Agak mengherankan, kedua kubu pasti sangat serius menjaga citra dan pasti terus menerus berpikir untuk memperluas pengaruh dan menebarkan kesan positif, tetapi hasil yang diraih tidak selalu seperti yang diharapkan. Sampai sejauh ini, Jokowi lebih beruntung mendapat nilai plus, sedangkan Prabowo seperti semakin mendapat nilai minus.
Jokowi yang di waktu lalu dianggab tidak memiliki vivi misi, akhir-akhir ini mematahkan tuduhan itu karena selain telah memasukkan visi misinya ke KPU, juga dalam berbagai kesempatan sangat tangkas menjelaskan gagasan-gagasannya untuk membangun Indonesia dalam bidang ekonomi, pertanian, pendidikan, dll. Jokowi yang diragukan ke-Islam-annya, dengan mantap pula membuyarkan tuduhan itu dengan bukti-bukti bahwa dia sudah berkali-kali haji dan umrah, ayah-ibunya juga, dan saudara-daudarinya juga. Bahkan Pimpinan Muhammadyad Dr. Din Syamsuddin pun sudah "menguji" ke-Islaman-an Jokowi dan tidak meragukan. Dan hampir semua tudingan atau "black campaign" yang ditujukan kepada Jokowi selama ini, satu satu rontok dan tak bersambut dimanapun.
Sebaliknya, kelebihan Jokowi semakin terlihat dari hari ke hari. Walauapun Jokowi tidak orator ulung, tidak ahli retorika, tetapi bahasanya kalau berpidato sangat mudah dicerna dan menyegarkan, hal itu disempurnakan pula oleh bahasa tubuhnya memancarkan kesungguhan dan ketulusan. Dalam berbagai kesempatan dia berkeliling Indonesia, selalu dan selalu kelihatan bahasa kesederhanaan, kesungguhan, ketulusan, dan sama sekali tidak ada kepura-puraan pada dirinya. Kata-katanya yang simple dan tidak banyak "bumbu" mampu menyemburkan sedemikian besar pengharapan bagi rakyat yang mendengar. Tak mengherankan, kalau banyak orang terutama ibu-ibu kalau mendengar dia berbicara di TV hanyut dalam keharuan dan ada yang menitikkan air mata.
Perjuangan Jokowi meraih kursi Preside RI seperti sudah mendapat restu Tuhan Yang Maha Kuasa. Langkah dan ucapan Jokowi semakin hari semakin mantap dan mengena di hati banyak orang. Tak mengeherankan jika kemudian banyak pujian dan dukungan yang mengalir ke arahnya. Orang-orang dan kelompok-kelompok yang mendukungnya pun relatif tidak bermasalah, orang-orang yang berkarakter kuat, dan kalaupun ada yang terkait dengan masalah di masa lalu kemungkinan besar "sudah bertobat" karena tidak ada lagi yang mengungkitnya.
Yang menyejukkan akhir-akhir ini adalah sikap dan gaya Jusuf Kalla. Tadinya banyak yang berpikir negatif kalau cawapres Jokowi adalah Jusuf Kalla. Kalla dikhawatirkan akan dominan, akan ada matahari kembar dalam kepemimpinan nasional. Tetapi Jusuf Kalla menegaskan, "kalau terpilih nanti, saya akan benar-benar sebagai pembantu presiden, saya akan bekerja sesuai kehendak Presiden." Dan Jokowi pun menegaskan, dirinya dan Jusuf Kalla akan membuat pembagian tugas (Jokowi tidak menyebut dirinya yang membuat pembagian tugas, tetapi dirinya dan Yusuf Kalla -- itu menunjukkan jiwa besar dan kerendahan hatinya). Mudah-mudahan, Jokowi - Jusuf Kalla adalah duet pemimpin nasional yang efektif untuk membawa kemajuan yang signifikan bagi bangsa dan negara.
* * *
Capres Prabowo, sebenarnya sudah membentangkan visi dan misi yang jelas yang akan diusung kalau terpilih menjadi presiden. Bagus, sulit untuk dibilang jelek, walaupun tidak terlalu istimewa. Prabowo pun lancar menjelaskan visi misinya, dan gaya pidatonya berapi-api. Masalahnya adalah intonasi suara Prabowo kalau berpidato tidak enak didengar, bahasa tubuhnyapun tidak enak dilihat. Padahal dalam ilmu komunikasi, intonasi suara dan bahasa tubuh lebih kuat pengaruhnya dari materi pembicaraan. Ada kesan intonasi suara dan gerak tubuh dibuat-buat, bahkan berlebihan, dan mungkin itu hasil training.
Sama seperti Jokowi, Prabowo pun banyak diterpa isu, mendapat tudingan dan black campaign. Tetapi, jika tudingan terhadap Jokowi sudah banyak yang patah dan lewat, tudingan terhadap Prabowo masih kokoh, seperti soal isu pelanggaran HAM, berkarakter kasar, tidak mampu menjaga keharmonisan keluarga (bagaimana Prabowo menjaga keutuhan negara kalau menjaga keutuhan keluarga pun tidak becus?). Ada kesan, Prabowo suka banyak bicara, bicaranya meledak-ledak -- itu semakin lama semakin tidak disukai banyak orang. Â Penyebabnya: dari intonasi dan bahasa tubuh Prabowo tampak dia tidak sungguh-sungguh, tidak tulus, tidak rendah hati. Â Entah kenapa, ya begitulah adanya.
Sejak awal Prabowo membuka pintu untuk terjadinya "tenda besar" sebagai pendukungnya, tenda besar itu bagi parpol, kelompok, dan individu. Memang terwujud juga tenda besar itu, parpol pendukung Prabowo lebih besar dari parpol pendukung Jokowi, dan banyak kelomppok dan individu yang sudah menyatakan dukungan terhadap prabowo. Â Lalu, Prabowo pun selalu dengan senyum yang sumringah menyambut setiap kelompok dan individu yang datang untuk memberi dukungan.
Tapi di situ pulalah masalahnya, banyak kemudian kelompok dan orang yang bergabung dengan Prabowo membawa sekaligus masalah. PPP sudah sejak awal masuk membawa masalah (walaupun terakhir seperti reda), lalu SDA yang ngotot mendukung Prabowo ternyata menjadi tersangka korupsi. Rhoma Irama, yang tukang ngambek dan bermimpin jadi Capres itu bergabung dengan Prabowo meninggalkan PKB. Mahfud, yang ternyata tidak lebih baik dari Rhoma Irama pun bergabung dengan Prabowo bahkan menjadi pimpinan tim sukses Prabowo, padahal jelas-jelas Mahfud selama ini sangat ingin menjadi cawapres Jokowi. ARB, Ketua Umum Golkar, yang bertahun-tahun mengiklankan diri sebagai capres, yang berulangkali ngotot tidak mau dievaluasi pencapresannya, bergubung dengan Prabowo setelah ditolak Megawati. ARB adalah contoh manusia tidak berpendirian kuat, selalu menggunakan hitungan bisnis dalam bekerja, dan dia adalah orang yang pernah menciptakan masalah besar di Indonesia: Lapindo. Bergabung pula dengannya serombongan orang Golkar, istimewa: Akbar Tanjung, yang selama ini sangat dikenal sebagai "belut politik". Kemudian ada lagi HT, mantan partner Wiranto sebagai bakal cawapres. Dia ada contoh paling ideal dari manusia yang tidak tahu diri, tidak tau dimana bimi dipijak dan langit dijinjing. Dia bergabung dengan Prabowo setelah pecah dengan Surya Paloh dan bubar dengan Wiranto. Dia memang kaya, tetapi pelit, dia hanya mengandalkan tv-tvnya dan asuransi.
Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa menjadi "Prahara", singkatan yang bagus tetapi bermakna tidak bagus. Sepertinya memang tidak bagus, karean Hatta yang dari Muhammadyah ini belum tentu mendapat dukungan dari Islam non-Muhammadya. Lagi pula, Hatta selama ini tak terlalu menarik jika diasumsikan sebagai capres maupun cawapres. Mungkin harapan Prabowo untuk menarik dukungan SBY atau Demokrat? SBY masih bingung dan mungkin akan bingung untuk memihak salah satu: Jokowi-Kalla atau Prahara? Mungkin benar kata pengamat, matanya melirik Jokowi tapi hatinya pada Prabowo?