Mohon tunggu...
Sintus Runesi
Sintus Runesi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Senang dengan kata-kata berikut:”Hidup batin adalah tidak mengetahui apa yang engkau kehendaki tetapi memahami yang tidak engkau butuhkan (Anthony Melo, Doa Sang Katak 2).” ingin selalu berteman sunyi, menyukai sastra dan filsafat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Persahabatan Warga

16 Maret 2012   18:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:56 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Coba kita memerhatikan dua pernyataan di bawah ini, dikutip dari berita "FPI Takkan Mundur Meski Banyak yang Tidak Suka", yang dilontarkan pada kesempatan yang sama oleh Ketua Front Pembela Islam, Habib Rizieq:


  1. "Kalau agama kita dilecehkan, Allah dihina, Alquran tidak dihargai dan nabi kita dihina, apakah kita akan diam saja melihat kondisi yang demikian? Liberalisme yang mencoba menghancurkan agama harus kita berantas," FPI akan terus maju untuk menegakkan Islam. Habib menegaskan, tidak ada pihak manapun yang bisa menghalang-halangi FPI untuk membela Islam. Ia menilai, banyak pihak yang ingin menghancurkan Islam.
  2. "Misalnya dengan kekerasan, paksaan, kejahatan, atau pun tipu daya agar orang mau masuk Islam, itu haram. Islam cinta damai, rosulullah tidak pernah mengajarkan itu kepada umatnya," tukasnya.

Ada beberapa hal yang (mungkin saja pembaca sudah memikirkannya) dapat kita tarik dari dua pernyataan di atas. pertama, pernyataan yang dikeluarkan oleh pimpinan FPI ini menunjukkan suatu tindakan memistiskan motif pertentangan menjadi perjuangan membela agama, iman dan kebenarannya. Singkatnya demi Tuhan. Sikap pemistisan ini lalu meniadakan penilaian objektif atas realitas sosial. Mistik di sini, berarti yang irasional mendasari yang yang rasional, dan bukan dalam kaitannya dengan misteri Tuhan. Oleh karena itu, bila perjuangan dengan kekerasan atas nama agama maupun iman itu melanggar HAM, dan tuhan yang diperjuangkan itu tidak lain adalah tuhan hasil konstruksi pikiran manusia, dan bukan Tuhan yang sebenarnya.

Kedua, klaim bahwa agama selalu mengajarkan kedamaian tak bisa dipungkiri. Namun yang tak disadari oleh Habib Rizieq ketika membuat pernyataan itu adalah bahwa ia meniadakan jarak antara pengetahuan (ajaran agamanya) dan tindakan. Pengetahuan tentang kedamaian yang diajarkan agama belum tentu menyata dalam tindakan konkret. Sebab secara sosial keanggotaan dalam suatu agama selalu mendahului sikap keagamaan. Keyakinan akan ajaran agama terutama menyangkut perdamaian tidak otomatis menyata dalam tindakan mengusahakan perdamaian.

Ketiga, pemahaman yang tidak lengkap serta objektif dalam hal ini berarti prasangka buta mengenai persoalan-persoalan publik selalu dapat diamati secara benderang dalam diri orang fanatik. Sikap fanatisme memiliki satu kelemahan yang sangat mendasar yakni tidak mampu bersikap kritis dengan keyakinannya (pikiran) sendiri. Berbicara mengenai dua hal yang berbeda dalam satu kesempatan yang sama: berbicara sebagai seorang demagog sekaligus tentang sikap damai. Apakah setiap orang beragama memang mesti menganut prinsip si vis pacem para bellum (jika ingin damai siapkanlah perang) atau si vis pacem colle iustitiam (jika ingin damai kerjakanlah keadilan).

Persahabatan Warga

Dengan meyakini bahwa agama mengajarkan perdamaian, setiap orang seharusnya belajar untuk menjumpai sesama dalam jejaring relasi yang memanusiakan. Sebab, hemat saya, dalam konteks sosial, damai berhubungan dengan keadaan di mana setiap orang bisa menjalani hidupnya tanpa merasa terancam.

Secara etis, damai bisa dipandang sebagai suatu nilai, sebab bila kita berbicara tentang damai, berarti kita berbicara tentang sesuatu yang menghimbau atau memikat kita, sesuatu yang berkaitan dengan martabat manusia. Oleh karena itu, damai secara mutlak tidak memberikan ruang bagi sikap fanatisme yang sering berkelindan dengan sikap menolak kehadiran pihak lain yang tidak sealiran maupun sepaham.

Salah satu hal  yang diperlihatkan lewat pernyataan pertama di atas yakni bahwa ketidakmampuan untuk mengambil jarak terhadap keyakinan sendiri bila berkelindan dengan fanatisme yang berlebihan membuat banyak penganut agama menjadi seolah-olah paranoid. Sikap paranoid nampak jelas: kecurigaan yang berlebihan, meyakini akan adanya motivasi tersembunyi dari orang, dan rasa permusuhan yang dalam.

Pernyataannya apakah memang mereka menderita paranoid? Secara klinis, saya sendiri sangat yakin bahwa mereka adalah orang-orang yang sehat wal'afiat. Namun secara sosial? Sikap paranoid meniadakan apa yang disebut sebagai solertia, yakni kesanggupan untuk menanggapi situasi yang tak diinginkan dengan tindakan objektif, agar dengan demikian setiap situasi bisa diubah menjadi baik dan godaan untuk bersikap tidak adil maupun melakukan tindakan kekerasan bisa diatasi. Dalam filsafat Aquinas, ketiadaan solertia berakibat lanjut pada ketidakmampuan untuk secara bijaksana (prudentia regnativa) bertindak di hadapan kenyataan, artinya tidak mampu untuk mengarahkan setiap tindakan demi kebaikan masyarakat banyak.

Damai juga menyingkirkan sikap kecurigaan yang berlebihan seperti yang ditunjukkan di atas. Damai memungkikan tumbuh dalam ruang kesadaran publik upaya untuk mengusahakan kebersamaan yang meluas melewati sekat keagaamaan. Sikap seperti ini sekaligus menumbuhkan kemauan pribadi setiap orang untuk mengusahakan persahabatan warga yang merupakan perwujudan paling utama dari prinsip kesamaan dan kebebasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun