Kalau kita membuka rekaman debat capres/cawapres di waktu yang lalu, sebenarnya kita dapat menangkap ide bahwa Prabowo menginginkan pelaksanaan pilkada (pemilihan gubernur, bupati, dan walikota) oleh DPRD. Alasannya, untuk penghematan biaya. Kini, Koalisi Merah-Putih benar-benar hendak mewujudkan sistem pilkada tidak langsung.
Memutar Jarum Jam Sejarah
Adanya pemilihan langsung di Indonesia terhadap Presiden/Wakil Presiden, Anggota DPR/DPR, dan Kepala Daerah adalah lompatan tinggi bagi kemajuan demokrasi Indonesia, dan merupakan buah reformasi. Di zaman Orde Baru, rakyat hanya memilih parpol dalam pemilu, lalu anggota DPR/DPRD dipilih oleh parpol, selanjutnya Presiden/Wakil Presiden dipilih oleh MPR (DPR, Utusan Daerah, dan Wakil Golongan), dan Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih oleh DPRD.
Sistem pemilu Orde Baru jelas-jelas tidak mencerminkan suara rakyat. Orang-orang yang jadi pemimpin tidak perlu dikenal rakyat, disukai oleh rakyat, yang penting dekat dengan parpol atau menguasai parpol. Soeharto menjadi Prsiden sampai 30 tahun bukan karena dikehendaki rakyat, tetapi karena menguasai seluruh parpol demikian juga banyak kepala daerah yang dipilih DPRD sama sekali bukan karena diinginkan oleh rakyat, tetapi karena dekat dengan parpol, mampu menyogok parpol, dan anggota DPRD. Jadi politik transaksional pada pemilihan kepala daerah di zaman Orde Baru sangat kental, jadi oleh karena itu, kepala daerah hampir tak masalah jika tidak peduli dengan kepentingan rakyat.
Dengan sistem pilkada langsung di zaman Reformasi, maka untuk keterpilihan seorang gubernur, bupati dan walikota mutlak adanya kehendak dan keinginan rakyat, mutlak adanya kedekatan calon kepala daerah dengan rakyat. Konsekuensi logis dari sistem pilkada langsung, maka seorang kepala daerah berkewajiban untuk memperjuangkan kepentingan rakyat dan merealisasikan janji-janji kampanyenya. Jika tidak, dia akan di-bully, dihujat, dan jangan berharap bakal dipilih dalam periode berikutnya.
Sungguhpun sistem pilkada langsung masih banyak kekurangan selama ini, terutama karena setiap pasangan calon kepala daerah harus mengeluarkan uang yang sangat besar, namun sistem pilkada langsung adalah format pemilu paling ideal bagi negara demokrasi.
Jadi, kalau sekarang ada keinginan sekelompok parpol untuk mengembalikan sistem pilkada langsung ke sistem pilkada tidak langsung (pilkada oleh DPRD), hal ini sungguh-sungguh kemunduran atau memutar jarum jam sejarah.
Harus Dilawan
Koalisi Merah-Putih, yang terdiri dari Gerindra, PKS, PPP, Golkar, dan Demokrat mmiliki suara mayoritas di DPR. Kalau koalisi ini sekarang menghendaki agar dalam UU Pilkada dimasukkan sistem pilkada tidak langsung, maka hal itu sangat mungkin terwujud karena parpol yang tidak setuju pilkada tidak langsung lebih sedikit (PDIP, PKB, Hanuran, Nasdem).
Adalah jelas, bahwa niat koalisi Merah-Putih untuk mengembalikan sistem pilkada langsung bukan untuk kepentingan rakyat, melainkan agar mereka dapat menguasai atau memenangkan pilkada-pilkada, dan selanjutnya di tahun 2019 dapat memenangkan pilpres. Dan mungkin masih ada agenda-agenda tersembunyi di balik ini, misalnya menggagas sistem pileg tidak langsung dan sistem pilpres tidak langsung, artinya mengembalikan sistem pemilu secara total sama seperti Orde Baru.
Kita harus melawan ide koalisi Merah-Putih ini, kita semua: LSM, perguruan tinggi, mahasiswa, pemuda yang setia mendukung reformasi harus melawan ide memutar jam sejarah demokrasi yang sedang dilakoni koalisi Merah-Putih.