dari mana datangnya rasa bangga akan kekejaman?", Goenawan Mohamad dengan gayanya yang khas esais mencoba mencari jawabannya dengan mengajak pembaca berselancar ke dalam hidup tokoh Ivan dalam novel Dostoyevski: Karamazov Bersaudara. Bila Arendt berupaya mencari jawabannya dengan mencoba menemukan titik hubung antara kapasitas berpikir setiap pelaku dengan dunia kehidupan masyarakat warga baik secara individual atau pun kolektif, Goenawan Mohamad dalam catatan pinggirnya itu lebih melihat dan menghubungkan kejahatan dengan sitz im lebennya. Ia menyebut kejahatan sebagaimana dilakukan oleh para algojo sebagai suatu "contingency of evil". Ia menulis: "Yang mala, yang keji, yang jahanam, bisa terjadi tapi juga bisa tidak, bergantung pada sebuah masa, sebuah tempat: sebuah situasi."
Hemat saya, dengan menghubungkan suatu kejahatan yang bergantung pada sebuah masa dan sebuah tempat, kita akan terjebak dalam suatu bentuk historisisme. Historisisme yang dimaksud di sini adalah suatu posisi yang mengikat validitas satu gagasan pada konteks historis tertentu, sehingga tidak mungkin ditemukan suatu keping kebenaran yang secara etiko-filosofis bersifat universal yang dapat dijadikan bahan pembelajaran bagi masyarakat.
Dalam konteks ini berarti kejahatan tahun 1965-1966 adalah suatu kejahatan yang hanya terjadi pada waktu itu dan seolah tidak punya efek bagi masa sekarang. Kejahatan itu kontingen, dan karena kontingen,maka kejahatan seperti tahun 1965-1966 hanya dapat di pandang dari suatu tebing waktu sebagai sebuah kehidupan dalam musee imaginaire (museum imajiner) yang terjadi pada tebing waktu yang lain. Akibatnya, pergumulan masyarakat akan persoalan HAM hanya merupakan sebuah usaha arkeologis untuk menggali apa yang pernah ditutup-tutup di masa lampau, dan bukan untuk menjadikannya sesuatu yang secara normatif-edukatif di mana dapat dipelajari demi masa sekarang dan masa yang akan datang.
Artinya, ekologi kekerasannya Goenawan Mohamad yang melihat kejahatan sebagai "yang bersifat kontingen", meniadakan kenyataan bahwa manusia dapat menjadikan peristiwa tersebut sebagai medan di mana setiap orang mampu mengembangkan kapasitas "circumspectio-nya", yakni kesanggupan untuk menilai faktor-faktor yang membentuk situasi, dalamnya seseorang harus bertindak. Inilah yang terekspresi lewat pernyataan salah satu wakil rakyat pada beberapa waktu yang lalu bahwa peristiwa pembantaian tahun 1965-1966 tidak perlu dibuka kembali. Tidak perlu dibuka dan dengan demikian, masyarakat tidak perlu belajar untuk membangun negara ini ke arah yang lebih baik. Barangkali di sini kita bisa mengerti mengapa pemerintah enggan untuk tidak melihat hubungan antara kejahatan itu dengan perjalanan bangsa ini ke depan.
Menurut Goenawan Mohamad, ekologi kekerasan tahun 1965-1966 adalah komunis. Kalau komunis habis, maka kejahatan yang sama barangkali tidak akan terulang. Pada titik ini mungkin ia betul jika kita membacanya dalam hubungan dengan sikapnya sebagai seorang anti-dogmatik sekaligus seorang agnostik (I. Kleden, 2004: 179). Tetapi bagaimana bila pembantaian tahun 1965-1966 dilihat sebagai sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan? Bukankah kejahatan selalu mencari cara untuk menguasai? Bukankah negara ini masih sering melakukan pelanggaran HAM terhadap rakyatnya? Apakah kita hanya perlu berdiri di pinggir peristiwa dan sekadar menjadi penilai dan tidak perlu melangkah lebih jauh pada aksi keadilan?